Selain gelaran COP 25 di Madrid yang dilaksanakan Desember 2019, terdapat UN Youth Climate Summit yang telah diselenggarakan sebelumnya yang membahas peran anak muda menyikapi krisis iklim pada September 2019 di New York. Elok Faiqotul Mutia, Direktur Eksekutif Enter Nusantara yang berkesempatan hadir di acara UN Youth menyampaikan bahwa untuk pertama kalinya youth leaders dari 140 negara berkumpul dan berbagi informasi terkait hal apa yang dilakukan dan yang dapat didukung bersama-sama. Menyuarakan suara anak muda soal transisi energi. “Kesepakatannya cukup lantang, yaitu anak-anak muda akan memperhatikan pemerintah untuk akselerasi pembangunan”, papar Mutia.
Pembahasan di COP 25 dan UN Youth Climate Summit juga melihat sektor-sektor yang menjadi penyumbang emisi terbesar di dunia. Terkait hal ini, Ruandha Agung Sugardiman, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, KLHK menerangkan bahwa berdasarkan NDC Indonesia yaitu 29 persen yang dapat diupayakan oleh lima sektor yaitu dari emisi kehutanan, energi, industri, pertanian, dan limbah. “Pengurangan emisi terdiri dari 17.2 persen dari kehutanan, 11 persen dari energi sisanya sektor lain. Selanjutnya 11 persen dari sektor energi melalui upaya mengurangi penggunaan fossil fuel dan diganti dengan biofuel dan meningkatkan energi baru dan terbarukan” tambah Ruandha.
Menanggapi hal tersebut, Mutia juga berkomentar bahwa saat di Youth Summit ada pembahasan sendiri mengenai energi. “Ditekankan bahwa yang harus dilakukan adalah stop fossil fuel saat di New York, Madrid dan Davos. Saat di Madrid ada yang namanya Declaration of Governmental on Children Youth and Climate Change yang terdiri dari tujuh tuntutan anak muda tentang perubahan iklim (selengkapnya di voice-of-youth.org). Beberapa hal yang diinginkan anak muda yaitu lebih memperhatikan anak-anak muda yang paling terdampak krisis iklim dan pelibatan anak muda dalam mencapai keputusan terkait perubahan iklim” jelas Mutia.
Peran masyarakat, terutama anak muda sangat penting dan dibutuhkan dalam mendorong percepatan upaya mitigasi perubahan iklim. Namun, banyak yang masih bertanya ‘apa yang bisa mereka lakukan?’ atau ‘apakah pekerjaan yang ramah lingkungan dapat memberikan penghasilan yang cukup?’. Mencoba menjawab pertanyaan tersebut, Kevin Alexander, Periset Koaksi Indonesia menyampaikan bahwa hal yang bisa dilakukan adalah dengan terjun sebagai penggerak atau pekerja di bidang-bidang pekerjaan yang ramah lingkungan atau biasa disebut green jobs. “Energi terbarukan dalam tiga puluh tahun kedepan akan menjadi tren sehingga menjanjikan bila dijadikan sebuah profesi. Saat ini diperlukan investasi pengetahuan di bidang ini” terang Kevin.
Sependapat dengan Kevin, Henriette Imelda, Hivos Southeast Asia berpendapat bahwa sepuluh tahun yang lalu sudah ada Studi “Skills for Green Jobs” di tahun 2010. “Artinya ternyata studi tersebut sepuluh tahun yang lalu sudah dipikirkan. Teknologi energi efisiensi saat ini masih sedikit padahal ini yang paling mudah. Banyak perusahaan oil dan gas yang sudah memikirkan bagaimana caranya masuk ke era energi terbarukan. Perusahaan tersebut sudah mencari opportunity untuk shifting ke energi terbarukan. Selain itu bisa juga untuk menabung dan investasi” jelas Imelda.
Ruandha menambahkan, tiga puluh tahun lagi bahan tambang akan menjadi kolonial dan terkesan tidak modern. Energi terbarukan memiliki nilai jual lebih tinggi. “Jika saat ini kuliah mesin, pikirkanlah teknologi mesin untuk mentransfer manfaat-manfaat pohon menjadi bioetanol atau biomassa”. Ruandha menjelaskan, saat ini KLHK sudah membentuk Hutan Tanaman Industri (HTI) untuk Energi. Pohon-pohon tersebut ditanam dan ditebang untuk membuat pelet atau biomassa.
Saat ini dapat kita lihat bahwa cadangan sumber-sumber energi fosil dunia semakin menipis. Hal tersebut akan berpengaruh pada tren energi fosil yang akan menurun, sehingga banyak negara di dunia mulai mempercepat transisi ke energi terbarukan. Transisi tersebut tentunya akan berdampak pada naiknya kebutuhan sumber daya manusia serta bermunculannya peluang di bidang energi terbarukan.
Hal tersebut juga dikemukakan oleh Mutia, namun ia mengingatkan bahwa efisiensi energi juga perlu menjadi perhatian, supaya lebih mulus peralihan menuju energi terbarukan. “Sekarang sudah banyak Start-up dan juga program inkubasi untuk anak muda di bidang energi terbarukan. Namun efisiensi energi masih menjadi pekerjaan rumah, maka masih diperlukan inovasi untuk meningkatkan efisiensi energi” tandas Mutia.
Sebagai penutup diskusi, masing-masing narasumber menyampaikan pesan terkait apa yang bisa kita, sebagai masyarakat umum lakukan untuk mendukung upaya pengurangan emisi agar memperlambat dampak dari perubahan iklim.
Kevin berpendapat, kita perlu merubah mindset bahwa harus makmur dulu baru kita mampu memikirkan isu lingkungan. “Karena climate change tidak baik untuk ekonomi negara juga individu. Politisi saat ini obsesi dengan anak muda, manfaatkanlah obsesi tersebut dengan menjadikan penurunan emisi sebagai agenda anak muda” papar Kevin.
Sedangkan Mutia menyampaikan bahwa kita sebaiknya lebih peka terhadap pola konsumsi sehari-hari. “Lebih peka pada apa yang sudah dikeluarkan, apa yang sudah kita makan dan lain-lain. Terkadang kita lupa bahwa uang punya kita tapi sumberdaya milik bersama. Secara berkelompok teman-teman bisa saling mengingatkan minimal dengan menghemat listrik. Speak up dan berpartisipasi tapi harus berdasarkan evidence” pesan Mutia.
Sementara Imelda berpesan agar masyarakat lebih mengedukasi diri. “Banyaklah membaca untuk lebih banyak tahu, karena seringkali kita menyalahkan perubahan iklim atas kejadian-kejadian yang terjadi. Jejak karbon dapat dilakukan, minimal dengan mencabut charger yang sudah tidak digunakan. Masih banyak orang lain yang belum merasakan akses listrik, jadi berhematlah” jelas Imelda.
Terakhir, Ruandha berpesan bahwa kita bisa mulai dari diri sendiri dan dari hal yang terkecil. “Berpartisipasi mulai dari diri sendiri dengan langkah kecil, jangan menyisakan makanan, kurangi makanan yang digoreng. Karena pemerintah need your voice not your noise”. Banyak kegiatan lain yang bisa digerakkan oleh anak muda yang dapat difasilitasi oleh level pemerintah, “Misalnya dengan mengadakan COP Model yaitu simulasi COP yang nanti akan mengundang mahasiswa dan menjaring level negosiator baru untuk COP berikutnya” tutup Ruandha diakhiri dengan tepuk tangan dari peserta.
(Gabriela Claudia Kalalo & Yessi Febrianty / Coaction Indonesia)