Salah satu inovasi yang dibutuhkan dalam menurunkan tingkat polusi perkotaan dari sektor transportasi adalah dengan adanya pengembangan bahan bakar alternatif, misalnya memanfaatkan limbah jelantah yang diolah menjadi biodiesel untuk bahan bakar. Sampai saat ini, penggunaan minyak goreng yang tinggi di masyarakat Indonesia telah lama dikenal dan bahkan menjadi bagian dari budaya kuliner negara ini. Namun, tidak banyak masyarakat Indonesia yang mengetahui potensi besar pemanfaatan minyak goreng bekas atau limbah jelantah. Hampir semua rumah tangga di Indonesia masih membuang minyak goreng pasca digunakan, tanpa menyadari dampaknya pada saluran pembuangan atau apalagi menyadari bahwa limbah jelantah memiliki nilai ekonomi tinggi.
Biodiesel dari limbah jelantah adalah produk yang dapat digunakan untuk mengurangi porsi solar dalam bahan bakar mesin diesel, baik dalam sektor industri maupun sektor transportasi. Dalam studi yang dilakukan International Council on Clean Transportation (ICCT) bersama Koaksi Indonesia bulan September 2018 menyebutkan bahwa potensi produksi biodiesel dari limbah jelantah dapat mencapai 2.36 juta KL atau sekitar 84 persen dari produksi biodiesel nasional saat ini. Sayangnya, angka ini masih menjadi potensi dan belum dieksplorasi karena belum adanya kebijakan pendukung yang memadai.
Isu mengenai potensi jelantah sebagai bahan bakar alternatif inilah yang kemudian dibahas dalam seri diskusi transportasi bersih, yang telah dilaksanakan oleh Koaksi Indonesia pada Selasa (11/11) lalu. Mengangkat tema “Langkah Efektif Bahan Bakar Alternatif”, diskusi virtual ini menghadirkan Deputi Kepala BPPT Bidang Teknologi Informasi, Energi, dan Material, Prof. Dr. Eng. Eniya Listiani Dewi; Kasubdit Pelayanan dan Pengawasan Usaha Aneka EBT KESDM, Mustaba Ari Suryoko, S.T., M.T; Direktur Yayasan Lengis Hijau, Endra Setyawan SST. Par. C HT. C; Periset Koaksi Indonesia, Siti Koiromah, S.T., M.Han serta dimoderatori oleh Manajer Riset dan Pengembangan Koaksi Indonesia, Azis Kurniawan.
Terkait pengembangan minyak jelantah menjadi biodiesel untuk bahan bakar, beberapa hal yang patut diperhatikan yaitu kualitas dan ketersediaan bahan baku, nilai ekonomi, teknologi pengolahan dan regulasi yang mendukung. Endra Setyawan dari Yayasan Lengis Hijau, yang selama ini berkecimpung dalam usaha pengembangan minyak jelantah di area Bali, mengungkapkan bahwa masalah yang dihadapi dalam pengembangan usaha minyak jelantah di Indonesia adalah aturan minyak jelantah belum jelas, sehingga sulit mengumpulkan bahan baku jelantah dari rumah tangga. Selain itu harga minyak jelantah saat ini 7000 rupiah/liter, biaya produksi mahal, kompatibilitas engine yang belum memadai, katalis yang masih harus impor dari Jerman, aturan SNI yang masih terlalu ketat untuk standar BBN. “Biodiesel dari jelantah sulit karena basisnya melalui sosial saja, sedangkan pemerintah belum ada inisiatif” ungkap Endra.
Padahal, menurut Endra kedepan minyak jelantah ini bisa menjadi personal branding bagi Indonesia. “Sejatinya saat ini banyak dunia di luar sana menggunakan minyak jelantah untuk kosmetik dan biodiesel, semua negara tahu minyak jelantah terbanyak ada di Indonesia, sayangnya Indonesia fokus pada ekspor minyak jelantah saja karena lebih mudah pengelolaannya” ujar Endra. Masih menurut Endra, minyak jelantah memiliki potensi yang sangat besar serta mampu mengatasi masalah lingkungan, terutama pembukaan lahan baru untuk industri biodiesel. Memanfaatkan minyak jelantah tidak hanya menyelesaikan masalah bahan baku biodiesel tapi juga banyak masalah lainnya. “Minyak goreng bisa menurunkan pembukaan lahan baru. Indonesia punya potensi 13 juta ton minyak jelantah setara dengan 16,2 milyar liter. Minyak goreng bekas di rumah tangga biasanya dibuang ke tanah/badan air, 1 liter minyak jelantah bisa mencemari 1 juta liter air permukaan. Bila masuk ke sungai akan mencemari dan membunuh biota air hingga menyebabkan krisis air” papar Endra.
Salah satu tantangan pengembangan biodiesel dari jelantah memang ada di pengelolaan, teknologi dan skala keekonomiannya. Hal ini juga dibenarkan oleh Eniya Listiani Dewi yang ikut mengawal program Biodiesel pemerintah. “Tantangannya adalah skala keekonomian. Pemerintah selalu mencari harga yang murah, tapi masih memberikan subsidi untuk BBM. Produksi bioetanol dan biodiesel itu tanpa subsidi, mereka dikomparasi langsung dengan BBM yang disubsidi, tentu ini menjadi hal yang unfair. Demand saat ini cukup banyak kalau subsidi ditarik bisa mengguncangkan perekonomian, maka sedikit-sedikit subsidinya akan ditarik” ujar Eniya.
Lantas, apa solusi yang dapat dilakukan terkait permasalahan-permasalahan tersebut? Mencoba menjawab pertanyaan ini, Mustaba Ari Suryoko mewakili KESDM menuturkan bahwa secara umum untuk pengembangan minyak jelantah, pemerintah membantu menyiapkan standar dan aspek kontinuitas serta memastikan bahan baku harus terjangkau secara ekonomi. “Oleh karena itu, prioritas saat ini adalah membuat regulasi yang dapat diimplementasikan dengan mempertimbangkan energi yang berasal dari Energi Baru Terbarukan (EBT). Kami mengharapkan pelaku industri kecil bisa ikut menjadi besar untuk mengembangkan energi terbarukan” terang Mustaba.
Terkait regulasi tersebut, Siti Koiromah yang juga melakukan study terkait bahan bakar alternatif di Koaksi Indonesia mengungkapkan beberapa prinsip yang harus ada dan dijalankan Indonesia agar kebijakan terkait bahan bakar alternatif ini menjadi efektif nantinya. “Prinsipnya bisa melihat dari sisi ekonomi, sosial, dan lingkungan. Ekonomi artinya keterjangkauan konsumen, sosial yakni adanya equality dan equity untuk seluruh masyarakat Indonesia, lingkungan yaitu secara life cycle analysis (LCA) emisinya harus lebih rendah daripada bahan bakar fosil” jelas Siti.
Potensi minyak jelantah yang demikian besar di Indonesia sejatinya memang memerlukan kolaborasi serta integritas dari semua pihak. Hal senada juga disampaikan oleh Endra sebagai pernyataan penutup di sesi akhir diskusi. “Kalau mau kontribusi terkait pemanfaatan minyak jelantah, kekuatan sosial tidak cukup, perlu ada kebijakan yang mendukung dari hulu hingga ke hilir, dari pemerintah. Masalah energi sangat berkaitan dengan lingkungan, integritas menjadi harga mati” tandas Endra.
(Yessi Febrianty/Coaction Indonesia)