Skip links
Ilustrasi turbin angin di lepas pantai/Freepik

Seri Energi Terbarukan: Pembangkit Listrik Tenaga Bayu

Ilustrasi PLTB (wind farm) untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakat/Freepik
Ilustrasi PLTB (wind farm) untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakat/Freepik

Energi terbarukan bayu dikonversi menjadi energi listrik melalui pembangkit listrik tenaga bayu. Listrik ramah lingkungan ini dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakat sekaligus memperkuat ketahanan energi nasional. 

KOAKSI INDONESIA—Sebagai negara kepulauan dengan garis pantai yang panjang, Indonesia memiliki potensi energi terbarukan bayu (angin) yang melimpah. Keberlimpahan ini berpotensi besar untuk dikembangkan sebagai pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB). Dengan PLTB, kebutuhan listrik masyarakat hingga ke pelosok dapat dipenuhi, transisi energi nasional menuju keberlanjutan dapat diwujudkan, dan target emisi nol bersih (NZE) pada 2060 atau lebih cepat dapat tercapai.

Potensi Energi Terbarukan Bayu

Energi terbarukan bayu atau angin sangat melimpah di Indonesia. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan, Indonesia memiliki potensi energi bayu sebesar 155 gigawatt (GW). Namun, pemanfaatannya baru sekitar 0,15 GW. Dengan kata lain, pemanfaatan energi terbarukan angin baru mencapai 0,097%.

Sementara Our World in Data menunjukkan, produksi listrik yang berasal dari energi terbarukan angin di Indonesia pada 2023 baru mencapai 0,14%. Walaupun kedua data itu tidak menunjukkan angka yang persis sama, intinya, pemanfaatan energi angin di Indonesia belum mencapai satu persen (1%). Masih sangat jauh dari potensi yang ada.

Sebagai energi terbarukan, energi angin berasal dari alam, sehingga tidak akan pernah habis. Energi angin merupakan energi bersih karena tidak mengeluarkan emisi gas rumah kaca ataupun polutan udara lainnya.

Konversi Energi Kinetik Angin Menjadi Energi Listrik Melalui PLTB

Ilustrasi turbin angin di lepas pantai/Freepik
Ilustrasi turbin angin di lepas pantai/Freepik

Menurut WindEurope, turbin angin merupakan alat yang mengubah energi kinetik yang berasal dari angin menjadi energi listrik. Sekelompok turbin angin akan membentuk ladang angin (wind farm). Turbin angin dapat dipasang di darat (onshore) seperti di perbukitan dan lanskap terbuka atau di laut (offshore) seperti di dasar laut, bahkan turbin terapung di perairan dalam. Turbin angin diproduksi dalam berbagai bentuk dan ukuran, namun desain yang paling umum, yaitu turbin dengan baling-baling tiga bilah yang dipasang pada sumbu horizontal.

Masih dari sumber yang sama. Ada dua unsur yang menentukan kuantitas listrik yang dihasilkan, yaitu kecepatan angin dan radius bilah turbin.

  • Rerata kecepatan angin untuk menghasilkan listrik sekitar 4—25 meter per sekon atau per detik (m/s). Angin yang lebih kencang memungkinkan menghasilkan lebih banyak listrik karena turbin yang lebih tinggi lebih mudah menerima angin kencang. Namun, pada saat kecepatan angin melebihi 25m/s, turbin angin akan berhenti bekerja untuk mencegah kerusakan.
  • Semakin besar radius atau “swept area” bilah, semakin banyak listrik yang dapat dihasilkan. Menggandakan radius bilah dapat menghasilkan daya empat kali lebih besar.
Baca Juga:  Green Jobs untuk Semua: Mengoptimalkan Diversitas melalui Partisipasi Komunitas Inklusi

Data ESDM menunjukkan, potensi angin dengan kecepatan lebih dari 6 m/s di Indonesia terutama terdapat di Nusa Tenggara Timur (NTT), Kalimantan Selatan (Kalsel), Jawa Barat (Jabar), Sulawesi Selatan (Sulsel), Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), dan Papua. Data ini sekali lagi membuktikan bahwa Indonesia memiliki potensi besar untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakatnya dengan energi terbarukan angin. Selain itu, angin menjadi sumber energi terbarukan terbanyak kedua setelah energi surya.

Secara rinci, Badan Informasi Energi Amerika Serikat (EIA) menjelaskan, tempat dengan kecepatan angin rata-rata 4m/s untuk turbin angin kecil dan untuk turbin angin skala utilitas di tempat dengan kecepatan angin rata-rata 5,8m/s. Lokasi yang baik untuk turbin angin meliputi puncak bukit yang halus dan membulat; dataran terbuka dan air; serta celah gunung yang menyalurkan dan mengintensifkan angin. Pada umumnya, kecepatan angin akan lebih besar pada tempat yang semakin jauh jaraknya di atas permukaan bumi. Oleh karena itu, turbin angin besar ditempatkan di tower dengan ketinggian 500 kaki hingga 900 kaki.

Pengoptimalan Kerja PLTB

Ilustrasi salah satu komponen dalam turbin angin/Freepik
Ilustrasi salah satu komponen dalam turbin angin/Freepik

Proses konversi energi pada PLTB modern dapat mencapai lebih dari 84%. Persentase ini lebih tinggi daripada efisiensi turbin uap sebesar 30% dan turbin gas sekitar 34%, sebagaimana dikutip dari Serious Science.

Selain kecepatan angin dan radius bilah turbin, beberapa unsur berikut perlu diperhatikan agar kinerja PLTB tetap optimal, sebagaimana dikutip dari sumber yang sama.

  • Tiga bilah baling-baling pada turbin angin menawarkan keseimbangan kinerja dan stabilitas terbaik. Penelitian telah menunjukkan bahwa turbin dengan tip speed ratio sebesar 6–7 beroperasi paling efisien dan rasio ini biasanya dicapai dengan desain tiga bilah. Tip speed ratio adalah rasio kecepatan ujung bilah terhadap kecepatan angin.
  • Desain dan material bilah menentukan efisiensi turbin. Pada masa awal pemanfaatan energi angin, bilah turbin terbuat dari kayu atau logam yang kaku dan membatasi kemampuan turbin untuk mengubah energi angin secara efisien. Seiring dengan berjalannya waktu, digunakan bahan-bahan baru seperti polimer, fiberglass, dan komposit, sehingga bilah turbin lebih fleksibel, tahan lama, dan lebih halus. Penggunaan bahan-bahan ini meningkatkan efisiensi turbin.
  • Sistem penyimpanan energi untuk menjaga pasokan listrik tetap stabil sekalipun kecepatan angin rendah atau mencapai batas maksimal kecepatan angin. Beberapa sistem penyimpanan yang tersedia, yaitu sistem penyimpanan pumped hydro. Pada sistem ini, kelebihan energi listrik digunakan untuk memompa air ke dalam reservoir, sehingga dapat menyalakan listrik ketika dibutuhkan. Teknologi penyimpanan lain adalah penyimpanan energi udara terkompresi (compressed air energy storage). Sistem ini menggunakan kelebihan energi angin untuk memampatkan udara ke dalam gua bawah tanah. Ketika permintaan energi tinggi, udara terkompresi ini dilepaskan untuk menggerakkan turbin. Teknologi penyimpanan lain yang sedang dieksplorasi adalah sistem penyimpanan energi superkapasitor dan superkonduktor.
Baca Juga:  Catatan Perjalanan Mengeksplorasi Kupang

Bagaimana Listrik dari PLTB Sampai ke Konsumen?

Ilustrasi rumah tangga memperoleh aliran listrik yang berasal dari PLTB/Freepik
Ilustrasi rumah tangga memperoleh aliran listrik yang berasal dari PLTB/Freepik

Melansir European Wind Energy Association (EWEA), energi kinetik angin melewati bilah turbin menciptakan gaya angkat (seperti sayap pesawat) yang menyebabkan rotor berputar. Poros rotor yang berputar cepat menggerakkan generator untuk menghasilkan energi listrik. Listrik dari generator dialirkan ke transformator yang mengubahnya menjadi tegangan yang tepat untuk jaringan listrik. Listrik tersebut kemudian disalurkan melalui jaringan listrik hingga ke tempat konsumen.

Perkembangan Pemanfaatan PLTB

Ilustrasi wind farm sebagai kawasan wisata/Freepik
Ilustrasi wind farm sebagai kawasan wisata/Freepik

Pemerintah Indonesia terus berupaya mempercepat pengembangan energi angin. Pada 2030, pemerintah menargetkan kapasitas terpasang PLTB sebanyak 5 GW dan 37 GW pada 2060.

Upaya yang sudah membuahkan hasil terlihat antara lain dari beroperasinya dua PLTB besar, yaitu PLTB Sidrap dan PLTB Tolo di Sulawesi Selatan. PLTB Sidrap berkapasitas 75 MW yang dihasilkan dari 30 turbin yang masing-masing berkapasitas 2,5 MW. PLTB yang beroperasi pada akhir Maret 2018 ini dapat mengaliri lebih dari 70.000 pelanggan listrik dengan daya 900 Volt Ampere (VA).

Sementara PLTB Tolo di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan berkapasitas 72 MW yang dihasilkan dari 20 turbin yang masing-masing berkapasitas 3,6 MW. PLTB ini mampu melistriki setara 300.000 rumah tangga pelanggan 900 VA.

PLTB besar lainnya adalah PLTB Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Melansir Kompas.com, PLTB berkapasitas 70 MW ini direncanakan beroperasi pada 2025 dan sebagai PLTB pertama yang dilengkapi dengan teknologi sistem penyimpanan energi baterai atau battery energy storage system (BESS) sebesar 10 MWh. Selain itu, PLTB ini berperan dalam mengurangi emisi CO2 sebesar 220.000 ton per tahun.

Baca Juga:  Konferensi Green Jobs 2023, Interkoneksi Jalin Kolaborasi

Selain itu, kerja sama Kementerian ESDM dan Energy Transition Partnership – United Nations Office for Project Services (ETP-UNOPS) telah berhasil memetakan delapan lokasi PLTB potensial di Pulau Jawa dan Sumatra. Lokasi tersebut meliputi Aceh Besar (Aceh), Dairi (Sumatra Utara), Gunung Kidul (DI Yogyakarta), Kediri (Jawa Timur), Padang Lawas Utara-Tapanuli Selatan (Sumatra Utara), Ponorogo (Jawa Timur), Probolinggo-Lumajang (Jawa Timur), dan Ciracap-Sukabumi (Jawa Barat).

Selain menghasilkan energi listrik yang bersih, kawasan PLTB dapat dikembangkan sebagai destinasi wisata, seperti di PLTB Sidrap. Kawasan wisata PLTB diharapkan dapat menggerakkan perekonomian masyarakat setempat.

Tantangan Pengembangan PLTB di Indonesia

Ilustrasi energi angin sebagai energi yang hemat biaya/Freepk
Ilustrasi energi angin sebagai energi yang hemat biaya/Freepik

Meskipun memiliki potensi energi angin yang besar, pengembangan PLTB di Indonesia menghadapi sejumlah tantangan. Pertama, investasi awal yang tinggi. Biaya yang tinggi ini seharusnya dikaitkan dengan masa pakai turbin angin yang mencapai 20—30 tahun serta penggunaan bahan daur ulang turbin untuk tempat penitipan sepeda dan penghalang suara di sepanjang jalan raya seperti yang sudah dilakukan di Australia.

Kemudian, tantangan yang berkaitan dengan kecepatan angin yang rendah. Memang ada beberapa daerah di Indonesia yang memiliki potensi angin lebih dari 6m/s, Namun, bagaimana dengan daerah-daerah lain yang kecepatan anginnya rendah?

Menurut Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), sebagai negara tropis, Indonesia memiliki kecepatan angin tahunan yang rendah antara 3 m/s–6 m/s. Sementara kecepatan angin minimum yang dibutuhkan untuk memutar bilah turbin angin adalah 5 m/s. Dengan kecepatan angin tahunan seperti itu, potensi energi angin di Indonesia tergolong rendah. Salah satu solusinya adalah pemasangan turbin angin sumbu vertikal yang dapat bekerja pada kecepatan angin 2 m/s. Turbin angin seperti ini lebih cocok untuk diterapkan di Indonesia.

Mengurangi suara turbin angin juga menjadi salah satu tantangan. Apalagi ada batas bunyi yang bisa diterima manusia agar tidak mengganggu pendengaran. Untuk mengatasi tantangan ini, ada beberapa teknik yang bisa diterapkan. Misalnya, pengurangan kebisingan yang dihasilkan dari turbulensi dalam aliran udara, pengurangan kebisingan akibat interaksi aliran udara di sekitar bagian turbin, dan pengurangan kebisingan di ujung bilah baling-baling, sebagaimana dikutip dari BRIN.

Agar PLTB dapat memenuhi kebutuhan energi listrik nasional sekaligus mendorong ketercapaian emisi nol bersih (NZE) pada 2060 atau lebih cepat, pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Diperlukan sinergi dengan swasta dan masyarakat, bahkan dukungan internasional.

 

 

Penulis

Beranda
Kabar
Kegiatan
Dukung Kami
Cari