Penulis: Randika Anwar—Koaksi Indonesia
Editor: Adhi Triatmojo—Koaksi Indonesia
Keputusan 13 yang dikeluarkan pemerintah negara tetangga kita itulah yang menjadi kunci keberhasilan pengembangan energi surya di sana.
Laporan terbaru Greenpeace Asia Tenggara (GPSEA) yang berjudul “Southeast Asia Power Sector Scorecard” mengungkapkan bahwa dari delapan negara di kawasan Asia Tenggara yang diteliti, Vietnam menunjukkan kinerja terbaik dalam mencapai target 1,50C sebelum tahun 2030.[1] Kinerja itu tercapai berkat pemberian insentif dalam kebijakan perencanaan transisi energi dengan meningkatkan porsi energi terbarukan di negaranya, terutama dalam pengembangan tenaga surya. Vietnam berhasil melipatgandakan kapasitas tenaga surya dari 0,1 GW di tahun 2018 menjadi 5,5 GW di akhir tahun 2019.[2]
Sementara Indonesia, dalam laporan itu, menunjukkan kinerja terburuk di kawasan Asia Tenggara. Padahal, Indonesia memiliki potensi energi surya yang tinggi. Sayang sekali, potensi yang tinggi itu tidak dibarengi dengan pertumbuhannya. Pertumbuhan energi surya di Indonesia masih terbilang lambat.[3] Sebenarnya, apa yang menyebabkan kedua negara ini memiliki kinerja yang bertolak belakang?
Kebijakan di Indonesia
Salah satu upaya untuk mendorong pengembangan energi terbarukan di Indonesia tertuang dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 4/2020 yaitu perubahan kedua atas Peraturan Menteri ESDM No. 50/2017 tentang pemanfaatan energi terbarukan untuk pembangkit listrik.[4] Dalam Permen ini terjadi perubahan skema bisnis dalam proses mekanisme pembelian tenaga listrik, yaitu Build, Own, Operate and Transfer(BOOT) menjadi Build, Own and Operate (BOO) yang tidak lagi menerapkan transfer ke PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Perubahan ini disambut dengan baik oleh pihak swasta karena mereka tidak perlu mentransfer asetnya kepada pemerintah.
Perubahan ini sekaligus menunjukkan upaya pemerintah untuk terus menyempurnakan regulasi mengenai ketentuan mekanisme pembelian tenaga listrik dari pembangkit listrik yang memanfaatkan sumber energi terbarukan serta upaya dalam membangun ekonomi yang berkelanjutan. Seluruh harga pembelian tenaga listrik memerlukan persetujuan Menteri ESDM dan persetujuan harga pembangkit listrik berbasis energi terbarukan harus mendapat persetujuan dari Direksi PT PLN. Sebagaimana tercantum dalam Keputusan Menteri ESDM No. 55.K/20/MEM/2019 Tentang Besaran Biaya Pokok Penyediaan (BPP) Pembangkitan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Tahun 2018.
Besaran BPP Pembangkitan listrik PT PLN ini digunakan sebagai acuan pembelian tenaga listrik oleh PT PLN dan untuk ketentuan harga beli tenaga listrik berbasis energi terbarukan disesuaikan dengan potensi sumber energi terbarukan di daerah setempat dan BPP daerahnya, sehingga harga listrik yang ditetapkan untuk setiap daerah tidak sama.[5] Selain itu, untuk harga BPP listrik untuk Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Fotovoltaik, Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB), Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm), Pembangkit Listrik Tenaga Biogas (PLTBg), dan Pembangkit Listrik Tenaga Arus (PLTA) Laut paling tinggi adalah 85% dari BPP Pembangkitan di sistem ketenagalistrikan setempat, sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri ESDM No. 4/2020.
Hingga saat ini, proses pengembangan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan masih menghadapi banyak kendala. Penetapan harga pembelian listrik berdasarkan BPP listrik ternyata belum dapat mendorong percepatan pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia.[6] Oleh karena itu, diperlukan ketentuan harga energi terbarukan yang lebih tepat dan progresif guna mendukung percepatan transisi energi di Indonesia.
Kebijakan di Vietnam
Sejak 2017 hingga saat ini, pemerintah Vietnam merancang dan menerapkan feed-in tariff (FiT) dengan desain adaptif yang disesuaikan dengan lokasi serta perkembangan pasar surya dalam negeri. Pada 6 April 2020, Perdana Menteri Vietnam mengeluarkan Keputusan No. 13/2020 / QD-TTg (Keputusan 13)[7] tentang insentif untuk mendorong pengembangan tenaga surya di Vietnam. Keputusan 13 yang telah berlaku sejak 22 Mei 2020, memperkenalkan sejumlah insentif dan mekanisme baru bagi para investor dan developer dalam proyek tenaga surya di Vietnam.
Salah satu fitur paling menonjol dalam Keputusan 13 adalah perpanjangan feed-in tariff (FiT 2) baru untuk proyek tenaga surya yang belum tercapai sesuai dengan commercial operation date (COD) pada 30 Juni 2019 sebagaimana tercantum dalam Keputusan 11/2017 sebelumnya. Keputusan 13 menetapkan FiT 2 untuk berbagai proyek tenaga surya nasional, baik floating solar power project, ground mounted solar power project, maupun rooftop solar power system.[8]
- Untuk floating solar power project: 1.783 VND/ kWh setara 7.7 US cent/kWh
- Untuk ground mounted solar power project: 1.644 VND/kWh setara 7.1 US cent/kWh
- Untuk rooftop solar power system: 1.943 VND/kWh setara setara 8.4 US cent/kWh
FiT 2 di atas diterapkan selama 20 tahun dari COD.[9] Jika kita membandingkan harga yang ditawarkan FiT 2 Vietnam di atas dengan harga BPP Pembangkitan Nasional Indonesia, yaitu senilai 1.119 Rp/kWh atau setara dengan 7.9 US cent/kWh dan 85% dari total BPP, maka biaya yang ditawarkan oleh BPP Pembangkitan Nasional Indonesia menjadi 6.7 US cent/kWh. Ini menunjukkan BPP listrik Indonesia menawarkan harga yang lebih rendah dibandingkan dengan harga yang ditawarkan oleh FiT 2 Vietnam.
Dalam webinar yang berjudul “Bringing Indonesia to The Gigawatt Club: Vietnam Made It, and So Can We” yang diselenggarakan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR), Tran Viet Nguyen selaku Vice Director of Business Department of Vietnam Electricity Group (EVN) menyampaikan bahwa kebijakan pemerintah Vietnam berupa insentif FiT memberikan kemudahan bagi EVN dalam meningkatkan kapasitas energi terbarukan, terutama dalam penggunaan PLTS Atap. Proyek-proyek PLTS Atap kini telah mendapatkan dukungan dari pihak perbankan lokal, regional hingga pendanaan asing yang dapat memberikan skema pinjaman dana yang menarik, seperti soft loan.[10] Skema pinjaman seperti itu meningkatkan minat para developer atau investor swasta yang akhirnya merasa nyaman untuk mengambil risiko investasi karena opsi pembiayaan menjadi lebih mudah. Pengguna PLTS Atap Rumahan dan Bangunan Komersial juga dapat menikmati FiT sehingga penggunaan PLTS Atap dilihat sebagai investasi yang menarik dan menguntungkan.[11] Penerapan FiT di Vietnam berhasil menciptakan iklim investasi yang baru, membuka ataupun memobilisasi sumber pendanaan, serta menciptakan lapangan kerja baru yang dapat menumbuhkan ekonomi berkelanjutan di dalam negeri.
Keputusan 13 juga menyediakan beberapa skema bisnis yang dapat digunakan para developer sesuai dengan kapasitas dan kebutuhannya. Dalam Skema Capital Expenditure, pengguna PLTS dapat membeli dan menggunakan PLTS secara mandiri. Selanjutnya adalah Direct/Corporate Power Purchase Agreement (PPA) sebagai suatu perjanjian jual beli listrik antara perusahaan swasta penghasil listrik surya dengan konsumen yang tidak perlu menyertakan ataupun melalui Vietnam Electricity (EVN).[12]
Kebijakan itu pun menyatakan bahwa sebagian atau seluruh listrik yang dihasilkan dari PLTS diizinkan untuk dijual ke Vietnam Electricity (EVN) atau ke pembeli lain yang tidak terhubung dalam jaringan EVN (non-EVN). Apabila pembelinya non-EVN, harga pembelian listrik akan disesuaikan dalam FiT dan perjanjian pembelian daya listrik harus disetujui oleh para pihak yang bersangkutan sesuai dengan hukum Vietnam. Terdapat pula skema Solar Leasing yang memungkinkan kepemilikan pihak ketiga sehingga perusahaan swasta yang bergerak di bidang energi terbarukan dapat berinvestasi dan memasang PLTS Atap pada pemilik fasilitas.[13] Tidak hanya itu, EVN menyediakan saluran informasi dan konsultasi terkait PLTS Atap untuk para konsumennya yang dapat diakses dengan mudah oleh publik melalui website EVNSOLAR.[14]
Pelajaran untuk Kita
Walaupun Indonesia sudah memperbarui skema BOOT menjadi BOO, sebaiknya Indonesia kembali menerapkan FiT untuk pembangkit energi terbarukan, mengimplementasikan skema bisnis PLTS yang beragam, serta menyediakan media informasi dan konsultasi yang memadai terkait PLTS. Skema bisnis yang inovatif dapat memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi para developer dan konsumen PLTS, sekaligus mendorong pemanfaatan energi terbarukan di berbagai sektor lain. Kebijakan yang tepat, konsisten, dan menarik sekiranya dapat menjadi jaminan yang progresif dalam melakukan transisi energi yang berkelanjutan di negeri ini.
———-
[1]Greenpeace, “Southeast Asia Power Sector Scored: Bottlenecks and Bailouts Pose Major Climate Risks”, Greenpeace.org 23 September 2020, https://www.greenpeace.org/international/press-release/45204/southeast-asia-power-sector-scored-bottlenecks-and-bailouts-pose-major-climate-risks/ (16 Nov. 2020)
[2]Ibid.
[3]Ibid.
[4]RWS, “Penyempurnaan Regulasi, Tingkatkan Optimisme Pengembangan Energi Terbarukan”, Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, 20 April 2020, https://ebtke.esdm.go.id/post/2020/04/20/2531/penyempurnaan.regulasi.tingkatkan.optimisme.pengembangan.energi.terbarukan
[5]Keputusan Menteri ESDM No. 55.K/20/MEM/2019 tentang Besaran Biaya Pokok Penyediaan Pembangkitat PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Tahun 2018
[6]loc. cit.
[7]Watson Farley & Williams, “Decision13; Insights Into The Future of Vietnam’s Solar Industry”, 11 Mei 2020, https://www.wfw.com
[8]Ibid.
[9]Ibid.
[10]Marlistya Citraningrum, (2020, November 2 ). “Komitmen Pemerintah, Kebijakan yang Konsisten dan Transparan, dan Instrumen yang Tepat Mampu Menarik Investasi Energi Terbarukan di Vietnam, Indonesia Kapan?”, Institute for Essential Services Reform 2 November 2020, https://iesr.or.id
[11]Ibid.
[12]Ibid.
[13]Ibid.
[14]Communications Department – Vietnam Electricity, “EVN Commissions EVNSOLAR Platform to Promote Rooftop Solar Power Development in Vietnam”, 9 September 2020, https://en.evn.com.vn