Pertengahan bulan lalu, wacana mengenai kebijakan biodiesel B50 kembali hangat diperbincangkan publik. Presiden Joko Widodo, ingin melaksanakan kebijakan yang mencampur 50 persen minyak sawit ke dalam bahan bakar minyak yang disebut Biodiesel B50, yang dimulai pada akhir 2020. Padahal, awal tahun ini Presiden baru saja memandatkan kebijakan mandatori biodiesel dengan 30 persen campuran yang akan dimulai pada Januari 2020. Wacana ini tentu saja menjadi polemik oleh banyak pihak, terutama terkait keberlanjutan lingkungan, pengembangan teknologi dan pengujian yang dipandang terlalu cepat.
Selasa (24/9) lalu, Koaksi Indonesia menyelenggarakan Diskusi Publik #RuangAksi 15 dengan tema Biodiesel B50* Syarat dan Ketentuan Berlaku, dengan narasumber dari Peneliti LPEM UI Atiqah Amanda Siregar, Kasubdit Keteknikan dan Lingkungan Bioenergi Ditjen EBTKE Kementerian ESDM Effendi Manurung, Kepala Balai Teknologi Bahan Bakar dan Rekayasa Disain BPPT Arie Rahmadi dan Manajer Riset dan Pengembangan Koaksi Indonesia Azis Kurniawan. Pada diskusi yang dimoderasi oleh Peneliti Koaksi Indonesia Kevin Alexander, publik diajak untuk ikut memahami lebih menyeluruh dan bertukar pikir mengenai kebijakan Biodiesel dan keberlanjutan baik dari sisi ekonomi, teknologi dan lingkungannya.
Kebijakan pencampuran biodiesel ke BBM solar ini merupakan upaya untuk mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap energi fosil serta impor minyak (crude oil). “Saat ini pemerintah sedang melakukan riset dan kajian menuju B30 pada awal tahun 2020. B50 ini muncul sebagai usulan dari Presiden, kemudian Kementerian ESDM dan BPPT tindak lanjuti,” ujar Effendi. Indonesia sebagai negara pengimpor minyak harus bisa independen dengan memanfaatkan sesuatu yang berasal dari dalam negeri. Kebijakan terkait Biodiesel ini juga harus diperhatikan dari segi ekonomi, hal-hal teknis, dan lingkungan. Menurut Effendi, “Kita (Indonesia) sangat perhatian dengan keberlanjutan lingkungan dan kelancaran teknis pemakaian biodiesel agar tidak banyak terjadi masalah di lapangan”. Arie juga meyakini bahwa Indonesia sebagai produsen terbesar kelapa sawit sudah seharusnya melakukan pemanfaatan biodiesel yang lebih masif. “Biodiesel ini adalah FAME (fatty acid methyl ester) dan sementara ini tidak ada komplain walaupun ada beberapa masalah pada proses penyimpanan dan distribusi karena sifat bahan bakar nabati ini yang mampu menyerap air dengan baik alias higroskopis, maka ketika penyimpanan akan mengakibatkan penurunan kualitas”.
Pertengahan Juni 2019 lalu, BPBD KS – Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit dengan Gaikindo – Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia mengadakan uji coba Biodiesel B30 dan hasilnya dapat dikatakan berhasil. “Tidak ada masalah (pada uji coba B30) karena ada perbaikan kualitas CPO nya itu sendiri sebagai bahan baku, dari B20 ke B30. Peta jalan selanjutnya adalah bagaimana kita mengkonversi CPO menjadi bio-gasoline atau greendiesel sebagai suplemen B30-nya itu sendiri yang tujuannya adalah tetap untuk kemandirian energi Indonesia”, ujar Arie.
Gaung positif lahir dari Biodiesel B30, lalu bagaimana dengan terapan B50?
Hingga saat ini, mandatori biodiesel yang dilakukan pemerintah memang baru sampai B30, dengan hasil yang relatif tidak ada masalah setelah dilakukan uji coba. Effendi mengatakan, Biodiesel B50 kedepan memang membutuhkan investasi yang tidak sedikit dan kolaborasi pihak terkait. “Dari ESDM sendiri sedang berfokus pada peningkatan kualitas mutu sesuai kespakatan dengan BPPT, GAIKINDO, dan APROBI. Berbagai parameter sedang kami perbaiki seperti monogliserida, total kontaminan”, tuturnya.
Bicara tentang harga yang diberikan untuk Biodiesel B30 dan B50, Effendi mengatakan, hingga saat ini hal tersebut masih didiskusikan oleh Kementerian Keuangan. akankah kebijakan bahan bakar B30 dan B50 kelak mendapat subsidi seperti B20 atau tidak. Dengan adanya subsidi dari pemerintah, harga B20 mampu bersaing dengan bahan bakar fosil. Terkait kesediaan CPO sebagai bahan baku Biodiesel, Effendi menegaskan bahwa dengan 17 juta ton dari total 47,61 juta ton CPO saja Indonesia mampu memenuhi produksi untuk Biodiesel B20. Mengacu pada fakta tersebut, dapat dilihat bahwa produksi CPO Indonesia bisa terpenuhi. “Saya pribadi berpikir dalam beberapa tahun kedepan mobil berbahan bakar BBN akan menjadi mayoritas”, ujarnya.
Berdasarkan data dari BPPT, Biodiesel B20 yang diproduksi saat ini sudah sebanyak 3,57 juta kiloLiter, dan diproyeksikan akan mengurangi devisa negara sebesar 27,25 triliun rupiah pada tahun 2018. Untuk tahun 2019, dengan menggunakan B50 akan terproduksi sebanyak 6,19 juta kiloLiter biodiesel, diproyeksikan akan menghemat devisa sebanyak 44,45 triliun rupiah. Kemudian, implementasi B50 akan memproduksi sebanyak 9,6 juta kiloLiter dan diproyeksikan menghemat devisa lebih besar lagi. Dalam rangka mengurangi emisi dari hulu industri kelapa sawit, BPPT sudah menerapkan tarif listrik yang menarik bagi pabrik sawit yang mengolah POME menjadi biogas.
Membahas tentang dampak lingkungan, pemerintah memang sudah mengeluarkan Perpres atau Peraturan Presiden tentang penghentian sementara (moratorium) perluasan lahan. Instruksi ini menjelaskan bahwa tidak ada lagi pemberian izin pengusahaan untuk membuka lahan. Wilayah penghentian pemberian izin baru juga menjadi target pencapaian iklim Indonesia dari sektor kehutanan uang tertuang dalam Nationally Determined Contribution (NDC), sehingga dibutuhkan peningkatan produksi lewat lahan yang ada. “Saat ini, tugas kita sudah jelas yaitu meningkatkan produktivitas lahan sawit sehingga bisa memenuhi permintaan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku Biodiesel B50, paling tidak, Indonesia harus meningkatkan 1,3ton produktivitas dari tiap hektar lahan sawit yang sudah ada. Yang harus didorong juga oleh pemerintah adalah transparansi di rantai pasok seperti data lahan, HGU (Hak Guna Usaha), dan legalitas lahan perkebunan kelapa sawit”, ujar Azis. Efendi menambahkan, kebijakan moratorium ini dilakukan bahwasanya saat ini produksi CPO kita sudah sangat mencukupi untuk pasokan bahan baku hingga B50, sehingga tidak perlu ada pembukaan lahan yang lebih besar. Efendi juga mengatakan bahwa ekstensifikasi lahan tidak perlu dilakukan untuk biodiesel, hanya perlu intensifikasi laha saja kedepannya.
Dalam kacamata makroekonomi Indonesia, Atiqah meyakini bahwa penggunaan biodiesel ini mampu menurunkan impor solar dan menstabilkan neraca perdagangan. “Namun secara mikro, kesejahteraan terkait harga yang diterima petani masih minim dampaknya, sebab lokasi perdagangan cukup jauh”. Banyak hal juga yang harus jadi perhatian terkait keberlanjutan biodiesel ini. “Petani swadaya akan sangat terpengaruh jika lebih dari 40% produksi CPO bahan bakunya berasal dari swadaya. Perlu memperhitungkan opportunity cost, sumber pendapatan dari proses replanting, dan terkait dengan keamanan bahan baku. Skenario ini harus diperhatikan agar tidak terjadi oversupply CPO”, lanjut Atiqah.
Langkah yang dapat ditempuh untuk menuju biodiesel yang berkelanjutan
Setelah kebijakan moratorium dan peningkatan produktivitas lahan agar tidak terjadi pembukaan lahan, Azis mengatakan perlunya seluruh perusahaan bersertifikasi ISPO – Indonesian Sustainable Palm Oil System, standar keberlanjutan oleh Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Pertanian dengan tujuan untuk meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia di pasar dunia, menjaga keberlanjutan produksi sawit, ikut berpartisipasi untuk mengurangi gas rumah kaca serta memberi perhatian terhadap masalah lingkungan. “Bagaimana cara kita memastikan bahwa biodiesel berkelanjutan? Caranya adalah dengan menggunakan sertifikasi tertentu, ISPO bisa menjadi prasyarat sebelum CPO diolah menjadi biodiesel. Selain itu perlu ada transparansi dan kolaborasi antar permangku kepentingan,” ujar Azis. Pemerintah juga diminta untuk terus mempromosikan green fuel kepada masyarakat sebagai langkah untuk membantu transisi dari bahan bakar fosil ke energi yang lebih bersih.
Yang tidak kalah penting dari percepatan produksi ialah perhatian pada rantai pasok di hulu dan hilir. Atiqah menjelaskan, perlu ada pendampingan terhadap petani swadaya terkait pelatihan, akses ke pasar, dan bibit unggul. “Tak kalah penting juga, perlu ada disinsentif bagi petani yang melakukan pembukaan lahan melalui pembakaran hutan,” tutup Atiqah. (Coaction/Gaby)