JAKARTA, KOMPAS – Visi Misi pasangan calon presiden dan wakil presiden, Joko Widodo – Ma’ruf Amin dinilai kurang tajam. Isinya kurang berisi target capaian seperti pada Nawa Cita terdahulu. Pihak Tim Kemenangan Nasional pasangan Jokowi-Ma’ruf berpandangan Visi Misi dalam Nawa Cita Jilid II ini melanjutkan Nawa Cita sebelumnya yang masih harus ditagih.
Di sektor energi misalnya, jargon capaian seperti target 35.000 MW dan elektifikasi 100 persen tak lagi tampak. Dalam visis misi yang tampak hanya target capaian bauran energi terbarukan 23 persen pada 2025 yang bukan target baru karena dicanangkan dalam Kebijakan Energi Nasional yang ditetapkan sejak 2014.
“Memang kami melihat Nawacita 9 plus 1 (Jilid II) melanjutkan apa yang sudah ada. Tapi angka-angka penting penting untuk bisa mengukur performa,” kata Rebekka Angelyn, Direktur Eksekutif Coaction Indonesia, Selasa (23/10/2018), seusai diskusi Membedah Visi-Misi Kandidat Presiden bersama Tim Pemenangan Indonesia Kerja Joko Widodo-Ma’ruf Amin yang diselenggarkaan Yayasan Madani Berkelanjutan.
Dalam diskusi itu, Yayasan Madani Berkelanjutan membedah VIsi Misi 2019-2025 Jokowi-Ma’ruf dengan melihat dari kacamata Pasal 28 H dan Pasal 33 UUD 1945. Pasal 28 H terkait hak akan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta Pasal 33 terkait pengelolaan sumberdaya alam. Diskusi serupa dengan menghadirkan tim pemenangan pasangan calon nomor urut 2, Prabowo Subianto – Sandiaga Uno, dijadwalkan berlangsung Kamis, 25 Oktober 2018.
Bisa dipertajam
Rebekka mengatakan, Visi Misi Jokowi-Ma’ruf bisa dipertajam dalam pelaksanaannya dengan memasukkan perbaikan tata kelola sektor energi. Ia mengatakan perbaikan tata kelola energi ini sejalan dengan upaya reformasi birokrasi pemerintah – termasuk pada Badan Usaha Milik Negara di sektor energi yaitu Pertamina dan PLN.
Rebekka mengatakan perbaikan tata kelola itu di antaranya bisa dengan mendorong PLN mengambil bagian nyata dari target 23 persen dari sumber energi terbarukan. Demikian dengan Pertamina dengan mengembangkan biodiesel atau bahan bakar nabati.
Dorongan bauran biodiesel 20 persen – dari minyak kelapa sawit – saat ini lebih didorong sikap Uni Eropa yang “melarang” impor sawit asal Indonesia pada 2021. Bukan karena didorong pada kebutuhan mengurangi persentase minyak fosil yang membebani devisa dan mengotori udara.
Namun terkait pengembangan minyak nabati dari kelapa sawit ini, Nyoman Suryadiputra, Direktur Eksekutif Wetlands Institute Indonesia cenderung tak sepakat. Menurutnya, langkah menggantungkan kemandirian energi dari kelapa sawit sangat membahayakan.
Ia mengatakan, perkebunan kelapa sawit seluas 10-15 juta ha saat ini sebagian berada di lahan bergambut. Ia menunjukkan pemanfaatan lahan gambut untuk kelapa sawit akan mengempeskan material gambut sehingga menjadi tergenang. Ia menunjukkan beberapa foto yang membuktikan kemunculan genangan-genangan akibat kerusakan gambut.
Agus Sari, calon legislatif dari Partai Solidaritas Indonesia yang juga anggota Tim Pemenangan Indonesia Kerja Jokowi-Ma’ruf mengatakan, perbaikan tata kelola sawit telah direalisasikan dengan Inpres Moratorium Sawit yang terbit bulan lalu. Inpres yang berlaku selama tiga tahun ini bisa meningkatkan produktivitas perkebunan sawit sehingga menurunkan kebutuhan perluasan lahan serta meningkatakan pendapatan petani kecil serta korporasi.
Bagi perbaikan dan perlindungan lahan gambut, kata dia, tetap lanjutkan setelah 2019. Karena itu, meskipun masa kerja Badan Restorasi Gambut berakhir 2019, upaya pemulihan gambut akan tetap dilakukan.
Penulis: Ichwan Susanto
Sumber: Kompas.id