Kementerian Ketenagakerjaan mencatat sebanyak 39.977 perusahaan di sektor formal yang memilih merumahkan, dan melakukan PHK terhadap pekerjanya akibat pandemi Covid-19 (data April 2020). Hal ini mengakibatkan lebih dari 1,6 miliar pekerja di sektor informal, yaitu setengah dari jumlah tenaga kerja global, terancam penghidupannya. Di saat yang sama, diskursus soal build-back-better juga berkembang untuk meningkatkan kembali aktivitas ekonomi melalui agenda green economic recovery yang berperspektif pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Dari sektor energi, yang notabene adalah tulang punggung sektor komersial, bisnis, dan industri, usaha rintisan atau start-up mendapatkan respon positif dari anak muda, mulai dari usaha rintisan yang fokus pada instalasi energi terbarukan rumah dengan surya atap hingga penggunaan energi terbarukan untuk pertanian dan perikanan, dengan pemanfaatan teknologi biogas.
Berdasarkan tren ini, Kamis (27/8) lalu, Koaksi Indonesia melalui Ruang Aksi ke-22 mengajak diskusi beberapa usaha rintisan terkait energi terbarukan untuk mendapatkan motivasi dan pengalaman, tantangan, serta pembelajaran terkait energi terbarukan. Diskusi yang dilaksanakan di Ruang Virtual Konferensi Video ZOOM ini menghadirkan narasumber Aditya Mulya Pratama, Program Manager New Energy Nexus; Fano Alfian Ardyansyah, CEO Ailesh Power; Kristamayu, CPO Sylendra Power; Dally Chaerul Shaffar, Business Director Biops Agrotekno dan dimoderatori oleh Fitrianti Sofyan dari Koaksi Indonesia.
Dibuka oleh Verena Puspawardani selaku Direktur Program Koaksi Indonesia, beliau menyampaikan bahwa Koaksi fokus pada energi terbarukan melalui tiga angle, yaitu energi terbarukan sebagai sumber energi yang berkelanjutan, pembuka akses kepada seluruh masyarakat Indonesia serta pendorong ekonomi serta mencapai ketahanan energi. “Dalam percepatan pengembangan energi terbarukan di Indonesia, dibutuhkan kolaborasi dan pemahaman yang sama serta dorongan agresif dalam hal kebijakan, pendanaan dan investasi pada energi terbarukan” papar Verena.
Sesi diskusi pertama disampaikan oleh Aditya Mulya Pratama mewakili New Energy Nexus yang merupakan akselerator dan inkubator bagi start-up bidang energi terbarukan. Dalam presentasinya, Aditya menyampaikan bahwa energi terbarukan merupakan solusi dalam mitigasi perubahaan iklim. “Energi terbarukan lebih tahan terhadap pandemi seperti saat ini karena tidak ada distribusi bahan bakar seperti PLTD yang membutuhkan minyak diesel” ujarnya. Saat ditanya perihal bagaimana trend start-up dan perkembangan start-up di Indonesia, Aditya menjawab bahwa Indonesia masih berada di tahap awal perkembangan start-up energi terbarukan sehingga masih banyak peluang yang dapat dimanfaatkan. “Perjalanan masih Panjang untuk membantu pencapaian EBT di Indonesia sebesar 23%” terang Aditya.
Diskusi selanjutnya disampaikan oleh Fano Alfian sebagai salah satu perintis start-up yang berfokus di bidang waste-to-energy solution, Ailesh Power. Fano menjelaskan bahwa ada banyak alasan mengapa ia bersama tim Ailesh Power fokus pada energi terbarukan. “Diantaranya, dampak lingkungan dari fossil fuel yang buruk, ketersediaan fossil fuel yang semakin menipis, kelimpahan sumber daya terbarukan yang belum dikelola maksimal serta kebutuhan energi terbarukan yang tinggi” jelas Fano.
Jika Fano bersama Ailesh Power fokus pada solusi sampah dan energi, ada pula Kristamayu dari Sylendra Power yang merupakan start-up di bidang solar panel. Kris menjelaskan bahwa Sylendra tidak hanya membuat solar panel, tetapi membuat energy harvester sebagai sistem penyimpanan energi. “Energy harvester adalah baterai sebagai penyimpanan energi yang sudah dilengkapi dengan sistem internet of things (IoT)” papar Kris. Selain itu, baru-baru ini Sylendra membantu pemerintah Yogyakarta membuat energy harvester dari energi terbarukan untuk posko darurat penanggulangan Covid-19 di Yogyakarta. “Energi (di posko) digunakan untuk sistem penerangan dan peralatan kantor seperti lampu dan printer” terang Kris.
Berbeda dengan Fano dan Kris, Dally Chaerul Shaffar membangun BIOPS Agrotekno dan fokus pada pemanfaatan teknologi energi terbarukan di bidang pertanian. “Sektor agrikultur saat ini menggunakan air yang sangat banyak sehingga masih belum sustainable, perlu ada inovasi yang dapat mengatasi ini agar penggunaan air lebih efisien” paparnya. Dally bersama tim BIOPS Agrotekno menciptakan Encomotion, yaitu teknologi IoT yang dapat melakukan irigasi secara presisi dan otomatis dengan basis data hasil algoritma sensor agro-climate. “Encomotion berdampak pada penggunaan air yang efisien, peningkatan produksi, energi efisiensi, dan pengurangan ketergantungan manusia. Proyek Encomotion ini sudah diadaptasi dan berjalan untuk irigasi di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan NTT” jelas Dally.
Dally menerangkan bahwa permasalahan utama di bidang pertanian adalah irigasi, hama, dan kesuburan tanah. Saat ditanya mengapa ia dan BIOPS Agrotekno memilih fokus pada sektor pertanian, Dally menjelaskan bahwa adaptasi teknologi di bidang pertanian masih rendah, ditambah para petani saat ini umumnya berada di usia tua. “Tidak banyak anak muda yang masuk dalam bidang pekerjaan ini. Padahal sektor pertanian adalah sektor penting dalam pemenuhan pangan” tambahnya. Maka dari itu, Dally berpendapat ini merupakan pekerjaan rumah berat untuk menciptakan environment green jobs. “Kita membutuhkan keterlibatan banyak sektor untuk bisa membentuk pekerjaan ramah lingkungan. Mari berkolaborasi dan cari solusi bersama yang dapat memberikan impact terbaik untuk Indonesia” tegas Dally.
Terkait dengan prediksi masa depan energi terbarukan di Indonesia, sering muncul pertanyaan apakah mungkin Indonesia dapat mencapai 100 persen energi bersih?. Mencoba menjawab pertanyaan tersebut, Aditya menyampaikan bahwa secara realistis pencapaian tersebut membutuhkan perjalanan yang sangat panjang. “Dibutuhkan investasi yang lebih banyak, walaupun harga energi terbarukan saat ini sudah cukup turun dibanding beberapa tahun sebelumnya. Jangan hanya melihat energi terbarukan sekadar potensi, tapi juga dibutuhkan aksi. Kita harus berkolaborasi, kalau tidak maka tidak akan menjadi apa-apa” jelas Aditya.
Dari kacamata Fano, terdapat kesempatan besar bagi anak muda Indonesia, terutama mereka yang masih duduk di bangku kuliah. “Ekosistem sudah mulai terbentuk, seperti ada Ruang Aksi, New Energy Nexus Incubator untuk energi terbarukan dan untuk support teman-teman semua. Tapi kembali lagi pada kemauan dan keinginan kita. Potensi masih sangat besar, bisa mulai menginisiasi sendiri atau bergabung dengan start-up” terang Fano. Demikian pula menurut Kristamayu yang menilai bahwa kita harus membangun channel, bertemu dengan banyak orang, berbagi ide, dan diskusi untuk membangun sesuatu yang lebih baik. “Kalau ada niat, pasti ada jalan” tutup Kris. (Yessi Febrianty dan Gabriela Kalalo/Coaction Indonesia)