
Membangun Kehidupan Lebih Baik dengan Energi Terbarukan

Seberapa baik kehidupan akan bergantung pada pilihan kita. Salah satu pilihan itu adalah menggunakan energi terbarukan.
KOAKSI INDONESIA—Momentum Hari Populasi Sedunia (World Population Day) 2025 mengingatkan kita kembali bahwa populasi bukan sekadar angka. Namun, bagaimana kita dapat membangun kehidupan yang lebih baik di bumi sebagai satu-satunya tempat kita hidup.
Kehidupan lebih baik tengah dihadapkan pada isu besar yang melanda populasi dunia, yaitu perubahan iklim. Padahal, perubahan iklim sebenarnya merupakan peristiwa alami. Namun, aktivitas manusia mengubah pola alami itu.
Dikutip dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), perubahan iklim mengacu pada perubahan jangka panjang dalam suhu dan pola cuaca yang terjadi secara alami. Namun sejak tahun 1800-an, aktivitas manusia telah menjadi penyebab utama perubahan iklim, terutama akibat pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak, dan gas. Pembakaran ini menghasilkan emisi gas rumah kaca yang melingkupi bumi dan memerangkap panas matahari, sehingga terjadi kenaikan suhu bumi.
Konsekuensi dari semuanya itu terjadilah antara lain kekeringan hebat, kelangkaan air, kebakaran hebat, naiknya permukaan laut, banjir, pencairan es kutub, badai dahsyat, dan penurunan keanekaragaman hayati.
Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim PBB (Intergovernmental Panel on Climate Change [IPCC]) menyatakan, tantangan iklim kita adalah tantangan global bersama—dan sebagian besar merupakan tantangan energi. Energi menyumbang lebih dari dua pertiga emisi gas rumah kaca global. Ini berarti energi harus menjadi inti dari setiap solusi.
Bahan bakar fosil—batu bara, minyak, dan gas—merupakan sumber daya tak terbarukan yang membutuhkan waktu ratusan juta tahun untuk terbentuk. Bahan bakar fosil, ketika dibakar untuk menghasilkan energi, menghasilkan emisi gas rumah kaca yang berbahaya, seperti karbon dioksida, sebagaimana dilansir dari PBB.
Dalam kondisi seperti itu, bagaimana manusia dapat memiliki kehidupan yang lebih baik? Manusia harus mengubah pola hidup agar tidak merusak lingkungan. Salah satu perubahan yang dapat kita lakukan adalah menggunakan energi terbarukan. PBB menyatakan, transisi dari bahan bakar fosil, yang saat ini menyumbang sebagian besar emisi, ke energi terbarukan merupakan kunci untuk mengatasi krisis iklim.
Mengapa Energi Terbarukan?
Berbeda dengan energi fosil. Energi terbarukan adalah energi yang berasal dari sumber daya alam yang dapat terus diperbarui lebih cepat daripada konsumsinya, berlimpah, dan ada di sekitar kita. Sumber energi terbarukan berasal dari matahari, angin, air, laut (arus dan gelombang), geotermal (panas bumi), dan biomassa (berbagai bahan organik, seperti kayu, arang, kotoran hewan, pupuk kandang, serta tanaman pertanian) yang disebut bioenergi.
Selain itu, energi terbarukan menghasilkan jauh lebih sedikit karbon dioksida (CO2) dan gas rumah kaca serta polutan berbahaya lainnya. Sebagian besar jenis energi terbarukan tidak menghasilkan CO2 sama sekali saat beroperasi. Karena alasan ini, energi terbarukan secara luas dipandang memainkan peran sentral dalam mitigasi perubahan iklim dan transisi energi bersih sebagaimana dikutip dari Massachusetts Institute of Technology (MIT).
Sebagai kunci untuk mengatasi krisis iklim, penggunaan energi terbarukan tidak hanya bermanfaat bagi lingkungan. Namun, berimplikasi lebih jauh pada berbagai bidang kehidupan lain, seperti kesehatan, ekonomi, dan pembangunan manusia.
- Kesehatan: Polusi Udara, Penurunan Penyakit dan Biaya Kesehatan

Salah satu dampak negatif besar dari pembakaran bahan bakar fosil adalah polusi udara. Our World in Data menyatakan, polusi udara baik di dalam maupun luar ruangan merupakan salah satu masalah kesehatan dan lingkungan terbesar di dunia. Polusi udara juga menjadi faktor risiko bagi banyak penyebab utama kematian, termasuk penyakit jantung, stroke, infeksi saluran pernapasan bawah, kanker paru-paru, diabetes, dan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK). Di negara-negara berpenghasilan rendah, polusi udara sering kali merupakan faktor risiko utama terhadap kematian. Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir, polusi udara telah menjadi salah satu faktor risiko terhadap satu dari sepuluh kematian di seluruh dunia.
Senada dengan pernyataan tersebut, beberapa penelitian menunjukkan, penggunaan bahan bakar fosil telah menambah prevalensi penyakit kronis seperti kanker paru-paru, stroke, dan penyakit jantung, serta berkontribusi terhadap perubahan iklim. Diperkirakan bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan perubahan iklim, seperti infeksi malaria, malnutrisi, diare, dan tekanan panas, akan mengakibatkan sekitar 250.000 kematian setiap tahun antara tahun 2030 dan 2050.
Berdasarkan Laporan Kualitas Udara Dunia (IQAir) 2024, Indonesia sebagai negara terpolusi di Asia Tenggara dan menempati urutan ke-15 di seluruh dunia. Rata-rata kadar PM2,5 nasional masih melebihi pedoman tahunan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebesar 5 µg/m³, lebih dari sepuluh kali lipat. Pada tahun 2024, tidak ada satu pun kota di Indonesia yang memenuhi standar kualitas udara WHO. Kualitas udara ini dikaitkan dengan pembakaran bahan bakar batu bara untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Tanpa penerapan langkah-langkah pengendalian emisi pada PLTU dan proses peleburan berbasis batu bara, diperkirakan beban kesehatan masyarakat akan mencapai US$3,42 miliar pada tahun 2030, dan meningkat menjadi US$20 miliar pada tahun 2040.
Oleh karena itu, transisi ke energi terbarukan menjadi jalan untuk mengatasi dampak negatif polusi udara secara khusus dan perubahan iklim secara keseluruhan. Penelitian di 26 negara Afrika Sub-Sahara selama tahun 2000—2022 menunjukkan, penggunaan energi terbarukan secara signifikan meningkatkan hasil kesehatan (health outcomes) di negara-negara tersebut, termasuk peningkatan harapan hidup dan penurunan kematian ibu dan balita serta dampak negatif emisi CO2 dan kejadian tuberkulosis terhadap hasil kesehatan, yang menyebabkan penurunan harapan hidup dan peningkatan angka kematian ibu dan balita.
Penelitian itu juga menyajikan ikhtisar penelitian-penelitian di dunia yang membuktikan penggunaan energi terbarukan meningkatkan harapan hidup dan menurunkan angka kematian.
Selain itu, transisi ke energi terbarukan dapat menurunkan biaya kesehatan. Menurut para peneliti di Universitas Harvard, proyek energi terbarukan, terutama yang menggantikan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara, di Amerika Serikat tidak hanya akan mengurangi emisi karbon, tetapi juga memiliki implikasi kesehatan besar yang berkisar US$5,7 juta hingga US$210 juta per tahun bergantung pada lokasi dan instalasinya.
Sementara secara global, energi terbarukan dapat mengurangi biaya kesehatan hingga US$ 200 miliar per tahun sebagaimana dikutip dari International Renewable Energy Agency (IRENA).
- Ekonomi: Menciptakan Banyak Lapangan Kerja

Seiring dengan transisi ke energi terbarukan akan terjadi peningkatan jumlah lapangan kerja. Dengan lapangan kerja ini, manusia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sekaligus menjaga kelestarian lingkungan. Organisasi Ketenagakerjaan Internasional (ILO) menyatakan, dibandingkan dengan skenario business as usual, perubahan dalam produksi dan penggunaan energi untuk mencapai target Perjanjian Paris (menjaga kenaikan suhu tidak melebihi 2 derajat celsius dibandingkan suhu pada masa pra-industri) dapat menciptakan sekitar 18 juta lapangan kerja di seluruh perekonomian dunia pada 2030. Perubahan ini mencakup peralihan ke sumber energi terbarukan dan efisiensi yang lebih besar, proyeksi penggunaan kendaraan listrik dan pekerjaan konstruksi untuk mencapai efisiensi energi yang lebih besar di gedung-gedung.
Menurut pusat kajian energi global Ember, proyek energi terbarukan sebesar 2,7 GW di daerah penghasil batu bara di Indonesia (Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Sumatera Selatan) dapat menciptakan 50.000 lapangan pekerjaan dan menarik investasi sebesar US$4,3 miliar. Pengembangan lebih lanjut proyek tenaga surya 5,8 GW dan pembatalan kapasitas batu bara baru dapat menciptakan 46.000 lapangan pekerjaan tambahan dan meningkatkan investasi pada proyek energi terbarukan hingga dua kali lipat.
Perpindahan ke energi terbarukan yang semakin membuka lapangan kerja hijau juga terlihat dari hasil kajian yang dilakukan Koaksi Indonesia, sebuah organisasi masyarakat sipil yang berfokus pada energi terbarukan. Berdasarkan target pertambahan kapasitas dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), Koaksi Indonesia menghitung proyeksi kebutuhan tenaga teknik pada tahun 2020—2050. Dari perhitungan tersebut, setidaknya akan terdapat potensi lapangan kerja langsung sebesar 432 ribu tenaga teknik pada tahun 2030 dan sebesar 1,12 juta tenaga teknik pada tahun 2050.
Masih dari sumber yang sama. Perhitungan kebutuhan tenaga teknik dengan membandingkan kapasitas pembangkit baru energi terbarukan setara 20,9 GW dan energi fosil 19,6 GW menunjukkan, untuk pembangkit energi terbarukan akan dibutuhkan lebih dari 106 ribu tenaga teknik, sedangkan untuk energi fosil setara hanya diperlukan 10 ribu tenaga kerja.
- Pembangunan Manusia

Sebuah penelitian yang dilakukan di 77 negara termasuk Indonesia dari tahun 2000 sampai 2019 menyoroti bagaimana penggunaan energi terbarukan dapat meningkatkan pembangunan manusia. Pembangunan manusia merupakan hal yang krusial bagi kemakmuran suatu negara yang ditandai dengan pertumbuhan ekonomi dan kemajuan sosial. Hasil penelitian menunjukkan hubungan positif antara adopsi energi terbarukan dan pembangunan manusia yang meliputi tiga dimensi, yaitu kesehatan, pendidikan, dan pendapatan. Pengaruh positif konsumsi energi terbarukan terhadap pendapatan berdampak langsung pada daya beli individu dan kemampuan mereka untuk mengakses layanan kesehatan dan pendidikan yang lebih berkualitas, yang selanjutnya meningkatkan kesejahteraan manusia. Hubungan positif ini ditemukan pada pemanfaatan berbagai energi terbarukan seperti air, sinar matahari, dan angin.
Dengan berbagai manfaat positif energi terbarukan, sudah seharusnya setiap orang memiliki akses terhadap energi, termasuk bagi penduduk di wilayah perdesaan dan terpencil yang justru memiliki sumber energi terbarukan berlimpah. Kelompok masyarakat ini perlu memperoleh pendampingan untuk memanfaatkan energi terbarukan di sekitar mereka. Misalnya, dengan membangun panel surya atap, pembangkit listrik mikrohidro, dan turbin angin untuk menghasilkan listrik.
Keberadaan listrik akan membuka peluang ekonomi lokal. Misalnya, masyarakat setempat dapat menggunakan listrik untuk menyimpan hasil laut, mengolah hasil pertanian, dan membuka penginapan untuk para pelancong.
Listrik juga dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat desa melalui pendidikan dan kesehatan. Misalnya, anak-anak memiliki waktu belajar lebih lama hingga malam hari, masyarakat menambah pengetahuan dengan mengakses internet, serta meningkatkan kualitas layanan kesehatan dengan penerangan yang lebih baik dan pemanfaatan alat-alat kesehatan yang membutuhkan listrik.