Program biodiesel Indonesia diluncurkan pada tahun 2006 melalui Perpres nomor 5 tahun 2006 untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor bahan bakar diesel, memanfaatkan industri sawit yang sangat besar, meningkatkan bauran energi terbarukan, serta meningkatkan hilirisasi produk sawit. Sebagai produsen crude palm oil atau CPO terbesar di dunia, dengan nilai produksi mencapai 37,8 juta metrik ton pada tahun 2017, sawit merupakan bahan baku yang diperkirakan sesuai bagi pengembangan biodiesel di Indonesia, dengan menawarkan suplai yang konsisten dan dapat diandalkan sehingga memungkinkan pemerintah menetapkan target bauran biodiesel yang ambisius.
Saat ini, industri biodiesel di Indonesia sedang bertumbuh yang bertujuan untuk mengurangi impor energi secara signifikan, dan kedepan diharapkan mampu mendukung pembangunan berkelanjutan. Dalam membicarakan industri sawit dan biodiesel, terdapat empat prinsip yang paling relevan, yaitu: pembangunan berkelanjutan yang terintegrasi (sustainable development through integration), pola produksi konsumsi dan kebijakan demografis yang berkelanjutan (sustainable patterns of production and consumption and demographic policies), partisipasi publik (public participation), lingkungan dan perdagangan (the environment and trade).
Koaksi Indonesia dalam studinya pada tahun 2018 “Dinamika Hulu Hilir Industri Biodiesel Indonesia” menyatakan bahwa konsep pembangunan berkelanjutan menjadi jalan tengah dari kepentingan lingkungan hidup, ekonomi, dan masyarakat. Koaksi Indonesia memandang perlu untuk mengajak berbagai pemangku kepentingan yang fokus dan bekerja pada isu biodiesel, mulai dari pemerintah, akademisi, pengusaha dan pihak swasta, organisasi masyarakat sipil (CSO), dan juga media untuk berkolaborasi, bersama-sama mendorong biodiesel lebih berkelanjutan. Program Biodiesel yang digulirkan oleh pemerintah perlu dikawal agar tetap berkontribusi positif secara ekonomi, sekaligus mampu memberi dampak yang baik secara sosial dan lingkungan dengan tata kelola yang baik.
Menyadari pentingnya kolaborasi antar pemangku kepentingan dalam industri biodiesel, maka Koaksi Indonesia mengajak untuk mendiskusikan gagasan kolaborasi untuk biodiesel berkelanjutan dalam diskusi publik Ruang Aksi #17 yang diselenggarakan pada 28 November 2019 lalu. Menghadirkan Dr. Ir. Faridha, M.Si, Kepala Bidang Penyelenggaraan dan Sarana Litbang P3TKEBTKE Balitbang Kementerian ESDM, Bisuk Abraham Sisungkunon, Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI), Brigitta Isworo Laksmi selaku Jurnalis Senior dan Ridwan Arif, Knowledge Management Coordinator, Koaksi Indonesia. Diharapkan dengan adanya diskusi ini, kolaborasi yang lebih kuat dapat terjalin antar pemangku kepentingan dan publik dapat turut bersama-sama mendorong biodiesel yang berkelanjutan.
“Koaksi memiliki studi mengenai dinamika hulu hilir industri biodiesel di Indonesia. Aktornya banyak sekali ada ratusan, masih banyak data yang tidak seragam, dan tidak terkoordinasi. Banyak tuduhan-tuduhan deforestasi tapi sebenarnya tidak semua, tergantung pada pengelolaan perkebunan di industri hulu. Kita ingin mengolaborasikan aktor-aktor tersebut. Aktornya ada lima lembaga: media, CSO, pemerintah, akademisi, swasta, dan petani sawit” tutur Ridwan.
Mewakili Kementerian ESDM, Faridha menyatakan bahwa pemerintah mengharapkan kolaborasi yang sinergis antar lembaga dalam program biodiesel nasional. “(kita) ingin yang sinergis, saling mendukung dan support. Contoh: riset B30 yang berkolaborasi sesuai dengan perannya ada konseptor, GAIKINDO (industri otomotif), Pertamina (penjual BBN), APROBI (BUBBN), ada BPPT, dan IKABI (Ikatan Biofuel Indonesia) dari kolaborasi tersebut tercipta penelitian yang bisa dipercaya serta BPDP KS membantu (soal pendanaan)”.
Dari sisi akademisi, Bisuk mewakili LPEM UI menyampaikan bahwa kolaborasi yang diharapkan adalah yang mengarahkan program biodiesel mengutamakan aspek lingkungan, sosial dan ekonomi. “Menurut Permentan 11/2011, biodiesel berkelanjutan adalah biodiesel yang mengutamakan aspek lingkungan, sosial, ekonomi. Kita ingin membentuk kolaborasi yang mengarah kesana. Kita harus mengetahui TUPOKSI kita, akademisi bisa berperan untuk kompilasi data dan riset. Contoh: publikasi-publikasi data terpercaya atau tidak, kontrol publik, dan evaluasi. Dari sana pemerintah bisa mengevaluasi program-programnya” papar Bisuk.
Brigitta yang telah bekerja selama puluhan tahun sebagai jurnalis di salah satu media terkemuka di Indonesia menyampaikan fakta bahwa jumlah berita mengenai biodiesel sangat sedikit. Hal tersebut dikarenakan di setiap perusahaan media punya desks yang berbeda-beda seperti humaniora, kesehatan, pendidikan, ekonomi dan lain-lain. “Dalam empat tahun terakhir (katakanlah) dari seratus dua puluh lima berita yang dimuat, yang memiliki topik ekonomi ada sembilan puluh, termasuk tekanan perdagangan ekonomi eropa, sisanya teknologi, dan lingkungan hanya enam, biodiesel hanya satu, mengenai limbah sawit sepuluh, sosial hanya tiga misalnya mengenai petani dan soal kebijakan ada tujuh” jelas Brigitta. Ia menambahkan, perlunya tekanan dari media untuk mengubah arah kebijakan pemerintah yang tidak baik.
Kolaborasi, terutama dalam menyediakan informasi dapat memudahkan rekan-rekan media memperoleh sumber informasi yang dapat dipercaya dan bersifat komprehensif terkait industri biodiesel di Indonesia. Menjawab hal inilah Koaksi Indonesia berkolaborasi dengan rekan-rekan dari LPEM UI, Traction Energy Asia, Auriga Nusantara dan Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) sedang membangun platform berkolaborasi yaitu Terbarukan.id. Diharapkan dengan adanya platform Terbarukan.id ini, data-data terkait industri biodiesel yang selama ini sulit diperoleh dan tersebar dapat dengan mudah diperoleh dan diakses. Ketersediaan data dan informasi yang komprehensif dan terpercaya tentu akan membantu kita dalam mengawal serta mendukung program biodiesel agar berkelanjutan. (Coaction/Yessi Febrianty)