Green Jobs pada dasarnya adalah pekerjaan sekaligus peluang semua orang untuk mendulang rezeki sembari membaharukan energi untuk menyelamatkan Bumi. Namun, disinilah letak masalahnya. Kita kerap terjebak dalam paradigma sesat bahwa perubahan iklim merupakan efek global, sehingga hanya mereka yang punya kekuatan besar bisa menghentikan dan mengatasi dampaknya. Siapa itu? Jawabannya bisa saja pemerintah, bahkan ada yang bilang PBB harus duluan maju dan mengambil tindakan.
Akibatnya apa? Kita mengalami difusi tanggung jawab. Kita cenderung lengah, tidak bertindak apa-apa jika dampak negatifnya terlihat di depan mata. Contoh sederhana, sewaktu jalan-jalan ke taman kota, kita lihat ada sampah bungkus plastik, kemudian kita cuek aja karena berpikir nanti pasti ada petugas kebersihan atau tukang sampah yang memungutnya. Setiap orang berasumsi tak perlu melakukan apa-apa karena pasti ada orang lain atau pihak yang bergerak dan bertindak. Sikap inilah yang akhirnya mengantar kita hidup dalam kondisi lingkungan semakin rusak seperti sekarang ini.
Bumi adalah korban perubahan iklim yang gagal kita selamatkan secara kolektif. Bumi juga korban utama yang gagal kita bantu secara individu.
Green Jobs dan Coaction Indonesia
Beberapa waktu lalu saya menyempatkan diri menonton Talkshow: Yuk Cari Peluang di Sektor Green Jobs di saluran YouTube Coaction Indonesia. Coaction Indonesia adalah organisasi nirlaba yang berperan sebagai simpul jejaring dan simpul pembelajaran ide-ide inovatif yang berkontribusi pada program-program pembangunan berkelanjutan di Indonesia.
Direktur Program Coaction Indonesia, Verena Puspawardani dalam kesempatan tersebut menyampaikan Coaction Indonesia bekerja sama dengan banyak jejaring, mulai dari pemerintah, swasta, lembaga, juga individu. Semua informasi terkait perubahan iklim, terutama adaptasi, mitigasi, dan energi terbarukan harapannya bisa diakses semua orang.
Sejak 2018, Coaction Indonesia telah mengampanyekan peningkatan kesadaran masyarakat untuk transisi energi ke energi terbarukan yang berkelanjutan, khususnya anak muda usia 18-30 tahun. Sudut pandangnya adalah lapangan kerja ramah lingkungan dan peluang untuk mempercepat proses tersebut.
Kampanye yang menggunakan tagar #EnergiMuda ini disampaikan secara positif demi terciptanya kolaborasi antar komunitas dan organisasi masyarakat sipil.
“Anak-anak muda perlu lebih peka dengan perubahan iklim dan energi terbarukan secara spesifik. Sektor energi, limbah, transportasi, kehutanan, pertanian, dan sebagainya adalah sektor-sektor penting yang perlu diperhatikan jika kita menginginkan Indonesia lebih maju. Kalau anak muda tidak terlibat dalam sektor-sektor tersebut, mau kita bekerja di bidang apapun, kita tidak akan sukses.”
-Direktur Program Koaksi Indonesia, Verena Puspawardani-
Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) PBB setidaknya menyebut dua indikator utama Green Jobs.
- Green Jobs memadai secara ekonomi
Ini berarti pekerjaan-pekerjaan Green Jobs harus layak secara ekonomi. Layak dalam artian kita tidak cuma bisa makan, tapi terpenuhi kebutuhan sandang, pangan, pengetahuan, tabungan, bahkan investasi kita.
- Green Jobs berkontribusi pada lingkungan
Ini cocok untuk semua orang, terutama anak muda yang mau merintisnya dari sekarang. Pandemi Covid-19, sebut Verena adalah momentum tepat untuk kita memikirkan lagi rencana Indonesia kedepannya terkait bonus demografi.
Negara kita mendapat privilege bonus demografi yang tidak dimiliki negara lain. Populasi anak muda Indonesia mencapai 70 persen. Bayangkan jika semua anak muda Indonesia terjun ke Green Jobs, kelak Indonesia bisa mencapai cita-citanya menjadi negara maju.
Indonesia sekarang sudah masuk negara anggota G20. Kedepannya jika kita mau fokus ke Green Jobs, Indonesia bisa masuk ke Quantum Leap dengan masa depan lebih gemilang.
Green Jobs dan Anak Muda Bali
Enam tahun hidup di Bali memungkinkan saya bertemu dengan banyak sosok menginspirasi. Terkait dengan Green Jobs ini, saya sempat berkenalan dengan tiga putra-putri daerah asal Pulau Dewata yang mampu mendulang rezeki sembari membarukan negeri lewat usaha ekonomi yang memperhatikan aspek lingkungan dan prinsip berkelanjutan.
- Inovasi tenun Bali dengan pewarna alami oleh I Made Andika Putra
Saya berkenalan dengan I Made Andika Putra, seorang pengrajin tenun Bali yang mengembangkan inovasi tenun lokal menggunakan pewarna alami. Produk-produknya mampu menjangkau pasar di berbagai benua, mulai dari Australia, Eropa, hingga Amerika.
Suatu hari saya dan tiga orang sahabat bertandang ke galeri beliau di Blahbatuh, Gianyar. Saya melihat langsung bisnis Tarum dari hulu hingga hilir. Bukan cuma saya, tapi banyak juga wisatawan asing yang belajar bisnis serupa di sana.
View this post on Instagram
Bli Dika, demikian saya menyapanya, belajar tentang tenun dengan pewarna alami dari sang kakak, I Made Arsana sejak masih duduk di bangku SMA. Empat tahun lamanya dua beradik ini mengeksplorasi aneka produk tenun dengan pewarna alami.
Celupan tenun Tarum berbahan dasar daun. Bli Dika bilang, daun sebagai pewarna alami memiliki beberapa kelebihan, antara lain mudah diekstrak, bisa dipanen lebih dari sekali, dan kita tak harus mematikan atau menebang pohon. Pohon-pohon semakin segar ketika sebagian daunnya dipangkas. Limbah daun bekas pun bisa diolah lagi menjadi kompos.
Ada banyak jenis daun yang digunakan Bli Dika untuk menghasilkan warna untuk kain tenun Tarum. Empat di antaranya adalah daun tarum untuk warna biru indigo, daun mahoni untuk warna cokelat, daun mangga untuk warna kuning, dan daun Ketapang untuk warna hitam.
Semua bahan baku daun ini berasal dari perkebunan Bli Dika sendiri yang dikembangkan di Tampak Siring. Kalo kekurangan bahan, Bli Dika membelinya langsung dari kebun-kebun masyarakat setempat. Bli Dika membawahi lebih dari 100 pengrajin lokal loh. Pendapatan bersihnya gak main-main, bisa di atas Rp 100 juta per bulan. Selain jualan offline, Bli Dika juga memasarkan produknya secara online.
Green Jobs yang ditekuni Bli Dika ini terbukti tak hanya memberi omset tinggi untuk pribadi, melainkan ikut memberdayakan masyarakat sekaligus membarukan negeri dengan pewarna alami.
- Inovasi bisnis penyamakan dari limbah kulit ikan oleh Putu Ary Dharmayanti
Saya berkenalan dengan Putu Ary Dharmayanti saat mengikuti sebuah seminar yang diselenggarakan Kantor Perwakilan Bank Indonesia di Denpasar. Kami rupanya seumuran. Putu Ary waktu itu paling menarik perhatian saya, padahal banyak banget anak-anak muda kreatif yang berbagi pengalaman dalam sharing session waktu itu.
Dia bercerita awal mula terpikir ide bisnis penyamakan kulit ikan lantaran melihat industri penyamakan kulit di Indonesia masih umum menggunakan bahan pengawet berbahaya, seperti formalin dan krom. Bahan baku terbanyak masih dari kulit sapi, domba, buaya, dan ular.
Nah, Putu Ary memilih jalan berbeda. Dia beralih menggunakan bahan baku kulit ikan, pewarna alami, serta pengawet nabati dan sintetis, seperti getah tumbuhan bakau. Kebetulan sarjana lulusan UGM ini belajar dari ayahnya yang lulusan Teknik Kimia.
Mengapa memilih kulit ikan?
Alasannya, karena Indonesia adalah negara maritim dengan kekayaan laut melimpah. Terang saja, produksi perikanan kita hampir 50 juta ton atau lebih dari separuh produksi perikanan dunia versi Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) PBB.
Apalagi Bali merupakan sentra industri filet ikan terbesar kedua di Indonesia. Di Pelabuhan Benoa, Denpasar saja setidaknya ada 23 unit usaha industri filet ikan.
View this post on Instagram
View this post on Instagram
Sayangnya, kata Putu Ary baru 40 persen saja dari bagian ikan yang dimanfaatkan industri filet ikan di Benoa dan umumnya itu berupa daging ikan. Bagian sisanya, mulai dari kepala, tulang, dan kulit ikan terbuang percuma.
Putu Ary memperkirakan satu unit usaha filet ikan di Benoa menghasilkan limbah 3.000-4.000 lembar kulit ikan per hari. Nah, dari sinilah ide bisnis penyamakan kulit ikan untuk berbagai produk kerajinan ala Putu Ary bermula.
Putu Ary lewat brand-nya, Yeh Pasih Leather mengembangkan usaha dengan prinsip bebas limbah (zero waste). Sisik ikan diolahnya menjadi cangkang kapsul. Sebagian daging yang masih menempel di kulit ikan segar yang dibelinya dikumpulkan dan diolah menjadi abon dan pakan ternak.
Kulit ikan disulap menjadi kulit ikan samak untuk bahan baku kerajinan. Jenisnya bisa dari kulit ikan kakap, kulit ikan barramundi, dan kulit ikan mahi-mahi. Kulit ikan punya motif unik, berupa guratan-guratan lengkung bekas sisik nan eksotis. Seratnya juga kuat untuk diolah menjadi produk samak. Putu Ary mencontohkan kulit ikan kakap yang sudah disamak cocok untuk bahan baku tas, dompet, alas kaki, ikat pinggang, dan aksesoris lainnya.
Hasil akhir lembaran kulit ikan samak di Indonesia rata-rata dihargai tiga dolar AS per lembar. Ketika hasil akhir ini diekspor, harga jualnya bisa mencapai 14 dolar AS per lembar. Putu Ary bisa mendulang keuntungan bersih hingga Rp 30 juta per bulan.
Kalau saja pemerintah mau mengembangkan industri ini lebih luas, Indonesia bisa memenuhi permintaan pasar dunia karena sentra industri fillet di Indonesia ini lebih dari 16 ribu unit. Saingan Indonesia itu cuma empat negara, yaitu Australia, Islandia, Kanada, dan Rusia. Empat negara tersebut lautnya gak ada yang menandingi luasnya lautan Indonesia.
- Inovasi panel surya di Desa Geluntung, Tabanan oleh Gung Kayon
I Gusti Ngurah Agung Putradhyana atau yang akrab disapa Gung Kayon bukan sosok baru di kalangan anak-anak muda Bali. Beliau selalu berada di garda terdepan dalam mengampanyekan penggunaan energi alternatif, khususnya energi surya di Pulau Dewata.
Suatu hari ada acara ngopi sembari bincang santai soal energi bersih di Kubu Kopi, Denpasar. Saya ikut dan kebetulan beliau jadi salah satu pembicara waktu itu.
Saya tergelitik ketika Gung Kayon bilang, kita perlu bercermin pada Bhutan. Negara tersebut menjadikan kebahagiaan sebagai acuan. Perempuan-perempuan desa di Bhutan dilatih supaya mampu merakit peralatan tenaga surya sendiri, padahal Bhutan tak mempunyai cahaya matahari sepanjang hari seperti Indonesia.
Kita juga perlu bercermin dari niat, komitmen, dan kesungguhan mencapai tujuan energi bersih yang digagas negara seperti Bangladesh. Targetnya adalah 100 persen tenaga surya pada 2020. Setiap hari pemerintah Bangladesh mendistribusikan panel surya difasilitasi Grameen Shakti.
Bagaimana dengan Indonesia?
Gung Kayon yang notabene bukan siapa-siapa, bukan menteri, bukan pejabat, bukan PNS berpikir dari kacamatanya sendiri. Cita-citanya mulia, suatu hari Bali secara keseluruhan bisa memiliki pembangkit listrik dari energi terbarukan, khususnya energi surya.
Intensitas sinar matahari cerah per hari di pulau tropis ini, mencapai 4-8 jam. Gung Kayon lewat Komunitas Kayon mengembangkan Grid Tied Inverter yang menggandengkan panel surya dengan jaringan PLN tanpa menggunakan aki atau baterai, kecuali ingin menggunakannya kontinyu siang malam dengan tenaga matahari seluruhnya.
Menurut Gung Kayon, ini membuka lapangan kerja hijau untuk ribuan orang. Anak-anak muda di mana pun berada bisa bekerja di daerah masing-masing, tanpa perlu berbondong-bondong urbanisasi ke kota, membawa ijazah demi mendapat pekerjaan.
Sebagai gambaran, perbandingan luas Kota Denpasar hanya 2,18 persen dari luas Pulau Bali. Jika ingin Kota Denpasar menggunakan pembangkit surya, kita tak perlu melakukan pembebasan lahan, cukup menggunakan atap rumah, kantor, kampus, sekolah, pasar, hotel, restoran, vila, tempat parkir, bahkan payung-payung pantai di Bali. Semuanya bisa dimanfaatkan dan dirancang dengan manis untuk keperluan itu.
Masyarakat Bali tak perlu membabat hutan, tak perlu mengotori napas Bumi. Gung Kayon mulai mewujudkan mimpi dari desanya sendiri, Desa Geluntung, Kabupaten Tabanan.
Di rumahnya, Gung Kayon mencukupi hampir seluruh kebutuhan energi listrik dengan panel surya. Dia memasang banyak panel surya di halaman, atap, dan bagian lain rumahnya.
Sikap Gung Kayon ternyata membius masyarakat desanya melakukan hal sama. Sejak 2016 kantor desa, pura, balai banjar, hingga beji di Desa Geluntung sudah menggunakan panel surya. Sumber energi yang berasal dari alam dikembalikan lagi ke alam.
Green Jobs are Good Jobs
Green Jobs are good jobs. Menurut saya karena pekerjaan-pekerjaan ramah lingkungan ini melibatkan multi profesi, multi bidang, multisektor yang bisa dilakukan mulai dari desa hingga kota, mau itu di sektor ekonomi yang formal maupun informal.
Green Jobs are good jobs karena memberi kesempatan sama bagi laki-laki juga perempuan untuk menekuninya. Green Jobs bukan cuma diisi lapangan kerja baru, tapi juga lapangan kerja tradisional yang sudah dimodifikasi dalam perspektif hijau.
Anak muda Indonesia yang tertarik terjun ke Green Jobs juga semakin banyak. Nah, kira-kira apa saja ya Green Jobs yang anti mainstream dan bisa menjadi ‘emas hijau’ bagi anak muda Indonesia yang mau menekuninya?
- Sustainable chef
Kalo kita bahasakan kurang lebih artinya adalah juru masak ramah lingkungan. Kalo kita mendengarnya sekarang rada lucu ya? Namun, saya yakin di masa depan kita akan terbiasa dengan profesi ini.
Koki-koki di Indonesia sekarang sudah banyak yang menjadi koki seleb. Mereka bukan cuma jago masak, tapi juga diidolakan banyak orang. Saya misalnya, nge-fans berat sama Chef Arnold dan Chef Marinka.
Saya yakin pekerjaan sebagai Sustainable Chef di masa depan bakal menarik. Mereka bukan cuma bisa masak enak, tapi juga memperhatikan bahan baku masakan yang menekankan prinsip berkelanjutan, bersumber dari panganan lokal, kualitasnya bagus, organik, dan yang terpenting adalah juru masak yang gak boros dan zero waste.
Secara gak langsung Sustainable Chef akan mengedukasi masyarakat luas tentang isu-isu lingkungan hidup berkelanjutan. Mereka bisa menjadi inspirator yang baik.
- Teknisi AC ramah lingkungan
Hari gini rumah mana sih yang tak pakai AC? Konsumsi energi listrik untuk AC di Indonesia itu tinggi banget loh.
Coba kita bayangkan sekiranya di Indonesia ini memiliki banyak teknisi atau installer AC ramah lingkungan, yang bisa membuat AC lebih efisien, bahkan kalau bisa AC yang menggunakan energi matahari. Pasti saya akan menjadi pelanggan pertamanya.
- Insinyur energi
Walaupun gelar insinyur udah gak ada lagi, tapi tetap aja keren ketika kita gunakan sebagai istilah. Nah, sekarang ini sudah banyak insinyur atau sarjana mesin, arsitek bangunan, sarjana sipil, dan profesional semacamnya yang bekerja di berbagai sektor industri.
Namun, sejauh yang saya tahu belum ada yang spesifik bisa dikatakan ahli manajemen energi. Kalaupun ada istilah yang sama, biasanya baru didapatkan kalau mereka mengambil kursus atau kuliah di luar negeri.
Nah, insinyur energi atau ahli manajemen energi ini bisa mengatur sistem manajemen energi, entah itu di perusahaan atau lembaga pemerintah.
- Konsultan konstruksi material berkelanjutan
Pasar konstruksi bangunan di Indonesia mengalami perubahan besar sejak krisis moneter belasan tahun lalu. Tantangan kita sekarang adalah merancang konstruksi bangunan yang betul-betul memperhatikan kriteria ramah lingkungan.
Memang sih sudah banyak bangunan yang dirancang sebagai green building, tapi seberapa banyak sih di Indonesia? Bisa dihitung pakai jari deh kayaknya.
Konsultan konstruksi material berkelanjutan diperlukan karena mereka ahli mendesain, memilih material, dan mengarahkan konstruksi baru yang benar-benar ramah lingkungan.
- Pengacara lingkungan
Indonesia benar-benar butuh ahli hukum lingkungan, khususnya pengacara. Kita sama-sama tahu berapa banyak pelaku dan perusahaan perambah hutan lolos dari jerat hukum di pengadilan. Ini karena masih sedikit pengacara yang mendalami hukum lingkungan.
Green lawyer ini menurut saya berperan besar mengedukasi, memberi konsultasi kepada perusahaan, lembaga publik, dan klien-klien di pengadilan. Tentu saja profesi ini di masa depan bakal bangkit dan menciptakan ceruk pasar sendiri.
- Environmental IT tech
Nyaris semua peralatan rumah tangga, gadget, pokoknya yang berbau internet of things sekarang ini terkait dengan efisiensi energi.
Coba bayangkan di antara aplikasi yang gak terhitung jumlahnya itu ada yang prinsipnya ramah lingkungan, pasti sangat diminati industri masa depan. Ini juga Green Jobs loh, sebab semuanya butuh keterampilan IT, hanya saja disempurnakan dengan keberadaan teknisi atau orang yang menguasai environmental IT.
- Ahli pertanian vertikal
Lahan pertanian di Indonesia semakin berkurang, sementara jumlah penduduk terus bertambah. Mau gak mau di masa depan kita membutuhkan konsultan dan ahli pertanian vertikal yang bisa mengadopsi teknologi pertanian terbaru, bahkan jika mungkin menggunakan kecerdasan buatan.
Teknologi terbaru ini membutuhkan pengorganisasian komunitas petani di Indonesia, sebagaimana halnya komputer. Konsultan pertanian ini lah yang akan bekerja sama dengan pemerintah daerah, komunitas petani, dan swasta yang menjadi kliennya untuk mengidentifikasi lokasi optimal untuk budidaya pertanian.
Pertanian vertikal adalah terobosan baru di sektor pertanian. Dengan demikian, rantai pasok pangan di Indonesia tetap terjamin, meski lahannya terbatas.
- Teknisi surya fotovoltaik
Panel surya mengkonversi energi matahari menjadi energi listrik. Kebutuhan listrik di Indonesia amat besar. Kalo kita terus menerus mengandalkan energi fosil untuk listrik, lama-lama bakal defisit.
Saya yakin di masa depan teknisi surya fotovoltaik akan menjadi Green Jobs paling bergengsi. Profesi ini di luar negeri sudah banyak, tapi di Indonesia masih sedikit.
Teknisi surya fotovoltaik di Amerika saja bisa bergaji 49 ribu dolar AS atau sekitar Rp 700 juta loh.
Green Jobs bukan cuma berisi satu lapangan pekerjaan. Ada banyak peluang dan jutaan profesional dengan beragam keterampilan dan gelar bisa meng-upgrade pekerjaan mereka menjadi Green Jobs.
PBB memperkirakan akan ada 24 juta lapangan kerja baru tercipta hingga 2030. Sebagian besarnya adalah Green Jobs lantaran semakin banyak negara di dunia bertransisi ke arah ekonomi hijau dan berkelanjutan. So, tunggu apa lagi? Yuk, ciptakan peluangmu sendiri.
Penulis: Mutia Ramadhani www.muthebogara.blog
Penulis merupakan Juara 1 dalam Lomba Penulisan Blog yang diadakan oleh Koaksi Indonesia, tulisan berikut telah diterbitkan dalam blog penulis dan dapat dilihat pada tautan berikut: https://muthebogara.blog/2021/02/19/green-jobs/
DISCLAIMER
Semua artikel dan opini yang dipublikasikan pada Blog Energi Muda menjadi tanggung jawab dari masing-masing penulis. Koaksi Indonesia membantu mereduksi bahasa dan penulisan sesuai kaidah KBBI, logika dan kata di dalam tulisan yang masuk ke redaksi. Koaksi Indonesia tidak bertanggung jawab jika terdapat plagiarisme, kesalahan data dan fakta serta kekeliruan dalam penulisan nama, gelar atau jabatan yang terdapat di dalam artikel dan opini.