Indonesia Climate Week: Pekan Pergelaran Aksi Adaptasi Perubahan Iklim dari Akar Rumput di Indonesia
Seluruh jaringan koalisi VCA Indonesia menggaungkan aksi bersama untuk melibatkan masyarakat secara penuh dan bermakna dalam merespons krisis iklim. Sebagai bagian koalisi, Koaksi Indonesia, berpartisipasi penuh dalam pekan festival iklim ini.
KOAKSI INDONESIA—Pengujung tahun 2024, Aliansi Voices for Just Climate Action (VCA) Indonesia menggelar Indonesia Climate Week (ICW), sebuah festival iklim bertema “Merayakan Aksi Iklim Lokal untuk Global” di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta.
Festival iklim yang diselenggarakan pada 10—14 Desember 2024 menjadi platform bagi masyarakat untuk menunjukkan aksi-aksi iklim berbasis lokal yang telah mereka lakukan sebagai respons terhadap dampak krisis iklim yang makin nyata. Menurut Febrilia Ekawati, Ketua Panitia ICW, saat pembukaan puncak acara pada 13 Desember, kelompok rentan di Indonesia merasakan dampak yang tidak proporsional, meskipun kontribusi emisi mereka kecil.
Acara ini dimeriahkan oleh seluruh jaringan koalisi VCA dari Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Nusa Tenggara Timur (NTT), hingga Tanah Papua yang memimpin berbagai inisiatif adaptasi yang mengedepankan kearifan lokal. Melalui Indonesia Climate Week, VCA Indonesia berharap mampu menginspirasi aksi kolektif yang lebih besar dan mendorong pengambil kebijakan untuk bertindak cepat guna menghadapi krisis iklim yang mendesak.
“Solusi atas krisis iklim bisa dibangun dengan partisipasi penuh dari masyarakat dan kolaborasi dengan banyak pihak, terutama pemerintah,” sambung Febrilia.
Duta Besar Kerajaan Belanda untuk Indonesia, Timor Leste, and ASEAN, Marc Gerritsen, juga hadir untuk menyampaikan apresiasi terhadap inisiatif iklim berbasis komunitas.
“Aksi iklim berbasis komunitas dan partisipasi masyarakat sangatlah penting untuk mengatasi krisis iklim. Hal ini perlu kita apresiasi dan dukung bersama,” ujar Marc.
Sementara Aditya Bayunanda, CEO WWF Indonesia, menyampaikan bahwa tanggung jawab untuk mendukung aksi iklim yang berkeadilan harus diemban bersama oleh pemerintah dan pihak nonpemerintah. Dia menekankan pentingnya memberikan dukungan dan perlindungan terhadap berbagai inisiatif iklim yang dipimpin oleh masyarakat lokal, yang dirancang sesuai dengan kebutuhan dan konteks setempat.
“Kami yakin, melalui kolaborasi yang erat dan dukungan yang terus-menerus, program ini akan memberikan manfaat yang signifikan bagi masyarakat, serta memberikan kontribusi nyata dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan dan aksi iklim yang adil di Indonesia,” ungkapnya.
Diskusi Ruang Empati Ko-Kreasi
Selesai acara pembukaan, dilakukan Diskusi Ruang Empati Ko-Kreasi di dalam Galeri Emiria. Diskusi ini membahas tiga tema, yakni laut pesisir, pangan lokal, dan WASH (Water Sanitation and Hygiene) dalam tiga forum yang berbeda serta dihadiri teman-teman NGO, tokoh masyarakat, dan pemerintahan.
Dari tokoh masyarakat hadir antara lain Yohanes Pulang (local champion Koalisi Pangan Baik), Women Federation Jakarta, Akbar Digdo (CEO Yapeka), dan Puji Sumedi (Yayasan Kehati). Sementara dari pemerintahan hadir antara lain Muhammad Yusuf (Direktur Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil), Rinna Syawal (Badan Pangan Nasional), dan Jarot Indarto (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional).
Ketiga isu ini dipilih karena sangat berhubungan erat dengan permasalahan sehari-hari masyarakat setempat yang menjadi wilayah kerja VCA Indonesia.
Acara diskusi dipimpin oleh Koalisi Adaptasi untuk isu tata ruang pesisir, Koalisi Pangan Baik untuk kedaulatan pangan dalam program makan gratis, dan Speak Indonesia untuk isu kerentanan sanitasi perempuan miskin perkotaan. Hasil diskusi ini bertujuan untuk mencari akar permasalahan berdasarkan setiap tema dan solusi atau rekomendasi yang harus dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan.
Dalam sektor sanitasi, diperlukan kolaborasi multipihak yang melibatkan pemerintah, masyarakat lokal, dan sektor swasta untuk menciptakan sistem sanitasi yang inklusif, berbasis data, dan berorientasi pada kebutuhan lokal. Skema pembiayaan yang jelas serta penguatan kapasitas kelembagaan menjadi langkah kunci, sementara pendekatan berbasis gender dan pelibatan perempuan perlu diperhatikan dalam penyusunan kebijakan sanitasi.
Sementara itu, dalam pengembangan pangan lokal, pemberdayaan komunitas menjadi fokus utama dengan memanfaatkan kearifan lokal untuk memproduksi dan mengolah pangan yang bergizi dan berkelanjutan. Pengembangan pangan lokal sudah seharusnya dilakukan, apalagi saat ini pemerintah telah mencanangkan program makan siang bergizi. Dengan demikian, pangan lokal dapat mendukung program itu.
Dalam sektor kelautan dan pesisir, partisipasi aktif petani dan nelayan, sinkronisasi kebijakan lintas sektor, serta inovasi dalam sistem pengolahan dan distribusi pangan dapat meningkatkan ketahanan pangan nasional. Di sisi lain, pelestarian pesisir dan kelautan membutuhkan keterlibatan masyarakat lokal, termasuk perempuan dan kelompok muda, dalam upaya konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan sumber daya alam. Pemetaan berbasis data spasial dan sosial, pengakuan ruang adat, serta pemberian insentif bagi masyarakat yang berkontribusi aktif dalam pelestarian pesisir perlu menjadi prioritas.
Ketiga isu ini harus diintegrasikan dengan pendekatan yang inklusif, berbasis partisipasi, dan didukung oleh sinergi multipihak, sehingga mampu menghadirkan dampak signifikan dalam mewujudkan keberlanjutan lingkungan, kesejahteraan masyarakat, dan ketahanan iklim di Indonesia.
Keseruan Acara di ICW
ICW berlangsung selama lima hari dengan puncak acara pada 13 dan 14 Desember 2024. Agenda kegiatan selama sepekan ini menghadirkan pameran foto, mural, diskusi tematik, lokakarya, talkshow, hingga dialog publik dengan melibatkan pemerintah, komunitas, dan berbagai pihak lainnya.
Bertemakan festival, agenda ICW kali ini ingin mengemas aksi iklim dengan menghadirkan beberapa kesenian seperti pameran, tari, dan konser musik. Memasuki ruang utama di Galeri Emiria, TIM, kita akan disambut jajaran foto dan narasi aksi adaptasi yang telah dilakukan masyarakat di tingkat urban dan tapak.
Selain pameran karya di dalam galeri, semua jaringan koalisi VCA dari NTT, Jakarta, Yogyakarta, dan Tanah Papua menggelar pojok komunitas berupa gerai-gerai di selasar Galeri Emiria. Koaksi Indonesia bersama Yayasan Pikul yang telah bergabung dalam aliansi VCA sejak 2021 turut meramaikan galeri tersebut dengan menggelar aktivitas mini workshop Recycle bersama Bank Sampah Gunung Emas.
Kegiatan mini workshop ini bertujuan untuk mengajarkan pengunjung cara mengelola sampah terutama kain bekas/perca dan sampah plastik menjadi barang baru yang dapat digunakan. Dalam workshop yang diikuti sekitar 50 peserta pada dua hari acara puncak ini, para peserta berhasil membuat kerajinan berupa bros, pouch, dan gantungan kunci.
Selain workshop, Koaksi Indonesia mengadakan permainan susun puzzle. Pengunjung yang datang kebanyakan merupakan siswa dan mahasiswa di sekitar TIM. Mereka tertarik mengikuti permainan puzzle. Sebelum bermain, para pengunjung memperoleh penjelasan mengenai perubahan iklim serta tokoh lokal yang menyuarakan aksi iklim. Dengan mengenalkan tokoh-tokoh ini, Koaksi Indonesia berharap banyak anak muda menjadi terinspirasi, lalu mulai beraksi di lingkungan masing-masing.
Beralih ke bagian mini stage selasar galeri. Di sini, diadakan juga beberapa kegiatan seperti pengenalan pangan lokal oleh Koalisi Pangan Baik. Menghadirkan tokoh pangan lokal NTT, Shindy Soge, mengenalkan beberapa contoh pangan lokal seperti biji-bijian, sorgum, jali-jali, serta buah-buahan lokal.
Baca Juga: Catatan Perjalanan Mengeksplorasi Kupang
Dalam mendukung pangan lokal ini, mereka juga mengadakan lomba memasak yang diikuti oleh lima peserta, salah satunya tokoh champion Koalisi Sipil, Yasinta Adoe. Bekerja sama dengan Masak.TV, peserta lomba diberikan peralatan dan bahan masakan langsung oleh panitia serta diberikan arahan langsung dari Chef Tasya Khairunnisa.
Lomba masak ini terbagi dalam dua kategori, yaitu protein nabati–tumis bayam dan protein hewani–ikan kakap kuah asam. WWF Tanah Papua meraih juara 1 dan 2, sementara Yasinta Adoe mendapatkan juara 3.
Talkshow: Nada, Goresan, dan Gerakan Perempuan dalam Artivism
Koalisi Sipil dan Koalisi Kopi bekerja sama untuk menyelenggarakan talkshow bertema “Perempuan dan Artivism” yang juga merupakan salah satu kegiatan dalam puncak acara.
Sesuai dengan temanya, talkshow ini menghadirkan tiga narasumber perempuan yang mumpuni di bidangnya masing-masing. Ada musisi dari Band Barasuara, Asteriska, yang juga tergabung dalam Indonesian Knowledge, Climate, Arts, and Music Labs (IKLIM); local champion Koalisi Sipil, Yasinta Adoe; dan Magdalena Oa Eda Tukan dari local champion Koalisi Kopi. Talkshow yang berlangsung pada Sabtu sore itu dimoderatori oleh Ridwan Arif, Manajer Riset dan Pengelolaan Pengetahuan Koaksi Indonesia yang tergabung dalam Koalisi Sipil.
Magdalena Oa Eda Tukan, atau akrab disapa Eda, menyampaikan bahwa orang muda nonaktivis lingkungan di NTT kini mulai tergerak untuk terlibat dalam aksi lingkungan setelah munculnya gerakan yang memberikan ruang untuk mendiskusikan isu perubahan iklim.
“Dulu, tidak ada wadah atau komunitas yang fokus membicarakan isu lingkungan di antara kelompok muda NTT. Tapi ternyata setelah ada beberapa komunitas yang terbentuk, justru antusiasme anak muda untuk terjun dalam aksi lingkungan di NTT semakin meningkat. Aksi ini dapat tercipta dari kesadaran dan niat dari setiap orang terkait apa yang mau diperjuangkan bersama,” ujar Eda.
Menghadapi berbagai tantangan, termasuk menolak pembangunan jogging track di sepanjang Pantai Pasir Panjang, Kota Kupang. Yasinta Adoe mengedukasi masyarakat dan mendorong kepedulian lingkungan melalui berbagai aksi yang berhubungan dengan lingkungan.
“Setelah berhasil memperjuangkan dan terlibat dalam penolakan jogging track, saya menjadi lebih aktif di komunitas lingkungan dan terus mengajak orang lain untuk bertindak hal yang serupa. Tujuannya untuk terus mendorong peran nelayan agar senantiasa didengar oleh pemerintah,” pungkasnya.
Sementara itu, Icil atau Asteriska mengungkapkan bahwa penggunaan seni, seperti musik dan lukisan, merupakan cara paling halus untuk menyuarakan kepedulian lingkungan. Dia percaya bahwa seni, terutama musik, efektif menggerakkan orang untuk bertindak.
“Orang-orang akan melihat betapa penting dan nyatanya krisis iklim di kehidupan kita saat ini. Dengan memperlihatkan bahwa para musisi ikut turun tangan dalam aksi lingkungan dalam karyanya, pasti akan membuat orang penasaran dan mulai mencari tahu sendiri,” ujar Icil.
Ketiganya mengungkapkan bahwa aksi iklim dapat dilakukan siapa saja dengan media apa saja. Namun, yang terpenting adalah konsistensi dalam melakukan aksi lingkungan agar dapat melibatkan sebanyak mungkin orang sehingga dampaknya berkelanjutan.
Acara Berakhir Tidak Berarti Aksi Iklim Berakhir
Tidak terasa keseruan ICW selama lima hari berturut-turut ini telah berakhir. Penampilan seni menjadi penutup puncak acara pada 13 dan 14 Desember 2024. Mulai dari penampilan teater komedi, band akustik, musikalisasi puisi, pertunjukan wayang, hingga guest star grup musik Banda Neira. Para penampil ini menyemangati pengunjung untuk terus bersama menyuarakan aksi iklim dengan media apa pun, terutama melalui kesenian.
Keseruan ICW memang telah berakhir. Namun, menyuarakan aksi iklim serta melaksanakannya tidak boleh berakhir karena itu menjadi tanggung jawab kita sebagai penduduk bumi.