Konsumsi daging yang tinggi menyebabkan sektor peternakan menghadapi sorotan tajam sebagai kontributor krisis iklim. Mungkinkah ada cara untuk memenuhi kebutuhan protein kita tanpa membebani lingkungan?
KOAKSI INDONESIA—Industri peternakan memiliki peran besar dalam krisis iklim global saat ini. Sektor ini menjadi salah satu penyumbang emisi gas rumah kaca. Menurut Food and Agriculture Organization (FAO), produksi daging menyumbang sekitar 14,5% dari total emisi gas rumah kaca global, terutama melalui metana yang dilepaskan oleh ternak ruminansia seperti sapi. Metana, yang dihasilkan dari proses pencernaan ternak, memiliki potensi pemanasan yang jauh lebih tinggi dibandingkan karbon dioksida, menjadikannya salah satu kontributor pemanasan global.
Dampak Global Industri Peternakan
Data FAO yang dikutip oleh The Breakthrough Institute menunjukkan bahwa angka ini mungkin bervariasi; beberapa studi memperkirakan kontribusi emisi sektor peternakan berkisar antara 11,1% hingga 19,6% dari total emisi global. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan pangan global, permintaan daging juga makin tinggi, terutama di negara-negara berkembang di mana pendapatan dan urbanisasi terus bertumbuh. Menurut Laporan OECD dan FAO, tren ini diproyeksikan meningkat, sehingga sektor peternakan diprediksi menjadi perhatian global dalam upaya mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan.
Kondisi Negara Pemakan Daging Tertinggi
Masyarakat Hongkong, Islandia, dan Amerika Serikat merupakan pengonsumsi daging sapi tertinggi per kapita di dunia. Menurut data dari GoodStats.id, per tahunnya, setiap penduduk Hongkong menghabiskan 202,1 kg daging, sementara Islandia dan Amerika Serikat masing-masing mencatat angka konsumsi sekitar 180,9 kg dan 151,4 kg per tahun. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata global yang dicatat Our World in Data, yakni berada di kisaran 43 kg per kapita per tahun, menunjukkan pola konsumsi daging yang menjadi bagian signifikan dari budaya dan pola makan masyarakat di negara-negara tersebut.
Tingkat konsumsi daging yang tinggi ini memiliki dampak besar pada lingkungan. Mengutip artikel Thistle, di Amerika Serikat, sekitar 41% dari total lahan pertanian digunakan untuk mendukung produksi daging, termasuk peternakan dan lahan untuk tanaman pakan ternak. Konsekuensinya, produksi daging dalam skala besar ini memicu deforestasi dan menurunkan kualitas tanah, terutama di kawasan ekosistem yang rentan. Dampak lain juga terlihat dalam konsumsi air. Water Footprint Network mengonfirmasi produksi daging membutuhkan penggunaan air dalam jumlah besar—untuk menghasilkan satu kilogram daging sapi, dibutuhkan sekitar 15.000 liter air.
Industri peternakan juga berperan dalam deforestasi besar-besaran untuk membuka lahan penggembalaan dan perkebunan pakan ternak. CarbonBrief menjelaskan bahwa di banyak wilayah hutan tropis, termasuk hutan Amazon, deforestasi ini menghilangkan fungsi hutan sebagai penyerap karbon, yang seharusnya bisa membantu mengurangi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer.
Hongkong, yang juga termasuk pengonsumsi daging tertinggi, menghadapi tantangan berbeda terkait jejak karbon yang tinggi akibat ketergantungan pada impor daging. Karena keterbatasan lahan pertanian dan peternakan, Hongkong menjadi salah satu pengimpor daging sapi terbesar di dunia. Menurut Sustainability For Student, Hongkong sangat bergantung kepada komoditas impor dengan angka mencapai 90% daging segar dari Cina, Filipina, Thailand, dan Amerika Serikat. Ketergantungan ini menyebabkan peningkatan jejak karbon karena transportasi, peningkatan polusi plastik karena permintaan makanan kemasan beku, dan penurunan produksi lokal karena lahan pertanian digunakan untuk pembangunan real estat dan infrastruktur.
Baca Juga: Mengenal Sistem Pencatatan Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia
Di sisi lain, Islandia memiliki dampak lingkungan yang berbeda. Meskipun negara ini memiliki sumber daya lahan untuk peternakan, tingginya konsumsi daging di Islandia menambah tekanan pada ekosistem lokal yang rentan. Menurut Government of Iceland, ekosistem telah terdegradasi karena penggunaan lahan, penebangan kayu, dan penggembalaan ternak. Belum lagi ditambah peristiwa alam seperti letusan gunung berapi dan cuaca buruk.
Dari tiga negara tersebut, dampak lingkungan dari konsumsi daging yang tinggi berkontribusi besar pada krisis iklim global. Emisi gas rumah kaca dari sektor peternakan mempercepat laju pemanasan global, sementara degradasi tanah dan eksploitasi sumber daya air memperburuk masalah lingkungan lainnya, seperti kekeringan dan penggurunan. Dengan skala konsumsi yang besar, dampak sektor peternakan di negara-negara pemakan daging terbesar bisa berdampak luas pada keseimbangan ekosistem dunia, yang akhirnya berdampak pada krisis iklim.
Di tengah kekhawatiran terhadap dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh konsumsi daging yang tinggi, Indonesia justru mencatat angka konsumsi daging yang relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara lain.
Adaptasi Konsumsi Daging di Indonesia
Indonesia termasuk negara dengan konsumsi daging yang rendah. Berdasarkan Laporan indonesiabaik.id, konsumsi daging sapi di Indonesia pada 2023 rata-rata hanya sekitar 2,25 kilogram per kapita per tahun, jauh di bawah rata-rata global sebesar 6,31 kilogram. Daging kambing, babi, dan unggas juga mencatat konsumsi yang lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata dunia. Misalnya, konsumsi daging kambing di Indonesia hanya mencapai 0,34 kilogram per kapita, sementara rata-rata global sebesar 1,78 kilogram. Demi memenuhi kebutuhan gizi masyarakat, terutama asupan protein hewani, Kementerian Pertanian Republik Indonesia terus berupaya mengembangkan industri daging nasional.
Menilik situasi di negara-negara pengonsumsi daging tertinggi di dunia, upaya positif yang dilakukan Indonesia untuk mengembangkan industri daging nasional sebaiknya dipastikan tidak menjadikan negara ini masuk daftar negara pengonsumsi daging tertinggi di dunia.
Salah satu alternatif yang dapat diterapkan oleh negara dengan tingkat konsumsi daging tinggi maupun rendah adalah menerapkan gaya hidup hijau atau green lifestyle. Green lifestyle mengedepankan upaya untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan melalui pilihan konsumsi yang bijak.
- Pola Makan Berbasis Tanaman
Salah satu pendekatan yang bisa diterapkan adalah pola makan berbasis tanaman (plant-based diet), yang memfokuskan konsumsi pada protein nabati dan produk tanaman lainnya, sehingga menekan emisi gas rumah kaca dan mengurangi degradasi sumber daya alam. Di beberapa negara, pola makan berbasis tanaman sudah mulai dipilih sebagai solusi. Denmark contohnya.
Data dari GFI Europe mencatat, Denmark merupakan negara pertama yang mengembangkan rencana aksi khusus untuk makanan nabati. Rencana ini mencakup penelitian, pengembangan produk, ekspor produk, dan pelatihan profesional dapur. Inggris dan Australia juga gencar menerapkan pola makan ini. Dibandingkan dengan semua negara di dunia, dua negara tersebut memiliki populasi vegan terbanyak. Ada banyak faktor yang membuat popularitas plant-based diet ini meroket. Salah satunya berkaitan dengan perlawanan perubahan iklim hingga dampak berbahaya yang ditimbulkan manusia terhadap bumi dengan praktik pertanian dan peternakan yang berbahaya (Kompas.com, 2023).
Gerakan plant-based diet tidak serta-merta hanya mengatasnamakan dukungan terhadap keberlanjutan lingkungan. Pola makan ini juga menunjukkan dampak positif bagi kesehatan dan pemenuhan gizi pelakunya. Menurut World Health Organization (WHO) yang dikutip Sehat Negeriku, konsumsi daging secara berlebihan memiliki efek yang merugikan pada sistem kesehatan, dengan 2,4 juta kematian dan 240 juta euro dalam biaya pengobatan yang diperkirakan terjadi pada tahun 2020. Untuk mencegah hal ini, WHO menyarankan untuk beralih ke plant-based diet, yang selain mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan, pola makan berbasis tanaman menurunkan risiko penyakit jantung, sindrom metabolik, diabetes, kanker tertentu, depresi, dan penurunan daya ingat.
Di Indonesia, pola makan ini juga bisa diterapkan dengan memanfaatkan sumber protein nabati lokal, seperti tahu, tempe, brokoli, kentang, dan kacang-kacangan, yang disarankan dalam artikel Siloam Hospitals sebagai pilihan protein yang lebih ramah lingkungan.
- Pola Makan Fleksitarian
Selain plant-based diet, ada pola makan fleksitarian, yang memungkinkan masyarakat untuk tetap mengonsumsi daging namun dalam jumlah terbatas. Jika dikaitkan dengan dampak negatif lingkungan dan upaya pembangunan industri ternak di Indonesia, pola makan ini dapat membantu menyeimbangkan kebutuhan gizi, kestabilan ekonomi, dan kepedulian terhadap lingkungan.
Menurut foodunfolded, fleksitarianisme makin populer dalam beberapa tahun terakhir. Banyak orang di Eropa, terutama di Polandia, membatasi konsumsi daging mereka atau bahkan tidak makan daging sama sekali. Kendati demikian, sulit untuk membandingkan statistik tentang fleksitarian di berbagai negara karena tidak adanya definisi yang jelas. Setiap budaya dapat mendefinisikan fleksitarianisme dengan cara mereka sendiri. Di beberapa negara, fleksitarian diklasifikasikan sebagai omnivora, sedangkan di negara lain, mereka dianggap lebih dekat dengan vegetarian. Beberapa orang mungkin juga mengikuti prinsip-prinsip pola makan fleksitarian tanpa menyadari istilah tersebut. Meskipun banyak orang di Polandia mencoba mengurangi makan daging, hanya sedikit yang mengidentifikasi diri mereka sebagai fleksitarian.
Fleksitarian menjadi salah satu pendekatan yang dianggap baik untuk mengatasi obesitas dan mengurangi dampak lingkungan dari sistem pangan yang ada. Meskipun tidak sebesar beralih ke pola makan nabati atau vegetarian, pola makan fleksitarian lebih mudah diakses oleh banyak orang dan memiliki dampak yang lebih besar secara keseluruhan dalam meningkatkan keberlanjutan sistem pangan.
Baca Juga: Pangan Lokal, Pemberi Harapan Pasti untuk Krisis Iklim dan Ekonomi
Sebuah studi yang dilakukan oleh University of Oxford mengungkapkan bahwa mengadopsi pola makan fleksibel, yang melibatkan pengurangan konsumsi daging dan produk susu, dapat menghasilkan penghematan biaya yang signifikan untuk makanan. Studi ini membandingkan biaya tujuh pola makan ramah lingkungan dengan pola makan umum saat ini di 150 negara.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola makan fleksibel dapat mengurangi biaya makanan sebesar 14%. Namun, di negara-negara berkembang, jenis diet ini masih sekitar sepertiga lebih mahal daripada diet saat ini, meskipun lebih murah daripada diet umum di negara maju. Untuk membuat pola makan ini lebih terjangkau, penelitian ini merekomendasikan penerapan kebijakan seperti pembangunan ekonomi, mengurangi limbah makanan, dan menerapkan strategi harga makanan yang bermanfaat bagi iklim dan kesehatan masyarakat. Temuan ini mengindikasikan bahwa dalam sepuluh tahun ke depan, pola makan yang sehat dan berkelanjutan dapat diakses oleh semua orang.
Pendekatan ini memungkinkan masyarakat untuk tetap menikmati protein hewani, namun dengan dampak lingkungan yang lebih ringan. Dengan dipraktikkannya pola makan berlandaskan green lifestyle, baik negara dengan konsumsi daging tinggi maupun rendah, termasuk Indonesia, dapat secara aktif berkontribusi dalam menciptakan keseimbangan ekosistem global yang lebih berkelanjutan.
Di Indonesia sendiri, penerapan fleksitarian akan lebih mudah karena pemerintah sudah memberikan arahan mengenai 10 pedoman gizi seimbang yang disampaikan oleh Kementerian Kesehatan. Adapun 10 pedoman gizi seimbang tersebut antara lain:
- Membiasakan mengonsumsi aneka ragam makanan pokok.
- Membatasi konsumsi panganan manis, berlemak, dan asin.
- Rutin aktivitas fisik dan pertahankan berat badan ideal.
- Mengonsumsi lauk pauk yang berprotein tinggi.
- Cuci tangan dengan sabun dan membilasnya menggunakan air mengalir.
- Membiasakan sarapan pagi.
- Membiasakan minum air putih yang cukup.
- Banyak makan buah dan sayur.
- Biasakan membaca label pada kemasan makanan.
- Syukuri dan nikmati aneka ragam makanan.
Gerakan Pola Makan Ramah Lingkungan
Sebagai langkah awal, transisi menuju pola makan berkelanjutan bisa dimulai dengan cara sederhana, seperti mengurangi porsi daging secara bertahap atau mencoba satu hari tanpa daging, seperti gerakan Meatless Monday yang diperkenalkan oleh Johns Hopkins Center for a Livable Future pada tahun 2003. Langkah-langkah kecil ini memberi kesempatan bagi masyarakat untuk mulai menerapkan pola makan yang lebih ramah lingkungan tanpa harus mengubah kebiasaan secara drastis. Di Indonesia, gerakan serupa, Meatless Monday Indonesia (MMI), telah diluncurkan oleh Yayasan Jalin Komunikasi Indonesia sejak tahun 2021 sebagai bagian dari kampanye lingkungan dan gaya hidup sehat.
Baca Juga: Tunjukkan Cintamu pada Bumi Melalui Makananmu
Pola makan ramah lingkungan lain yang bisa diterapkan di Indonesia adalah seasonal eating. Seasonal eating, atau mengonsumsi makanan sesuai dengan musimnya, merupakan cara sederhana untuk mendukung keberlanjutan lingkungan. Mengonsumsi makanan musiman dan lokal dapat memberikan manfaat besar bagi lingkungan dan kesehatan. Makanan yang menempuh perjalanan jauh untuk mencapai piring kita berdampak signifikan pada lingkungan karena membutuhkan energi lebih untuk transportasi, pendinginan, dan pengemasan agar tetap segar. Sebaliknya, dengan memilih produk lokal yang tersedia saat musimnya, kita dapat mengurangi jejak karbon yang dihasilkan.
STOPFoodWaste.ie mencatat bahwa makanan lokal dan musiman tidak hanya lebih segar dan bergizi, tetapi juga lebih murah karena dipanen saat pasokan melimpah. Selain itu, pendekatan ini mendukung ekonomi lokal, mengurangi risiko pemborosan pangan yang sering terjadi selama penyimpanan dan pengiriman jarak jauh. Dengan memilih seasonal eating, kita berkontribusi pada keberlanjutan lingkungan sekaligus meningkatkan kualitas dan kesehatan makanan yang kita konsumsi.
Setiap perubahan kecil dalam pola makan kita dapat memberikan dampak positif bagi lingkungan. Langkah sederhana ini tidak hanya mendukung kesehatan pribadi, tetapi juga menjadi kontribusi nyata terhadap kesehatan bumi tempat kita hidup. Ketika makin banyak individu mengadopsi pola makan yang mendukung green lifestyle, secara tidak langsung kita menciptakan masa depan yang lebih hijau dan lestari untuk generasi mendatang.