Potensi besar dari hasil hutan bukan kayu (HHBK) dapat dimanfaatkan masyarakat sebagai upaya adaptasi dampak perubahan iklim. Selain untuk meningkatkan perekonomian mereka, potensi ini bermanfaat untuk menjaga keberlanjutan hutan.
KOAKSI INDONESIA — Dampak dari perubahan iklim memicu berbagai bencana bagi kehidupan seperti kekeringan, banjir, penurunan tanaman pangan, rusaknya infrastruktur hingga berkurangnya air bersih. Oleh karena itu, diperlukan upaya adaptasi untuk menjadikan masyarakat memiliki ketahanan dalam menghadapi dampak negatif perubahan itu.
Baca juga: Rekayasawan Kehutanan dan Indonesia Net Sink FoLU 2030, Apa Hubungannya?
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengungkapkan tindakan adaptasi secara tidak langsung harus secara sadar dilakukan oleh perorangan maupun kelompok untuk mengantisipasi dampak negatif perubahan iklim. Upaya adaptasi juga memerlukan biaya yang bervariasi, tujuan utama pembiayaannya harus berkontribusi dalam program pengentasan kemiskinan, mengurangi kerentanan dan meningkatkan kapasitas adaptasi masyarakat, serta memperbaiki lingkungan hidup.
Paradigma pengelolaan hutan yang berkelanjutan sebagai adaptasi perubahan iklim menyebabkan upaya pemanfaatan hasil hutan bergeser fokus utamanya, yang semula hanya berfokus pada hasil kayu, saat ini mulai memperhitungkan dan mengandalkan hasil sampingannya, yakni hasil hutan bukan kayu (HHBK) dan jasa lingkungan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) no. 8 tahun 2021, HHBK diartikan sebagai hasil hutan hayati selain kayu baik nabati maupun hewani serta produk turunannya dari hutan negara. Keberadaan produk HHBK penting untuk dikembangkan mengingat produktivitas dari hasil kayu yang semakin menurun. Selain itu, pendapatan dari hasil pemanenan HHBK lebih potensial dan bernilai ekonomis lebih tinggi daripada pendapatan pemanenan kayu.
Hal ini sejalan dengan pendapat Menteri KLHK, Siti Nurbaya, dalam siaran pers yang dikutip dari Kementerian LHK, bahwa potensi HHBK berperan signifikan terhadap peningkatan pendapatan rumah tangga masyarakat, peningkatan ekonomi lokal, dan kelestarian hutan. Pemerintah juga memberikan dukungan penuh dalam pemberian akses legal terkait pengelolaan hutan untuk masyarakat serta adanya peningkatan keterampilan dan produktivitas masyarakat dalam memanfaatkan hutan terutama HHBK.
Budi daya produk jenis HHBK dapat menjadi alternatif penambahan komoditas di samping jenis tanaman keras. Produk dari hasil HHBK tidak hanya untuk perbaikan kualitas lahan, namun juga memberikan manfaat ekonomi. Pemerintah menetapkan 9 kelompok HHBK yang terdiri dari 557 spesies tumbuhan dan hewan dalam Peraturan Menteri Kehutanan no P.35/Menhut-II/2007, di antaranya yang paling potensial untuk dikembangkan yaitu kayu putih, kopi, getah, bambu, serai wangi, gula aren, rotan, kulit kayu, kemiri, kenari, madu, dan sagu.
Baca juga: Berkebun Vertikultur Membuka Peluang Ekonomi Sekaligus sebagai Aksi dalam Mitigasi Perubahan Iklim
Kegiatan budi daya madu hutan menjadi salah satu mata pencarian yang menjanjikan untuk masyarakat di sekitar kawasan hutan dengan tujuan khusus (KHDTK) Wanagama, Gunung Kidul, Yogyakarta. Hutan pendidikan yang dikelola oleh Universitas Gadjah Mada (UGM) ini memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk memanfaatkan hutan sebagai media budi daya lebah madu.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh penulis, pada mulanya, kegiatan budi daya lebah hanya dilakukan oleh sedikit petani. Sejak tahun 2019, kegiatan budi daya lebah madu semakin berkembang dan menarik perhatian masyarakat sehingga terbentuk beberapa kelompok tani lebah madu. Terhitung dari tahun 2019 telah terbentuk dua kelompok tani dengan jumlah sekitar 40 orang. Dengan jumlah tersebut, terdapat setidaknya 1.526 kotak stup lebah yang tersebar dalam delapan petak KHDTK Wanagama seluas 622 hektare (ha).
Pembudidayaan lebah madu juga memberikan perbedaan signifikan terhadap jumlah penebangan kayu ilegal yang terjadi di KHDTK Wanagama. Para petani secara tidak langsung turut menjaga keberadaan sumber pakan bagi lebah madu mereka dan bahkan tidak ragu untuk membantu mengontrol para pencuri kayu. Salah satu manfaat yang paling dirasakan adalah masyarakat di wilayah ini mengalami peningkatan pendapatan ekonomi sejak mulai merintis budi daya madu.
Keuntungan lain berbudi daya madu hutan adalah tidak memerlukan teknologi tinggi dan tidak berisiko tinggi karena lebah yang diternakkan tidak ganas. Seperti petani lebah di KHDTK Wanagama yang hanya bermodalkan alat sederhana dan murah serta mempelajari cara memanen dalam waktu singkat.
Menurut salah seorang petani lebah, Hari Susanto, budi daya madu yang dilakukannya tidak tanggung-tanggung dapat memberikan keuntungan hingga ratusan juta rupiah per tahun. Harga jual untuk satu botol ukuran 460 ml sebesar Rp300.000, jika dapat terjual 1.000 botol, pendapatannya mencapai Rp300.000.000.
Mengadopsi kegiatan budi daya lebah madu di KHDTK Wanagama dapat menjadi gambaran bahwa skema budi daya produk HHBK dapat meningkatkan kualitas lingkungan, sosial, dan ekonomi.
Upaya pengelolaan hutan seharusnya memperhatikan kepentingan kelompok masyarakat di sekitar hutan. Upaya untuk menunjang keberhasilan pembangunan hutan dilakukan dengan menumbuhkan kelembagaan dalam masyarakat seperti kelompok tani serta mengidentifikasi potensi dan kemampuan lahan sesuai dengan kondisi lokal setiap daerah.
Budi daya madu hutan di KHDTK Wanagama telah membuktikan bahwa pengelolaan HHBK dapat meningkatkan pendapatan sekaligus mewujudkan kelestarian hutan. Dengan berbagai manfaat pengelolaan HHBK, semoga meningkatkan kesadaran akan keberadaan hutan sebagai penyimpan karbon terbesar (carbon sink) serta menjadi variasi tindakan pengelolaan hutan berkelanjutan sebagai upaya adaptasi iklim bagi masyarakat.
Baca juga: Melestarikan Hutan, Mengembangkan Energi Terbarukan