Pada akhir Januari 2020 lalu, sebuah film dokumenter yang apik berjudul Semes7a (dibaca Semesta) tayang secara terbatas di berbagai bioskop tanah air. Sejauh ini, Semesta berhasil dinominasikan sebagai Film Dokumenter Panjang Terbaik di Festival Film Indonesia 2018, diputar di Suncine International Environmental Film Festival di Barcelona, Spanyol, pada November 2019, dan juga diputar di Konferensi Internasional untuk Perubahan Iklim Conference of Parties (COP) ke-25 di Madrid, Spanyol, pada akhir tahun 2019. Film karya sutradara Chairun Nissa serta diproduseri oleh Nicholas Saputra dan Mandy Marahimin ini berkisah tentang 7 sosok di 7 provinsi di Indonesia yang berinisiatif untuk bergerak menanggulangi perubahan iklim. Para sosok ini merawat alam Indonesia atas dorongan agama, kepercayaan, dan budaya yang dijalaninya.
Menyadari pesan penting yang ada dan ingin disampaikan oleh film Semesta, Koaksi Indonesia mengajak publik untuk nonton bareng melalui kegiatan RuangAksi #20 pada Kamis, 5 Maret 2020 lalu di Jakarta. Dalam dua hari, melalui registrasi online yang diumumkan lewat media sosial Koaksi Indonesia, acara ini berhasil menarik lebih dari seratus tiga puluh pendaftar. Umumnya para pendaftar terdiri dari para pelajar dan mahasiswa, pekerja swasta, komunitas sukarelawan serta masyarakat umum lainnya. Setelah menyaksikan film dokumenter berdurasi kurang lebih delapan puluh menit, penonton kemudian diajak berdiskusi singkat mengenai kaitan pesan dari film tersebut dengan upaya menjaga lingkungan terhadap dampak perubahan iklim.
Menghadirkan narasumber dari berbagai latar belakang yaitu Effendi Manurung, Kasubdit Keteknikan dan Lingkungan Bioenergi, Kementerian ESDM, Mandy Marahimin, Produser Film Semes7a, Trio Aditia, Project Manager PT Inovasi Dinamika Pratama, Verena Puspawardani, Direktur Program Koaksi Indonesia. Dimoderatori oleh Eva Fitrina, Direktur Operasional dan Keuangan Koaksi Indonesia, diskusi setelah nonton bersama film Semesta berlangsung singkat namun bernas. Hal ini dikarenakan antusiasme dan apresiasi terhadap film Semesta ini cukup tinggi dan datang dari berbagai kalangan yang ingin tahu mengenai inisiatif-inisiatif hebat yang dilakukan oleh para tokoh dalam film tersebut.
Pada sesi diskusi, Mandy Marahimin selaku Produser film Semesta dari Tanakhir film menceritakan bahwa ia dan Nicholas Saputra sejak awal memang memiliki concern di bidang lingkungan. “Sebelumnya kami juga sudah pernah membuat film-film pendek isunya soal lingkungan. Suatu hari kami mendapat call proposal dari EU untuk membuat film mengenai perubahan iklim. Kami ingin membuat film perubahan iklim dari angle yang berbeda. Kami mengambil angle agama dan kepercayaaan karena kami percaya semua agama mengajarkan yang baik untuk lingkungan hidup”.
Lebih lanjut, Mandy mengungkapkan karena Indonesia merupakan negara yang beragama maka dengan mengambil angle dari sisi ini diharapkan akan lebih memahami dan banyak yang tergerak. “Riset kami lakukan melalui literatur apakah ada praktek positif yang sudah dilakukan oleh tokoh-tokoh yang bergerak berdasarkan agama dan kepercayaannya masing-masing. Prosesnya, kami melakukan riset untuk proposal selama 3 bulan, riset lanjutan 2 bulan, riset ke lapangan 2 bulan, shooting dilakukan 4 hingga 5 bulan”.
Selain menggunakan sudut pandang agama, film Semesta juga mengangkat isu mengenai pemanfaatan energi terbarukan yaitu pembangkit listrik tenaga air (mikrohidro) yang dilakukan oleh Romo Marselus Hasan di desa Bea Muring, Flores, Nusa Tenggara Timur. Hal ini membuktikan bahwa teknologi sederhana dari sektor energi terbarukan dapat berdampak secara signifikan pada peningkatan kualitas hidup masyarakat.
Terkait dengan inisiatif di bidang energi terbarukan, mewakili sektor pemerintahan, Effendi Manurung menyampaikan bahwa Direktorat EBTKE mendorong pengembangan energi terbarukan dengan menyediakan informasi terkait potensi serta mendorong masuknya investasi pengembangan energi terbarukan dengan skema harga yang menarik. “Sebelumnya juga telah dilakukan proyek percontohan beberapa sumber energi dan diharapkan dapat ditiru oleh pemerintah daerah, swasta juga masyarakat” papar Effendi.
Selain peran pemerintah dalam mendorong pengembangan energi terbarukan, diskusi kali ini juga menyoroti mereka yang bekerja langsung di bidang energi terbarukan. Trio Aditia yang telah cukup lama bekerja di bidang energi terbarukan yang juga termasuk dalam kategori pekerjaan ramah lingkungan, berbagi kisahnya terkait dengan awal mula ia terjun di bidang pekerjaan yang hingga saat ini masih menjadi profesinya.
“Bermula dari 900 panel surya yang sudah dibangun EBTKE maka diperlukan adanya monitoring yang dilakukan apakah pembangunannya sudah sesuai dengan yang direncanakan. Dari sana, ternyata banyak potensi green jobs dari berbagai bidang. Selain itu dengan adanya banyak pabrik solar panel di Indonesia, ini membuka kesempatan baru untuk memasuki green jobs. Diketahui juga bahwa kementerian sudah banyak memberikan IUPTL sehingga ini juga menjadi salah satu celah untuk memasuki green jobs” ungkap Trio.
Sedangkan sebagai inisiator kegiatan RuangAksi ini, Verena dari Koaksi Indonesia menyatakan bahwa film Semesta ini memang tidak mengemas isu energi terbarukan secara khusus namun dapat menjadi media untuk menceritakan apa itu energi terbarukan dan ternyata selama ini ada disekitar kita sendiri. “Kita tidak ingin isu energi terbarukan ini menjadi eksklusif bagi penggerak lingkungan saja sehingga dibutuhkan narasi dalam menyampaikan ke masyarakat luas salah satunya dengan film ini. Ada dua pesan yang ingin disampaikan Koaksi Indonesia: perubahan tidak melihat batas apapun seperti usia, fisik, sampai ke spiritual dan perubahan bisa dimulai dari lingkaran sendiri atau lingkaran terdekat kita.” papar Verena.
RuangAksi #20 ini ditutup dengan ajakan dari para narasumber untuk para peserta yang hadir agar berani memulai perubahan baik dan dimulai dari hal-hal paling sederhana dalam kehidupan sehari-hari, karena seperti pesan yang ingin disampaikan oleh Semesta bahwa perubahan baik sekecil apapun jika dilakukan bersama-sama akan berdampak besar bagi alam dan kehidupan kita selanjutnya.
(Yessi Febrianty/Coaction Indonesia)