Penulis: Ahmad Syaifudin—Mahasiswa Sejarah Universitas Negeri Malang
Editor: Gabriela Kalalo—Koaksi Indonesia
Siap dari sisi ketersediaan sumber daya alamnya. Namun, dukungan kita semua dibutuhkan untuk mewujudkannya.
Indonesia merupakan salah satu negara dengan sumber daya alam terbesar di dunia. Sayangnya, negara ini belum mampu memanfaatkan potensi itu. Kebutuhan energi di Indonesia sampai saat ini masih didominasi oleh bahan bakar fosil. Persoalan utama ketika bahan bakar ini dipakai adalah konsumsi yang terus meningkat setiap tahun. Indonesia terlalu bergantung pada bahan bakar fosil sehingga tidak mampu melepaskannya begitu saja. Sementara itu, cadangan di Indonesia sendiri terus berkurang setiap tahun. Akibatnya, impor menjadi satu-satunya jalan untuk memenuhi kebutuhan energi di negeri ini.
Banyak negara mulai meninggalkan energi fosil dan beralih menuju energi baru terbarukan (EBT). Faktor iklim dan lingkungan menjadi isu sensitif ketika membahas energi fosil. Bank Dunia juga secara bertahap menghentikan bantuan terhadap pembangkit listrik yang masih menggunakan batu bara. Cadangan energi fosil akan terus menurun setiap tahun bersamaan dengan konsumsi energi yang semakin meningkat.
Dari data BPPT Energi Outlook 2019, produksi minyak bumi Indonesia hanya akan ada 53,8 juta barel pada tahun 2050. Sementara itu, untuk batu bara, kemungkinan hanya bisa diproduksi hingga 71 tahun. Potensi batu bara Indonesia sekitar 151,40 miliar ton. Namun jika melihat produksi tahunan 558 juta ton, maka paling lama Indonesia hanya akan bisa menikmati batu bara dalam negeri selama 71 tahun.
Kondisi seperti ini seharusnya sudah cukup untuk menyadarkan banyak pihak supaya beralih ke EBT. Ada banyak sumber EBT yang dapat dimanfaatkan demi memenuhi kebutuhan energi dalam negeri. Namun, siapkah Indonesia dengan hal tersebut merupakan sebuah pertanyaan yang mungkin tidak akan bisa terjawab saat ini. Energi fosil menjadi salah satu tulang punggung Indonesia dalam menerima pendapatan, baik dari pajak maupun ekspor. Ketika pemerintah secara berani mengurangi konsumsi energi fosil, maka Indonesia harus siap menerima pendapatan lebih rendah.
Pada dasarnya, EBT di Indonesia sangat berlimpah. Namun, target bauran energi 23% di tahun 2025 hanya mampu tercapai 10%. Padahal, Indonesia memiliki 40% cadangan panas bumi dunia yang tersebar secara merata dari Sabang sampai Merauke. Data dari Institute for Essential Service Reform (IESR) tahun 2019 menyebutkan bahwa potensi tenaga air mencapai 75 gigawatt (6 gigawatt terealisasi), panas bumi 28 gigawatt (2 gigawatt terealisasi), bioenergi 33 gigawatt (2 gigawatt terealisasi), bayu 61 gigawatt (154 megawatt terealisasi), surya 208 gigawatt (159 megawatt terealisasi), dan arus laut sebesar 18 gigawatt namun belum terealisasi.
Dengan persebaran potensi EBT tersebut, seharusnya Indonesia mampu masuk daftar 10 negara penghasil EBT terbesar dunia. Cina menjadi negara dengan produksi EBT terbesar di dunia dengan 1.398.207 GWH. Disusul oleh Amerika Serikat dengan 572.409 GWH. Uniknya, 10 negara dengan penghasil EBT terbesar dunia adalah negara-negara industri maju. Brazil, Kanada, India, Jerman, Rusia, Jepang, Norwegia, dan Italia melengkapi daftar 10 negara yang mampu memanfaatkan potensi alam negaranya.
Hingga saat ini, EBT belum bisa dimaksimalkan karena berbagai faktor. Salah satunya, tidak adanya payung hukum seperti Undang-undang. Data dari Energi Baik menyebutkan bahwa undang-undang untuk EBT masih dalam perancangan. Sebaliknya, negara-negara lain sudah memiliki payung hukum yang resmi untuk penerapan EBT secara massal. Setidaknya ada 9 negara dari 13 negara di Asia Pasifik yang sudah memiliki UU terkait EBT. Kesembilan negara itu adalah Australia (2000), Jepang (2003), Cina (2006), Sri Lanka (2007), Mongolia (2007), Filipina (2008), Korea Selatan (2009), Pakistan (2010), dan Malaysia (2011).
Berkaca pada semua kondisi tersebut, setidaknya berbagai pihak harus memiliki kemauan untuk mendorong penggunaan EBT di Indonesia. Regulasi yang sering berubah, tarif yang tidak kompetitif untuk iklim investasi EBT, dan rumitnya perizinan adalah beberapa contoh penghambat EBT di Indonesia. Namun, tidak berarti EBT harus dipandang sebelah mata. Faktanya, pada beberapa tahun mendatang, EBT sebagai penyelamat bagi konsumsi energi dalam negeri karena energi fosil setiap saat bisa habis dan tidak mampu menopang konsumsi energi dalam negeri lagi.
DISCLAIMER
Semua artikel dan opini yang dipublikasikan pada Blog Energi Muda menjadi tanggung jawab dari masing-masing penulis. Koaksi Indonesia membantu mereduksi bahasa dan penulisan sesuai kaidah KBBI, logika dan kata di dalam tulisan yang masuk ke redaksi. Koaksi Indonesia tidak bertanggung jawab jika terdapat plagiarisme, kesalahan data dan fakta serta kekeliruan dalam penulisan nama, gelar atau jabatan yang terdapat di dalam artikel dan opini.