Skip links

16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan: Melindungi Perempuan, Melindungi Masa Depan Bumi

Ilustrasi dampak perubahan iklim memengaruhi perempuan/Freepik

Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan menjadi momentum pengingat bahwa kekerasan terhadap perempuan dengan penyebab apa pun–termasuk perubahan iklim–merupakan pelanggaran HAM.  

KOAKSI INDONESIA—Mengusung tema “Lindungi Semua, Penuhi Hak Korban, Akhiri Kekerasan Terhadap Perempuan”, peringatan tahunan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan masih menjadi aksi yang relevan digaungkan saat ini. 

Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKtP) merupakan gerakan internasional yang bertujuan menghapus kekerasan terhadap perempuan. HAKtP pertama kali dicetuskan oleh Women’s Global Leadership Institute pada 1991 dan berlangsung setiap 25 November—Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan—hingga 10 Desember, Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional. Rentang waktu ini dipilih untuk menegaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan pelanggaran HAM.  

Di Indonesia, Komnas Perempuan menginisiasi kampanye ini pada 2001, berperan sebagai pendorong solidaritas, kolaborasi, dan pengorganisasian strategi yang berguna untuk meningkatkan pemahaman tentang kekerasan berbasis gender serta memperkuat perlindungan korban.  

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) turut menegaskan bahwa HAKtP merupakan sarana untuk mengintensifkan sosialisasi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Melalui sosialisasi UU TPKS dan kerja sama dengan berbagai pihak, kampanye ini mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bersinergi dalam menciptakan dunia yang lebih aman bagi perempuan. 

Agen Perubahan yang Tidak Diberikan Kesempatan

Ilustrasi perempuan di garis depan dampak bencana perubahan iklim/Freepik

Kerentanan perempuan terhadap kekerasan diperburuk dengan dampak negatif perubahan iklim.  Perempuan sering kali berada di garis depan bencana, tidak hanya sebagai pengelola rumah tangga yang terdampak langsung, tetapi juga sebagai kelompok yang rentan menghadapi eksploitasi dan kekerasan. Perempuan sering kali berada di garis depan dampak bencana perubahan iklim, dari kekurangan pangan hingga perpindahan paksa. 

Menurut laporan dari The Conversation, perempuan sering kali menjadi korban kekerasan domestik atau eksploitasi seksual selama krisis bencana. Bencana seperti banjir, tanah longsor, hingga gempa bumi sering kali memperbesar ketimpangan gender. Saat bencana terjadi, risiko kekerasan berbasis gender (KBG) meningkat, termasuk eksploitasi seksual dan perdagangan manusia. Bahkan, dalam masa pengungsian, minimnya fasilitas sanitasi yang aman dan akses ke bantuan memperburuk situasi mereka, menunjukkan perlunya kebijakan berbasis gender yang lebih responsif dan inklusif. Dalam tahap mitigasi, perempuan kerap terhalang mengikuti pelatihan karena beban domestik. 

Kerentanan ini mencakup diskriminasi dalam distribusi bantuan, kekerasan seksual akibat fasilitas yang tidak sensitif gender, dan hilangnya hak atas lahan pascabencana. Misalnya, setelah tsunami Aceh, perempuan sering tidak diakui dalam proses pengambilan keputusan di pengungsian. Perkawinan anak juga meningkat sebagai dampak ketidakstabilan ekonomi akibat bencana. Situasi ini menuntut kebijakan dan pengelolaan bencana yang tidak hanya inklusif tetapi juga memberikan ruang bagi perempuan untuk berperan aktif dalam menghadapi dampak bencana.

Baca Juga:  Memperkaya Wawasan Lingkungan melalui Kunjungan ke Museum

Di sisi lain, KONEKSI–inisiatif kolaborasi antara Pemerintah Indonesia dan Australia—menggarisbawahi bahwa perempuan memiliki potensi besar sebagai agen perubahan dalam menghadapi dampak perubahan iklim, tetapi sering kali diabaikan dalam kebijakan nasional.  

“Perempuan itu yang paling terdampak juga yang paling berperan utama dalam menyelamatkan lingkungan. Kita sudah banyak komitmen-komitmen iklim namun bertentangan dengan pandangan lama perekonomian Indonesia, sektor lingkungan dan ekonomi masih dianggap berbeda, padahal mereka saling memengaruhi, ujar Khalisah Khalid, Public Engagement and Actions Manager, Greenpeace Indonesia dalam acara Connect! #4.

Suasana diskusi Connect! #4/Eties Kurniawati

Dalam acara yang diselenggarakan oleh KONEKSI dan The Conversation Indonesia ini, berbagai perspektif mengungkap pentingnya kebijakan berbasis gender untuk menghadapi perubahan iklim. 

“Akibat krisis iklim, perempuan dan anak-anak mengalami dampak pada mata pencarian mereka. Naiknya permukaan air laut memaksa perempuan beralih dari melaut ke industri rumahan. Meskipun industri rumahan memberikan fleksibilitas, kurangnya peraturan menyebabkan mereka bekerja dalam kondisi tidak aman,” ungkap Dr. Amy Young, Research Fellow Disrupting Violence Beacon, Griffith University, Australia, dalam acara Connect! #4

Meski perempuan berada di garis depan mitigasi iklim, mereka kerap menghadapi hambatan berupa akses terbatas pada sumber daya dan partisipasi dalam pengambilan keputusan. Indonesia sudah cukup ambisius dengan membuat inisiatif seperti Rencana Aksi Nasional Gender and Perubahan Iklim serta kolaborasi lintas sektor untuk mewujudkan solusi yang lebih inklusif dan berkeadilan. 

Perempuan dalam Aksi Iklim

Ilustrasi perempuan melindungi bumi/Freepik

Krisis iklim tidak menghentikan semangat perempuan untuk terus bergerak, berupaya memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Bahkan, gerakan itu jauh melampaui kehidupan mereka sebagai pribadi maupun keluarganya. Kaum hawa menyadari bahwa mereka harus bergerak bersama untuk bertahan dan dapat menikmati kehidupan yang baik sekalipun di tengah-tengah krisis iklim. Gerakan mereka inilah yang perlu didukung dengan memadukan pelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.

Contoh inisiatif seperti UMKM Kebaya (Kelompok Bahagia dan Berkarya) menunjukkan upaya perempuan memanfaatkan mangrove untuk meningkatkan ketahanan ekonomi keluarga. Berlokasi di Muaragembong, Bekasi yang setiap tahunnya mengalami banjir rob, menyebabkan para suami tidak bisa melaut untuk bekerja, sehingga para ibu mulai melakukan inovasi dengan mengolah mangrove. 

Baca Juga:  Desentralisasi Kelistrikan dengan Energi Terbarukan Menuju Desa Mandiri Energi

“Awalnya untuk konsumsi pribadi, namun sekarang bisa dijual. Kami berhasil mengubah tanaman bakau menjadi berbagai produk bernilai ekonomi, meningkatkan kemandirian, dan memperkuat ketahanan ekonomi keluarga,” ujar Rina, pendamping UMKM Kebaya dalam Connect! #4. 

Selain itu, inisiatif ibu-ibu rumah tangga dalam menjalankan bank sampah tidak kalah hebatnya. Sekarang, sudah begitu banyak bank sampah yang aktif. Salah satunya, Bank Sampah Gunung Emas di Jakarta Timur. Para ibu rumah tangga yang tergabung dalam bank sampah ini mampu mendapatkan nilai tambah dari sampah plastik yang terkumpul yang kemudian dikonversikan ke rupiah untuk menjadi nilai tabungan.

Program Voices for Just Climate Action (VCA) yang dilaksanakan Koaksi Indonesia turut menyoroti peran mama-mama di daerah pesisir Nusa Tenggara Timur (NTT). Didokumentasikan dalam film “Climate Witness”, terlihat betapa hebatnya perempuan dalam menjaga keluarga dan lingkungannya.

Yasinta Adoe, nelayan perempuan yang aktif mengadvokasi kebijakan yang berhubungan dengan kesejahteraan nelayan di Pasir Panjang, Kota Kupang, NTT. Maria Mone Soge berperan menjaga pangan lokal di Desa Hewa, Flores, NTT. Selia Narwasti Nangi, pemuda Desa Mbatakapidu, Sumba, NTT, yang tergerak hatinya untuk mendedikasikan diri pada bidang pendidikan di desanya.

Cerita Yasinta dan Maria juga ditayangkan dalam serial Buka Mata Narasi TV di pengujung November 2024. Serial ini merupakan hasil media visit Narasi TV atas undangan Koalisi Sipil VCA (salah satu koalisi di VCA yang terdiri dari Koaksi Indonesia dan Yayasan Pikul). Dalam liputan khusus tersebut terlihat jelas bagaimana dampak negatif perubahan iklim sangat nyata dirasakan masyarakat serta bagaimana ketangguhan para perempuan berjuang melakukan adaptasi perubahan iklim. 

Dunia seni juga turut serta dalam aksi iklim. Salah satunya dilakukan oleh Indonesian Knowledge, Climate, Arts, and Music Labs (IKLIM). Kegiatan kolaborasi musisi dan seniman yang peduli terhadap isu iklim ini tergabung dalam gerakan Music Declares Emergency Indonesia. Indonesia menjadi negara pertama di Asia yang terafiliasi dengan gerakan global Music Declares Emergency. Bulan November 2024, IKLIM telah berhasil membuat festival musik dan Koaksi Indonesia berpartisipasi dengan membuka gerai bertemakan green jobs di sana.

Beberapa musisi yang tergabung dalam IKLIM, membuat sebuah album berjudul Sonic Panic dan pada 2024 ini sudah mengeluarkan album kedua. Album ini berisi lagu-lagu tentang lingkungan yang lantang disuarakan oleh para musisi, tak terkecuali musisi perempuan. Lagu-lagu Endah n Rhesa, Kai Mata, Asteriska (Barasuara), Nova Filastine, dan Voice of Baceprot (VOB) juga lantang menyuarakan aksi peduli mereka terhadap lingkungan. 

Baca Juga:  Masa Depan Cerah Indonesia ada di Green Jobs!

Endah, vokalis utama wanita dari Band Endah n Rhesa, saat menghadiri undangan Koaksi Indonesia dalam podcastnya yang akan tayang di Youtube Koaksi Indonesia, menyampaikan bahwa saat ini manajemen band sudah menerapkan riders-nya tidak menggunakan botol-botol plastik, melainkan menggunakan galon dan tumblr. Upaya sederhana ini diharapkan mampu memberikan dampak besar terhadap lingkungan. 

Kemudian, vokalis VOB, Firda Marsya Kurnia, mendapat penghargaan sebagai 100 Wanita Inspiratif dan Berpengaruh di Seluruh Dunia 2024 versi BBC, sebuah daftar yang menghargai 100 wanita paling inspiratif di dunia. 

Asteriska, salah satu vokalis perempuan dari band Barasuara, turut menjadi narasumber inspiratif dalam gelar wicara “Perempuan dalam Artivism” pada Sabtu, 14 Desember 2024. Gelar wicara ini merupakan bagian dari rangkaian acara Indonesia Climate Week yang diinisiasi oleh VCA Indonesia pada 10–14 Desember 2024 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. 

Harapan Perwujudan Kampanye HAKtP

Perempuan di daerah konflik, pekerja rumahan, dan mereka dengan disabilitas menghadapi kerentanan berlapis, yang membutuhkan perhatian khusus. Adanya kampanye ini untuk menekankan pentingnya pemenuhan hak korban, termasuk perempuan sebagai salah satu kelompok rentan, melalui akses ke layanan hukum, kesehatan, dan pemulihan.

Dengan harapan agar tidak ada lagi hari untuk merayakan peringatan ini, bermunculanlah gerakan-gerakan masif untuk mencegah kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan yang telah dilakukan berbagai pihak. 

“Saya berharap suatu saat hari ini tidak akan kita peringati lagi. Untuk melakukan itu, perjalanannya panjang, jauh, dan melelahkan. Peran ini tidak hanya bertumpu pada KemenPPPA atau UN Women atau UPTD PPA atau pemerintah daerah saja, tetapi kita semua. Kuncinya kalau semua sudah dilakukan, respons dan lain-lain kita harus melihat apakah kita sudah menjadi bagian penting untuk mencegah kekerasan perempuan terjadi,” ujar Dwi Faiz, Head of Programme UN Women Indonesia dalam siaran pers  peringatan 16HAKtP KemenPPPA.

Penulis

Beranda
Kabar
Kegiatan
Dukung Kami
Cari