Pro dan kontra terkait Rancangan Undang-Undang ini terus bergulir. Untuk mengetahui perkembangan Rancangan Undang-Undang Energi Terbarukan (RUU ET), kita dapat menyaksikan acara yang diselenggarakan oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Energi Bersih ini. Koalisi yang pembentukannya didorong oleh Koaksi Indonesia.
KOAKSI INDONESIA — Pemanfaatan energi alternatif di negara maju lambat laun sudah diadaptasi oleh negara-negara berkembang, salah satunya Indonesia. Keseriusan dalam implementasi di berbagai daerah Indonesia terkoneksi oleh kerja sama berbagai pihak.
Pembahasan antara Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), dan Pemerintah terkait Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) telah dilakukan sejak 29 November 2022.
DPD RI menyampaikan bahwa Undang-Undang Energi Terbarukan (UU ET) diharapkan dapat memberikan dasar hukum yang kuat untuk mendukung pengembangan energi terbarukan sebagai bagian dari proses transisi energi menuju energi yang berkelanjutan di Indonesia.
DPR RI kemudian menggunakan hak inisiatif untuk mengajukan RUU pada tahun 2019 dengan menambahkan bagian Energi Baru, sehingga judul RUU menjadi RUU Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT).
Perubahan paling signifikan dalam RUU EBT adalah masuknya frasa nuklir dengan jumlah pasal yang cukup banyak jika dibandingkan dengan substansi energi terbarukan yang seharusnya menjadi fokus utama dari tercetusnya UU ini.
Baca juga: RUU ET sebagai Solusi Jangka Panjang Cegah Polusi Udara
Pro dan kontra terhadap usulan RUU EBT ini terus bergulir, terutama bagi pihak pendukung energi terbarukan dengan pihak yang kompromis, dan kelompok yang cenderung dominan mendukung pengembangan nuklir di Indonesia.
Rancangan UU EBET diperlukan sebagai regulasi komprehensif untuk menciptakan iklim pengembangan EBT yang berkelanjutan dan berkeadilan serta mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC) dan Net Zero Emissions (NZE) guna mendukung pembangunan industri ramah lingkungan (green industry) dan pertumbuhan ekonomi nasional.
Pemanfaatan yang dapat melibatkan masyarakat di antaranya adalah pengembangan berbagai energi terbarukan seperti panas bumi, air, surya, laut, dan bioenergi.
Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) awalnya dirancang khusus untuk mendorong pengembangan energi terbarukan. Namun, justru memuat banyak pasal yang bertolak belakang dengan tujuan tersebut. Salah satunya adalah terminologi “energi baru” yang bersumber dari energi fosil dan nuklir.
Padahal, Agustus lalu, Indonesia dikagetkan dengan tingginya polusi udara di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Pembangkit berbasis batu bara disinyalir menjadi salah satu penyebabnya. Sayangnya, tujuan mulia pemerintah untuk menyediakan paket perundang-undangan yang komprehensif untuk mengatur EBT masih menjadi perdebatan yang intens dan panjang.
Salah satu alasannya adalah perbedaan pendapat mengenai energi yang layak diklasifikasikan dalam EBT. Menurut Azis Kurniawan, Manajer Kebijakan dan Advokasi Koaksi Indonesia, penerapan UU EBT cukup problematik karena substansi di dalamnya bertolak belakang dari energi baru yang sebetulnya tidak menggunakan teknologi yang baru dan masih menggunakan feedstock fosil.
“Turunan batu bara untuk energi baru juga tercampur dalam alinea dalam Undang-Undang tersebut. Hal ini tentunya jika digabung dengan energi baru terbarukan akan kontra produktif. Oleh karena itu, kami dari Koaksi Indonesia menyarankan untuk hanya berfokus pada energi-energi yang menggunakan teknologi baru terbarukan dalam penerapan pada Undang-undang. Poin terakhir adalah substansi di luar energi terbarukan sebaiknya tidak masuk dalam UU ini,” ujar Azis.
Berkaca dari penjelasan di atas, perlunya solusi struktural yang dapat mengorganisasi kebijakan UU EBT agar tepat guna. Hal tersebut membutuhkan dorongan dari akademisi CSO, pendapat ahli yang dapat diselaraskan dengan rancangan program pemerintah agar memelihara fokus pada optimalisasi outcome yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
Untuk mengetahui perkembangan RUU ET ini, kita dapat mengikuti acara yang diselenggarakan oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Energi Bersih. Koalisi yang terbentuk atas dorongan Koaksi Indonesia ini akan menghadirkan para narasumber dari lembaga swadaya masyarakat, akademisi, dan perwakilan pemerintah.
Selain mendorong pembentukan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Energi Bersih, sebagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang berfokus dalam membangun ekosistem transisi energi yang inklusif, berkeadilan, dan berkelanjutan, sejak awal Koaksi Indonesia memang telah mengawal proses RUU EBET menjadi RUU ET. Koaksi Indonesia menjadi salah satu dari hanya 5 LSM yang masuk di lingkaran ESDM dan FGD rekomendasi Kementerian/Lembaga dalam RUU EBET.
Baca juga: Perkembangan Kebijakan Energi dan Kedudukan Energi Terbarukan di Indonesia Saat Ini