“Isi bensin dulu ya” akan digantikan dengan “Isi listrik dulu ya”. Selamat datang masa depan!
Masa depan energi terbarukan tidak hanya terkait dengan aspek lingkungan, tetapi juga bidang ekonomi, seiring dengan penggunaan kendaraan listrik. Ini berarti akan ada nilai tambah yang cukup besar bagi Indonesia. Namun, hingga saat ini energi terbarukan masih sangat jauh dari target 23% dari bauran energi nasional karena masih dikuasai oleh bahan bakar fosil. Kemungkinan ke depan, melalui pendekatan ilmu pengetahuan dari berbagai ilmuwan, penting sekali untuk melakukan substitusi, setidaknya dari sisi ekonomi bisa berdaya saing, terutama harga produksi listrik.
Ekonomis dan Produktif
Sektor listrik dalam industri memiliki dua kepentingan besar, yaitu menciptakan efisiensi dan sebagai faktor produksi. Dengan listrik yang lebih ekonomis akan tumbuh industri dari hulu ke hilir di bidang kelistrikan yang juga memanfaatkan sumber daya nasional. Demikian presentasi yang dipaparkan Dr. Ir. Taufik Bawazier, M.Si., Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (Dirjen ILMATE) Kementerian Perindustrian Republik Indonesia dalam webinar internasional bertajuk “Future of Renewable Energy and Applied Electrical Vehicle”. Acara yang disiarkan langsung untuk publik pada Rabu, 11 November 2020 ini diselenggarakan oleh Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada bekerja sama dengan The University of Tokyo dan FROGS Indonesia.
Posisi energi terbarukan di Indonesia masih didominasi pembangkit listrik tenaga air di antara enam jenis energi terbarukan secara keseluruhan yang berkisar 10.843 megawatt (MW) pada 2020. Tahun ini energi terbarukan mengalami peningkatan 1,27% dari satuan terpasang sebesar 8.496 MW pada 2015 yang disumbangkan pembangkit hybrid, bayu, surya, bioenergi, panas bumi, dan air seperti rincian dalam tabel di atas.
Khusus di sektor penggunaan kendaraan listrik, Dirjen ILMATE memberikan gambaran bahwa pemerintah Indonesia sudah merancang rencana di masa depan, paling tidak sepuluh tahun mendatang, mengenai kebijakan untuk mobil listrik dan energi terbarukan. “Energi baru terbarukan terus kita dorong dan tentunya ini juga berhubungan dengan kebijakan di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Sementara PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Persero juga mau mengadopsinya. Sebetulnya yang terpenting apabila listrik yang dihasilkan lebih murah, lebih efisien daripada bahan bakar fosil, maka otomatis akan terserap oleh sektor industri karena industri butuh listrik yang terbarukan dan tentunya kompetitif,” kata Dr. Bawazier.
Menurut Center for Climate and Energy Solutions (C2ES), sebuah organisasi nirlaba independen, yang membuat solusi praktis untuk perubahan iklim dan berpusat di Arlington, Virginia, Amerika Serikat, energi baru terbarukan menghasilkan 26,2% dari pembangkit listrik global pada tahun 2018 dan diperkirakan meningkat menjadi 45% pada tahun 2040. Sebagian besar peningkatan kemungkinan berasal dari tenaga surya, bayu, dan tenaga air. Energi terbarukan digunakan di semua keperluan baik bisnis, rumah tangga, maupun industri. Nilainya mencapai kisaran 1200 gigawatt (GW), dari sisi tenaga surya mungkin hampir separuhnya.
Dr. Bawazier mengatakan bahwa tentunya harga listrik yang akan ditawarkan ke depan dengan teknologi terbaru bisa menyentuh angka USD 0,04 (setara Rp 568,14) per kilowatt (KW). Saat ini, harga listrik dipandang masih cukup tinggi, sehingga konsumen tidak begitu tertarik untuk membelinya. Inilah faktor yang menyebabkan bahan bakar fosil masih kuat dan batu bara tetap mendominasi dalam pasar listrik nasional sekitar 60%.
Beragam upaya teknologi bisa ditujukan ke arah membentuk pembaruan energi terbarukan mulai dari sekarang. Tentu tidak saja secara teknis, melainkan harus dinilai juga dari economic of skill (keterampilan ekonomis) supaya sisi komersialisasinya mampu diadopsi di dunia usaha untuk memberikan daya tarik investasi. Semua komponennya akan tumbuh, yang dapat dihasilkan termasuk peranti dan mesin-mesin pembangkit.
Pada 2050, sektor perindustrian yang terbagi dua sisi, yaitu industri dan bahan baku, diproyeksikan oleh Dewan Energi Nasional akan membutuhkan energi final 168,9 juta TOE (Tonne of Oil Equivalent), sementara dalam lima tahun ke depan sebesar 118 juta TOE. Dari rentang waktu sepuluh tahun antara 2015 hingga 2025 peningkatan kebutuhan energi final sektor industri diperkirakan 1,64%. Namun, energi dari gas bumi termasuk LPG dan Syngas (gas sintetis) serta batu bara masih menguasai konfigurasi ini. Sementara itu, bioenergi seperti bahan bakar nabati (BBN) dan biomassa tengah bersaing ketat dengan BBM dan produk minyak lainnya. Proyeksi itu diungkapkan dalam tabel berikut:
Tiga Pilar Utama
Keamanan energi (energy security), keadilan energi (energy equity), dan keberlanjutan lingkungan (environmental sustainability) merupakan tiga pilar utama dalam bidang energi di masa depan. Ketiga pilar utama itu patut memicu motivasi semua pihak untuk mempertahankannya agar terjaga, berkelanjutan, dan seimbang.
International Energy Agency (IEA) mendefinisikan keamanan energi sebagai ketersediaan sumber energi tanpa gangguan dengan harga terjangkau. Keamanan pasokan, kualitas energi, diversifikasi, dan aksesibilitas merupakan empat unsur vital dalam pilar pertama ini. Keamanan energi jangka panjang terutama berkaitan dengan investasi yang tepat waktu untuk memasok energi sejalan dengan perkembangan ekonomi dan kebutuhan lingkungan.
“Masalahnya kita tidak boleh memahami keamanan energi dalam arti hanya sebagai kuantitas meliputi kemampuan negara atau daerah tertentu untuk mencukupi kebutuhannya. Tidak hanya berhenti di situ. Akan tetapi, energy security penting juga ditinjau dari faktor kualitas. Hubungan antara kuantitas dan kualitas energi berarti keseimbangan antara pasokan dan permintaan. Khususnya keseimbangan antara supply-demand otomatis yang kita butuhkan juga terkait dengan respons sebuah komunitas dalam sistem itu bisa saling menyeimbangkan dalam waktu singkat. Ini terkait dengan energi yang kita punyai termasuk listrik dan lainnya,” kata Muhammad Aziz, associate professor di The University of Tokyo.
Pilar kedua berbentuk keadilan energi (energy equity). “Peningkatan ekuitas memberi kesempatan kepada semua pemangku kepentingan baik yang bertindak sebagai pemasok, produser, maupun konsumer dalam waktu bersamaan. Apabila EBT terdistribusikan secara luas akhirnya dari segi kapasitas pengetatan energi itu sendiri akan kecil. Untuk menghasilkan semua sumber energi yang ada tidak terlepas dari faktor ekuitas,” ujar Prof. Aziz, doctor engineering dari Kyushu University. Dengan kata lain, unsur vital dari keadilan energi adalah daya saing, oportunitas, dan pertumbuhan ekonomi.
Ketiga, keberlanjutan lingkungan (environmental sustainability) dengan vitalitas yang berunsur pada iklim dan lingkungan. Menurut Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), keberlanjutan lingkungan berkaitan dengan tindakan yang memastikan generasi mendatang memiliki sumber daya alam yang tersedia untuk menjalani gaya hidup yang setara, jika tidak lebih baik, dari generasi saat ini. Meskipun mungkin tidak diterima secara universal, definisi PBB cukup standar dan telah diperluas selama bertahun-tahun untuk memasukkan perspektif mengenai kebutuhan dan kesejahteraan manusia, termasuk variabel nonekonomi, seperti pendidikan dan kesehatan, udara dan air bersih, serta perlindungan dan kelestarian alam.
Skenario Tersendiri
Prof. Aziz menguraikan bahwa pengembangan energi di Indonesia seharusnya memiliki skenario yang berbeda dengan negara lain karena Indonesia merupakan negara tropis yang kondisinya berbeda dari sejumlah negara subtropis. Negara tropis memang sering disiram sinar matahari, hanya bermasalah dengan kelembapan (humidity). Akhirnya, Indonesia tidak dapat memperoleh intensitas dari sinar matahari yang bagus ketimbang misalnya Jepang atau negara-negara Eropa.
Untuk penggunaan energi bayu (wind-energy) pun akan menjadi tantangan tersendiri di negara tropis karena angin hanya bertiup apabila terjadi perbedaan temperatur udara. Pada dasarnya kawasan subtropis lebih beruntung dengan energi bayu. Negara-negara Eropa Utara seperti Jerman, Prancis, Belanda, wilayah Skandinavia, bahkan termasuk Inggris juga begitu antusias sebab angin di sana sangat kencang dan stabil. Berbeda dengan Indonesia, di negara tropis angin tidak begitu kencang dan sering berubah arah. “Ke depan, kita harus mempunyai skenario yang berbeda terutama dengan negara-negara maju,” sambung Prof. Aziz.
Indonesia mempunyai potensi energi yang besar berupa geotermal, biomassa, industrial waste, dan agricultural waste. “Kita bisa mengubahnya, tidak hanya menjadi listrik, bisa saja ke bentuk yang lain. Mungkin dulu sempat ada skenario mengubahnya ke metanol, tetapi saya tidak begitu setuju karena metanol masih melibatkan karbon. Ada faktor C-nya dalam hal ini,” katanya.
Dia menambahkan, lebih baik Indonesia berorientasi ke bahan bakar nonkarbon. “Antara energi utama dan energi cadangan termasuk di fosil pun kita masih mempunyai cadangan yang sebenarnya cukup besar. Kita memiliki cadangan brown coal, batu bara muda, yang cukup banyak, memiliki cadangan minyak, juga lainnya. Kita bisa saja mengubahnya sebagai bahan bakar energi sekunder dan sumber energi sekunder misalkan hidrogen, amonia, yang notabene tidak melibatkan karbon. Apalagi kita bisa memanfaatkan listrik ke depannya, dapat saling mensinergikan antara listrik dan beberapa energi kimiawi yang kita punya,” ucap Prof. Aziz.
Perkembangan Signifikan
Presiden Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional ini menyoroti pula teknologi electric vehicle (kendaraan listrik) yang merupakan sebuah teknologi baru. Kendaraan listrik diketahui dari apa saja kontennya seperti baterai, pengontrol, motor, mungkin nanti sistem rem, dan bermacam-macam persneling. Teknologi ini sendiri sudah ada sejak dulu. Menurut sejarah dari sekitar abad ke-18 pun kendaraan listrik sudah dikembangkan. “Kita mengetahui di awal abad ke-19 pun mobil listrik sudah bisa melaju 100 kilometer per jam. Sangat cepat karena sudah menggunakan motor. Setelah itu, dari sisi perdagangan, mobil listrik yang terjual di Amerika Serikat di sekitar awal abad ke-19 jauh lebih banyak daripada kendaraan berbahan bakar bensin,” tambahnya.
Di tahun 2020 ini, sudah tersedia hampir lima juta kendaraan listrik di seluruh dunia, termasuk di Tiongkok dan beberapa negara Eropa Utara, terutama Inggris. Perkembangannya sangat signifikan. Kendaraan listrik itu sebenarnya baterai yang bergerak karena sekitar 80% dari total biaya kendaraan listrik berasal dari baterai. Sebab, tahun 2030 mayoritas industri manufaktur dunia sudah berkomitmen untuk berubah menggunakan kendaraan listrik.
Penulis: Arpan Rachman
DISCLAIMER
Semua artikel dan opini yang dipublikasikan pada Blog Energi Muda menjadi tanggung jawab dari masing-masing penulis. Koaksi Indonesia membantu mereduksi bahasa dan penulisan sesuai kaidah KBBI, logika dan kata di dalam tulisan yang masuk ke redaksi. Koaksi Indonesia tidak bertanggung jawab jika terdapat plagiarisme, kesalahan data dan fakta serta kekeliruan dalam penulisan nama, gelar atau jabatan yang terdapat di dalam artikel dan opini.