Covid-19 menjadi bukti betapa penyakit zoonosis sangat merugikan kehidupan manusia. Mari perbaiki hubungan kita dengan alam untuk mencegah pandemi berulang.
KOAKSI INDONESIA–Pada 2 Maret 2020, Presiden Jokowi mengumumkan kasus pertama Covid-19 di Indonesia. Selang beberapa hari, tepatnya pada 11 Maret 2020, Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization [WHO]) menetapkan Covid-19 sebagai pandemi global. Pandemi ini menjadi sebuah fenomena yang menimbulkan kerugian signifikan bagi masyarakat. Data Kementerian Keuangan mengungkapkan total kerugian ekonomi akibat Covid-19 mencapai Rp1.356 triliun.
Covid-19 juga telah mengurangi sumber pendapatan, bahkan menghilangkan pekerjaan yang menjadi tumpuan hidup masyarakat. Survei Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan 88% perusahaan terdampak Covid-19. Kemudian, Badan Kebijakan Fiskal memproyeksikan bahwa pada tahun 2020 telah terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 456 ribu hingga 1,3 juta orang.
Di samping itu, merujuk data Kementerian Kesehatan, setelah sekitar 23 bulan kasus pertama diumumkan, Covid-19 telah merenggut setidaknya 5.045.077 nyawa di seluruh dunia. Di tingkat nasional, Covid-19 menyebabkan kematian sekitar 143.500 jiwa atau menyumbang sekitar 2,8% angka kematian global. Bagi masyarakat, angka-angka ini bukan sekadar statistik. Setiap angka ini mewakili individu dengan dampak ekonomi yang signifikan serta duka mendalam.
Penularan dan Peningkatan Zoonosis
Banyak yang bertanya-tanya mengenai sumber penyebab terjadinya Covid-19. Menurut Kementerian Kesehatan, Covid-19 singkatan dari Corona Virus Disease-19 merupakan penyakit yang disebabkan corona virus dan umumnya ditemukan pada hewan. Dengan demikian, Covid-19 merupakan penyakit yang ditularkan dari hewan kepada manusia atau biasa disebut penyakit zoonosis. Singkatnya, zoonosis adalah penyakit pada hewan yang dapat ditularkan kepada manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Penularan langsung terjadi ketika seseorang terinfeksi melalui gigitan atau kontak dengan cairan tubuh hewan yang terinfeksi, seperti air liur, darah, urine, lendir, dan kotoran. Contohnya, penyakit rabies dapat ditularkan melalui gigitan anjing yang terinfeksi.
Baca Juga: Dampak COVID-19 terhadap Permintaan Energi Dunia
Penularan tidak langsung terjadi ketika seseorang menyentuh benda atau lingkungan yang terkontaminasi cairan hewan yang terinfeksi, seperti air, wadah makanan dan minuman, kandang, tanah, dan makanan hewan. Contohnya, penyakit leptospirosis disebabkan oleh bakteri Leptospira yang dapat ditemukan di air atau tanah yang terkontaminasi urine hewan yang terinfeksi, seperti tikus. Penularan ke manusia terjadi ketika kulit atau selaput lendir bersentuhan dengan air atau tanah yang terkontaminasi.
Penyakit zoonosis sangat mengkhawatirkan karena data WHO mengungkapkan, sebagian besar (60%) penyakit menular baru yang dilaporkan secara global berasal dari hewan, baik satwa liar maupun hewan peliharaan. Studi Walter Leal Filho dan beberapa peneliti lainnya mengungkapkan bahwa hingga saat ini terdapat lebih dari 200 jenis penyakit zoonosis yang telah diketahui dan diperkirakan terus meningkat. Data Kompas menunjukkan bahwa setiap tahun, 3 dari 5 penyakit baru yang muncul dikategorikan zoonosis.
Kembali ke studi Walter Leal Filho dan beberapa peneliti lainnya, studi ini juga mencatat bahwa setiap tahun terdapat sekitar 60.000 kematian yang disebabkan oleh penyakit zoonosis, seperti rabies, flu burung, dan ebola.
Deforestasi Meningkatkan Risiko Zoonosis
Merujuk artikel Kompas, selain menimbulkan kerusakan lingkungan, aktivitas manusia seperti deforestasi juga menimbulkan ancaman kesehatan bagi masyarakat. Ancaman kesehatan ini timbul karena deforestasi mengakibatkan hilangnya keanekaragaman hayati dan rusaknya ekosistem alam yang dapat meningkatkan keterpaparan manusia dengan penyakit, termasuk penyakit zoonosis.
Hutan yang kaya dengan kenakeragaman hayati mampu menjaga keseimbangan ekosistem. Akan tetapi, deforestasi mengakibatkan eksploitasi hutan secara tidak berkelanjutan sehingga mengganggu keseimbangan ekosistem, termasuk batas alami antara hewan liar dengan manusia. Akibatnya, penyakit zoonosis lebih mudah menginfeksi manusia karena batasan alami tersebut terganggu atau rusak.
Deforestasi juga membuka lahan baru yang dapat meningkatkan interaksi antara hewan liar dan manusia. Interaksi ini berisiko bagi masyarakat, jika hewan liar tersebut membawa patogen zoonosis di dalam tubuhnya. Bahkan, beberapa hewan seperti kelelawar memiliki peluang lebih besar menyebarkan patogen zoonosis. Kondisi ini makin mengkhawatirkan karena konsumsi daging kelelawar masih menjadi kebiasaan di beberapa daerah, seperti Provinsi Sulawesi Utara.
Di samping itu, hilangnya keanekaragaman hayati dan rusaknya ekosistem alam menyebabkan peningkatan kemunculan penyakit zoonosis. Menurut studi WHO, keanekaragaman hayati dan ekosistem alam berperan mendukung kelangsungan hidup masyarakat karena menyediakan udara, air, sumber pangan, dan sumber daya untuk pengembangan berbagai pengobatan, vaksin, serta produk bioteknologi. Misalnya, artemisinin untuk penyakit malaria dan digitalis untuk penyakit jantung. Keanekaragaman hayati dan ekosistem alam juga berperan mencegah munculnya penyakit dan mengendalikan penyebarannya.
Kerusakan lingkungan seperti hilangnya tutupan hutan juga memengaruhi persistensi patogen. Deforestasi yang berlangsung setiap tahun memaksa satwa liar mencari habitat baru untuk berkembang biak. Kondisi ini memungkinkan satwa liar mengembangkan kemampuan adaptasi terhadap lingkungan baru. Pada saat yang sama, patogen zoonosis dalam tubuh satwa liar juga akan beradaptasi dengan habitat baru sehingga memungkinkan mereka untuk tetap berkembang biak. Akibatnya, patogen zoonosis dapat menginfeksi spesies baru, seperti manusia.
Kondisi tersebut diperkuat oleh studi Serge Morand dan Claire Lajaunie yang mengungkapkan bahwa terdapat hubungan positif antara hilangnya tutupan hutan dengan jumlah penyakit zoonosis. Studi yang sama menyatakan, deforestasi dapat meningkatkan jumlah penyakit zoonosis terutama di negara tropis seperti Indonesia.
Perubahan Iklim Berpotensi Memperparah Dampak Penyakit Zoonosis
Penyakit zoonosis telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Dampak penyakit ini berpotensi makin parah karena perubahan iklim. Menurut WHO, perubahan iklim yang terjadi saat ini dapat berperan sebagai pengganda ancaman.
Perubahan iklim dapat mengubah distribusi geografis, meningkatkan perkembangbiakan, dan mendukung resistansi penyakit zoonosis, terutama yang sensitif terhadap iklim seperti demam berdarah dengue (DBD). Data BRIN menunjukkan, sebanyak 63% patogen sensitif terhadap iklim dan sekitar 82% di antaranya dipengaruhi oleh kelembapan, curah hujan, dan temperatur.
Studi Walter Leal Filho dan beberapa peneliti lainnya menjelaskan, perubahan iklim memengaruhi distribusi geografis penyakit. Sebagai contoh, virus zoonosis yang sebelumnya terisolasi di wilayah beriklim tropis kini menyebar ke wilayah beriklim subtropis. Selain itu, kekeringan dan banjir akibat perubahan iklim menyebabkan ketersediaan air bersih menjadi terbatas. Masyarakat di daerah yang rentan terhadap kedua bencana tersebut berisiko mengonsumsi air yang terkontaminasi penyakit zoonosis yang ditularkan melalui air, seperti penyakit schistosomiasis. Penyakit ini terjadi di tiga daerah terpencil di Dataran Tinggi Lindu, Napu, dan Bada, Provinsi Sulawesi Tengah serta ditularkan ke manusia melalui siput.
Dampak perubahan iklim seperti perubahan pola cuaca, peningkatan curah hujan, dan banjir juga berpotensi menciptakan kondisi ideal bagi perkembangbiakan patogen zoonosis. Misalnya, jumlah penyakit leptospirosis biasanya meningkat di wilayah rawan banjir. Menurut data Kompas, wilayah rentan terhadap penyakit leptospirosis mencakup Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Tengah, dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Perubahan suhu juga memungkinkan perluasan habitat bagi patogen zoonosis untuk berproduksi. Sebagai contoh, jumlah kasus penyakit DBD akan bertambah saat suhu udara meningkat atau ketika El Nino terjadi. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan, selama 10 tahun terakhir puncak kasus DBD biasanya terjadi pada bulan Februari.
Di samping itu, peningkatan suhu mengakibatkan mencairnya lapisan es yang berpotensi melepaskan patogen zoonosis purba yang terperangkap di dalamnya sehingga menimbulkan penyakit, seperti antraks. Merujuk data BBC, penyakit antraks di wilayah Arktik mengakibatkan satu orang anak laki-laki meninggal dunia dan 20 orang dirawat di rumah sakit.
Baca Juga: Benarkah Iklim dan Perubahannya Berperan Penting dalam Pandemi COVID-19?
Perubahan kondisi iklim juga memaksa patogen mengembangkan kemampuan adaptasinya, sehingga meningkatkan resistansi mereka. Akibatnya, penyakit yang ditimbulkan oleh patogen ini menjadi resistan terhadap pengobatan, terutama yang bersifat konvensional. Ketahanan mikroba tersebut akhirnya akan berkontribusi pada penyebaran penyakit yang meluas. Sebagai contoh, menurut laporan Kompas, patogen Plasmodium knoelwsi awalnya hanya menjangkiti monyet. Akan tetapi, perubahan iklim menyebabkan patogen ini beradaptasi dengan habitat barunya. Akibatnya, patogen ini menimbulkan penyakit malaria pada masyarakat di Provinsi Aceh, Provinsi Kalimantan Tengah, Provinsi Kalimantan Selatan, dan Provinsi Sumatera Utara.
Di sisi lain, perubahan iklim juga membuat masyarakat lebih rentan terhadap penyakit zoonosis. Perubahan iklim menyebabkan kesehatan masyarakat memburuk, sehingga memudahkan penyebaran penyakit zoonosis. Misalnya, gagal panen akibat perubahan iklim akan menyulitkan masyarakat memenuhi kebutuhan nutrisi. Malnutrisi terutama pada anak-anak menyebabkan sistem kekebalan tubuh mereka rendah, sehingga rentan terhadap penyakit termasuk penyakit zoonosis.
Covid-19 telah menunjukkan betapa besar dampak penyakit zoonosis terhadap kehidupan masyarakat di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Sebagai negara tropis dengan populasi besar, Indonesia memiliki risiko tinggi terhadap penularan penyakit zoonosis. Oleh karena itu, peringatan Hari Zoonosis Sedunia menjadi momen sangat penting bagi semua pemangku kepentingan untuk memahami bahwa pengendalian penyakit zoonosis memerlukan tindakan yang lebih dari sekadar reaksi terhadap wabah. Langkah-langkah proaktif sangat penting dalam pencegahan.
Upaya melindungi lingkungan tidak bisa ditunda lagi. Melindungi lingkungan dengan menjaga keanekaragaman hayati dan ekosistem alam tidak hanya bermanfaat bagi lingkungan, tetapi juga memberikan perlindungan ganda terhadap ancaman penyakit. Oleh karena itu, mari bersama mengambil tindakan nyata untuk menjaga kelestarian lingkungan mulai sekarang.