Biodiesel kembali menjadi topik utama dalam diskusi publik yang rutin dilaksanakan oleh Koaksi Indonesia yaitu Ruang Aksi ke-6. Lebih spesifik, kali ini Koaksi mencoba mengulas lebih dalam dengan mengaitkan biodiesel dan perubahan iklim. Diskusi yang dilaksanakan di GoWork FX pada tanggal 25 Oktober ini dihadiri oleh berbagai narasumber yaitu dari Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral yang diwakili oleh Dr. Faridha, WWF oleh Indra Sari Wardani dan dari Gaikindo, Abdul Rochim. Seperti biasa, ruang aksi juga menghadirkan beberapa penanggap yaitu dari perwakilan LPEM FEB UI, Bisuk Abraham Sisungkunon, Traction Energy Asia, Tommy Pratama dan Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB), Ahmad Safrudin.
Biodiesel telah digunakan oleh masyarakat secara luas, kita bahkan turut menjadi pengguna biodiesel tanpa kita sadari. Diakui memang biodiesel memiliki beberapa keunggulan seperti dapat menekan penggunaan bahan bakar fosil, namun di sisi lain apabila kita lihat dari sisi hulu, berapa hektar hutan yang dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit? Lalu bagaimana dengan mekanisme emisi dalam mesin kendaraan, apakah sudah kompatibel dengan bahan bakar biodiesel? Beberapa pertanyaan tersebut diulas lebih jauh dalam diskusi ini. Mengawali diskusi, Faridha dari KESDM menjelaskan bahwa kebijakan mengenai biodiesel yang telah diterapkan sejak tahun 2008 dianggap berkontribusi terhadap peningkatan kualitas udara krena nilai emisi gas buang yang lebih rendah dibandingkan dengan bahan bakar fosil. Selain itu, biodiesel juga memiliki fungsi menggantikan penggunaan minyak solar pada sektor transportasi di darat maupun di laut, industri dan juga pembangkit listrik.
Namun yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, apakah selama ini besar emisi yang dihasilkan oleh biodiesel diketahui? Hal tersebut yang menjadi pertanyaan dari Indra Sari Wardhani dari WWF, selama ini belum ada target pengurangan emisi dari sektor transportasi yang didorong untuk menggunakan biodiesel. Oleh karena itu, Sari mengusulkan agar adanya identifikasi perbedaan nilai carbon intensity antara bahan bakar solar dan biodiesel, serta nilai carbon intensity untuk masing-masing feedstock. Menurutnya, biodiesel merupakan salah satu bentuk diversifikasi energi yang berdampak baik untuk mencapai ketahanan energi, namun perlu adanya eksplorasi yang lebih jauh tentang bagaimana dampak lingkungan yang ditimbulkan.
Apabila ditinjau dari sisi kendaraan, sebenarnya di Indonesia sendiri belum ada kendaraan yang secara spesifik didesain untuk penggunaan biodiesel. Mesin kendaraan di dunia menurut Abdul Rochim memiliki kesanggupan penggunaan dalam menggunakan biodiesel sebesar 5-7 persen. Namun target pemerintah Indonesia jauh di atas batas tersebut yang mencapai 20 hingga 30 persen. Namun masyarakat Indonesia tidak perlu khawatir, karena Gaikindo telah melakukan beberapa penyesuaian spesifikasi mesin kendaraan di Indonesia agar dapat beradaptasi dalam menggunakan biodiesel sebesar 20 persen. Gaikindo masih merekomendasikan apabila penggunaan FAME (Fatty acid methyl esters) sampai di angka 30 persen untuk mesin di Indonesia. Lebih jauh, Rochim menjelaskan perbedaan antara FAME dan HVO (Hydrotreated Vegetable Oil), FAME memiliki rantai kimia yang kosong sehingga dapat mengikat molekul lain terutama oksigen. HVO memiliki nilai cetane yang sangat tinggi, lebih dari 10 sehingga akan menyebabkan mesin cepat mengalami overheat.
Azis dari Koaksi menyatakan bahwa 30-40 persen dari kebutuhan solar domestik Indonesia dipenuhi dengan impor minyak solar, dengan adanya biodiesel pemerintah berharap agar program ini menjadi langkah menangani defisit devisa yang didorong oleh impor minyak solar, peningkatan harga minyak serta nilai tukar rupiah terhadap dolar saat ini. Namun dengan adanya RAN-GRK (Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca) pemerintah tetap diharapkan untuk melihat aspek perubahan iklim terlebih dahulu dibandingkan dengan sektor energi. Tommy dari TEA sependapat dengan Azis bahwa kebijakan biodiesel dapat mengurangi nilai impor solar dan menyerap kelebihan pasokan CPO (Crude Palm Oil), namun pemerintah tetap perlu memperhatikan isu emisi dan polusi yang sangat erat dengan biodiesel. Tommy juga menambahkan apakah selama kebijakan ini berlangsung, studi terhadap zat-zat berbahaya dalam biodiesel dan sebaiknya juga pemerintah sudah perlu bergerak untuk mencari alternatif lain dari kendaran yang berbahan bakar ke kendaraan yang menggunakan energi listrik.
Ahmad Safrudin dari (KPBB) mengakui bahwa kebijakan biodiesel di Indonesia tidak dilatarbelakangi pertimbangan perlindungan lingkungan. Carbon intensity biodiesel sebesar 1.6, lebih rendah dari solar konvensional yaitu sebesar 1.66. Ahmad yang akrab disapa Mas Puput ini juga mendukung dilakukannya diferensiasi terhadap berbagai terminologi terkait isu lingkungan antara lain GRK, pencemaran udara dan emisi CO2. Koaksi sebagai lembaga yang concern terhadap kebijakan biodiesel diharapkan membantu melakukan tracing terhadap perkebunan CPO yang sifatnya bersih atau tidak. Kebijakan biodiesel yang telah berjalan hendaknya kita dukung, karena kebijakan ini telah sampai pada tahap dimana kita tidak dapat mundur lagi, karena apabila dilakukan maka permasalahan ekonomi lain akan muncul. Hal tersebut diperkuat dengan argumentasi Bisuk dari LPEM yang menyatakan yakin terdapat peluang munculnya pasar baru pada biodiesel produksi Indonesia yaitu India dan Jepang.
Kebijakan biodiesel bagi Indonesia memang menjadi salah satu solusi untuk memenuhi kebutuhan solar domestik, solusi mengatasi defisit, naiknya harga minyak serta pelemahan rupiah atas dolar akhir-akhir ini. Namun apabila ditinjau dari segi kelestarian lingkungan, kebijakan biodiesel memiliki dampak yang tidak kalah menghawatirkan apabila tidak diperhatikan dan diantisipasi. Menurut studi yang dilakukan oleh Khairina, Malins dan Searle (2016) pada tahun 2015 perkebunan sawit di Indonesia bertambah sebesar 11 juta hektar atau setara dengan luas Korea Selatan dan dalam 7 tahun terakhir luas perkebunan sawit bertambah dengan jumlah lebih dari setengah juta hektar per tahun. Meningkatnya jumlah permintaan sawit terlebih dengan adanya kebijakan biodiesel yang pada tahun 2025 akan ditargetkan menjadi B30, tentunya memiliki pengaruh terhadap lingkungan. Perluasan lahan sawit mengakibatkan dari penggundulan hutan dan drainase gambut yang kemudian berimbas pada meningkatnya emisi CO2 .
Angka perluasan perkebunan sawit sangat mungkin meningkat jumlahnya jika dibandingkan dengan saat ini. Salah satu solusi yang ditawarkan oleh Sari dari WWF adalah dengan menerapkan sertifikasi seperti ISPO dan RSPO yang berlaku dari sektor hulu hingga hilir. Dengan adanya penerapan sertifikasi yang intensif, diharapkan dampak negatif lingkungan yang sangat mungkin terjadi dapat diminimalisir. Dengan demikian tujuan dari penggunaan biodiesel dapat tercapai yaitu menekan emisi CO2 dan tentunya menjadi salah satu langkah yang berdampak positif bagi stabilitas ekonomi Indonesia.