Wabah Covid-19 telah ditetapkan oleh badan kesehatan dunia atau WHO sebagai pandemi global sejak Maret 2020. Aktivitas di semua negara menurun akibat pandemi ini. Untuk memutus rantai penyebaran virus adalah dengan meminimalisir interaksi antar manusia secara fisik. Beberapa negara melakukan pembatasan/lockdown secara total dan ada pula yang parsial. Akibat lockdown inilah, permintaan di sektor energi juga menurun. Industri-industri menurunkan produksinya, aktivitas di perkantoran berkurang drastis, hingga transportasi baik yang sifatnya pribadi maupun massal bergerak terbatas. Konsumsi energi jelas menurun drastis.
Negara yang memberlakukan aturan full lockdown mengalami penurunan permintaan energi yang lebih tinggi dibanding negara dengan aturan partial lockdown. Data International Energy Agency (IEA) menunjukan penurunan setiap minggunya sebanyak 25% di negara full lockdown, sedangkan 18% di negara partial lockdown.[1] Lebih dari separuh masyarakat dunia yaitu 53% berada di negara yang memberlakukan partial lockdown. Berdampak pada permintaan energi global.
Permintaan energi dunia pada kuartal pertama di tahun 2020 menurun sebesar 3,8% jika dibandingkan dengan kuartal pertama tahun 2019. Dan diprediksi akan mengalami penurunan di tahun 2020 sebesar 6% dari tahun sebelumnya. Hal ini belum pernah terjadi selama 70 tahun belakangan setelah perang dunia kedua. Pembatasan sosial dan rendahnya tingkat mobilitas masyarakat adalah faktor utama penurunan ini terjadi.
Proyeksi permintaan energi dunia di tahun 2020 dibandingkan tahun sebelumnya jika dilihat per sektor:
- Permintaan minyak menurun 9% atau sekitar 9 juta barel/hari
- Permintaan batu bara menurun 8%
- Permintaan gas menurun 5%
- Permintaan nuklir menurun 3%
- Permintaan energi terbarukan meningkat 1%
Pengurangan jumlah permintaan terhadap minyak menjadi salah satu faktor harga minyak menurun. Turunnya permintaan dengan jumlah supply yang tetap menjadikan tidak adanya ketidakjelasan terhadap penjualan. Dibutukan biaya tambahan untuk penyimpanan produksi minyak yang berlebih, sedangkan produsen minyak juga harus mempertahankan keberlangsungan perusahaannya. Tercatat di tahun 2020, lebih dari 100 perusahaan di dunia telah memangkas lebih dari US$85 miliar untuk sektor minyak dan gas.[2]
Dengan memandang berbagai hambatan, untuk menyelamatkan krisis harga minyak dunia didapatkan rekomendasi sebagai berikut[3]:
- Terlibat dalam diskusi energi tentang stabilitas pasar energi, tujuan bersama, dan usaha dalam pemulihan pada International Energy Forum Ministerial Meeting 17 (IEF17). Diskusi ini akan melibatkan produsen dan konsumen antara pembuat keputusan pemerintah dan industri dan kepala organisasi internasional. Diharapkan dapat membantu menstabilkan pasar energi, bekerja sama untuk meredam dampak dari resesi global setelah pandemi COVID-19, dan membangkitan kembali pertumbuhan ekonomi dunia.
- Meningkatkan transparansi data energi dunia dalam platform Joint Organizations Data Initiative (JODI). (link: https://www.jodidata.org/oil/).
- Mengevaluasi dan meningkatkan mekanisme pencegahan krisis dan respons darurat terhadap risiko lingkungan baru dan lebih dinamis.
[1] Global Energy Review 2020 – The impacts of the Covid-19 crisis on global energy demand and CO2 emissions, sumber: https://www.iea.org/reports/global-energy-review-2020
[2] https://www.globaldata.com/over-us85bn-of-2020-forecast-expenditure-erased-from-oil-and-gas-sector/
[3] IEF Insight Brief April 2020 – The Impact of COVID-19 on Energy Market Stability, sumber: https://www.ief.org/resources/energy-insights.aspx