
Seri Energi Terbarukan: Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi

Energi panas bumi dapat dikonversi menjadi energi listrik melalui pembangkit listrik tenaga panas bumi. Pemanfaatan energi ini menjadi satu cara untuk memenuhi kebutuhan energi dan menyukseskan transisi energi nasional.
KOAKSI INDONESIA—Sebagian besar wilayah Indonesia berada di wilayah Cincin Api Pasifik (Pacific Ring of Fire). Oleh karena itu, Indonesia dijuluki sebagai Negara Cincin Api. Letak ini menyebabkan Indonesia menghasilkan energi panas bumi yang besar. Sebagai energi terbarukan, energi panas yang berasal dari dalam bumi ini tidak akan pernah habis, selalu dapat diperbarui, dan ramah lingkungan.
Berikut beberapa manfaat menjadikan panas bumi (geotermal) sebagai sumber energi listrik sebagaimana dikutip dari Departemen Energi Amerika Serikat.
- Energi panas bumi merupakan energi bersih karena dapat diekstraksi tanpa membakar bahan bakar fosil seperti batu bara, gas, atau minyak. Penggunaan panas bumi untuk listrik hanya menghasilkan sekitar seperenam karbon dioksida dari pembangkit listrik tenaga gas alam, dan sedikit—jika ada—nitrous oksida atau sulfur dioksida. Pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) siklus biner (salah satu jenis PLTP), yang beroperasi dalam siklus tertutup, pada dasarnya melepaskan nol emisi.
- Energi panas bumi tersedia 24 jam sehari, 365 hari setahun, dalam cuaca apa pun. PLTP memiliki faktor kapasitas tinggi, biasanya 90% atau lebih tinggi—yang berarti bahwa pembangkit listrik tersebut dapat beroperasi pada kapasitas maksimum hampir sepanjang waktu. Oleh karena itu, PLTP dapat menyeimbangkan kerja pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) atau pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang bergantung pada cuaca.
Dengan demikian, pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan energi listrik masyarakat Indonesia secara berkelanjutan.

Potensi Energi Panas Bumi Nasional
Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan potensi energi panas bumi Indonesia mencapai 24 gigawatt (GW). Potensi yang besar ini tersebar di kawasan ring of fire yang meliputi Sumatra, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Maluku. Dari potensi itu, yang baru dimanfaatkan sebesar 2,34 GW atau sekitar 9,8%.
Dengan potensi sebesar itu, Indonesia menjadi salah satu penghasil energi panas bumi terbesar di dunia. Sebesar 40% sumber daya panas bumi dunia berada di Indonesia (Energy Tracker Asia). Namun, persentase yang besar ini belum diikuti dengan pemanfaatannya sebagai energi listrik secara optimal di negeri ini. Padahal, peluang pengembangan geotermal sangat besar.
Mengubah Panas Bumi Menjadi Listrik
Secara harfiah, energi panas bumi atau geotermal merupakan energi panas dari bumi. Makna ini sesuai dengan kata geo yang berarti bumi dan termal yang berarti panas. Energi geotermal akan terlihat di permukaan bumi dalam bentuk gunung berapi dan geiser atau mata air panas.

Melansir Badan Informasi Energi Amerika Serikat (EIA), untuk mengonversi energi panas bumi menjadi energi listrik, PLTP membutuhkan sumber daya hidrotermal bersuhu tinggi, yaitu 300°F (148,888°C)—700°F (371,111°C). Sumber daya hidrotermal ini berasal dari sumur uap kering atau sumur air panas di bawah permukaan bumi.
Untuk menggunakan sumber daya hidrotermal ini, dilakukan pengeboran sumur ke dalam bumi agar uap atau air panas dapat tersalur ke permukaan. Kemudian, air panas atau uap tersebut menggerakkan turbin yang menghasilkan listrik. Beberapa sumur panas bumi memiliki kedalaman hingga 2 mil atau sekitar 3,2 km.
Masih dari sumber yang sama. Secara umum, ada tiga jenis pembangkit listrik tenaga panas bumi.
- Pembangkit uap kering (dry steam plants). Pembangkit ini menggunakan uap langsung dari reservoir panas bumi untuk memutar turbin generator.
- Pembangkit uap kilat (flash steam plants). Pembangkit ini mengambil air panas bertekanan tinggi dari dalam bumi dan mengubahnya menjadi uap. Uap ini kemudian menggerakkan turbin generator. Saat uap mendingin, uap tersebut mengembun menjadi air dan disuntikkan kembali ke dalam tanah untuk digunakan lagi. Sebagian besar pembangkit listrik tenaga panas bumi merupakan pembangkit uap kilat.
- Pembangkit listrik siklus biner (binary-cycle power plants). Pembangkit ini memindahkan panas dari air panas bumi ke cairan lain. Panas tersebut menyebabkan cairan kedua berubah menjadi uap. Kemudian, uap tersebut digunakan untuk menggerakkan turbin generator.

Perkembangan Pemanfaatan Geotermal
Panas bumi dipercaya sebagai salah satu bentuk energi tertua, yaitu sekitar 4,5 miliar tahun. Selama ribuan tahun, bangsa Romawi kuno, Tiongkok, dan penduduk asli Benua Amerika telah menggunakan energi panas bumi (geotermal) dalam mata air panas untuk mandi dan memasak sebagaimana dikutip dari Laboratorium Energi Terbarukan Amerika Serikat (NREL).
Penggunaan energi geotermal secara langsung sampai saat ini masih kita temui. Bahkan, pemanfaatan ini telah jauh berkembang menjadi industri pariwisata, kesehatan, dan kecantikan. Misalnya, berendam di sumber air panas alami untuk mendapatkan efek relaksasi, meredakan nyeri sendi, dan memperbaiki kondisi kulit.

Demikian pula pemanfaatan energi geotermal sebagai energi listrik makin berkembang. Melansir Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia 2023, Indonesia memiliki 18 PLTP dengan kapasitas mencapai 2.597,51 megawatt (MW). Ke-18 PLTP itu sebagai berikut.
- PLTP Kamojang (Jawa Barat)
- PLTP Darajat (Jawa Barat)
- PLTP Salak (Jawa Barat)
- PLTP Dieng (Jawa Tengah)
- PLTP Sibayak (Sumatra Utara)
- PLTP Wayang Windu (Jawa Barat)
- PLTP Patuha (Jawa Barat)
- PLTP Lahendong (Sulawesi Utara)
- PLTP Ulubelu (Lampung)
- PLTP Ulumbu (Nusa Tenggara Timur)
- PLTP Mataloko (Nusa Tenggara Timur)
- PLTP Sarulla (Sumatra Utara)
- PLTP Karaha (Jawa Barat)
- PLTP Lumut Balai (Sumatra Selatan)
- PLTP Sorik Marapi (Sumatra Utara)
- PLTP Muaralaboh (Sumatra Barat)
- PLTP Rantau Dedap (Sumatra Selatan)
- PLTP Sokoria (Nusa Tenggara Timur)
Hingga tahun 2024, data ESDM menunjukkan, kontribusi listrik yang dihasilkan dari panas bumi telah mencapai 5% dari total bauran energi nasional, atau sekitar 40% dari bauran energi baru terbarukan (EBT). Tambahan kapasitas ini mampu melistriki 1,3 juta rumah serta mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 17,4 juta ton CO2 per tahun. Selain itu, pemerintah telah mengidentifikasi 362 titik panas bumi dengan potensi 23,6 GW.
Tantangan Pengembangan PLTP

Berdasarkan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) 2015—2050, target kapasitas PLTP pada 2025 sebesar 7.241,5 MW dan 9.300,0 MW pada 2030. Potensi energi panas bumi di Indonesia memang besar. Namun, bagaimana mencapai target itu? Mengingat pengembangan PLTP di Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan.
Tantangan pertama, investasi awal yang tinggi. Menurut INDEF, risiko tertinggi pengembangan PLTP terletak pada tahap eksplorasi, terutama tes pengeboran (drilling), yang membutuhkan biaya sebesar 15% dari total investasi dengan tingkat kegagalan yang tinggi. Nilai investasi sebesar 2,8—5,5 juta USD/MW dengan proporsi terbesar pada fase pengeboran (35%) dan konstruksi (38%). Sementara tahap penuh risiko (prasurvei, eksplorasi, dan tes pengeboran) mencapai 12% dari total investasi.
Tantangan berupa risiko finansial juga terlihat dari kajian yang dilakukan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia (LPEM FEB UI). Salah satu risiko finansial utama yang dihadapi saat mengembangkan PLTP, yaitu kegagalan pada fase eksplorasi berupa tidak ditemukannya sumber daya panas bumi yang memadai untuk pembangunan PLTP. Di Indonesia, tingkat keberhasilan sumur panas bumi pada tahap eksplorasi sekitar 50%, dengan kemungkinan meningkat menjadi sekitar 59% apabila dilakukan peningkatan jumlah sumur yang dibor.
Kegagalan ini mengakibatkan pengembang dihadapkan pada dilema, yaitu melanjutkan eksplorasi dengan menambah sumur bor yang meningkatkan biaya atau meninggalkan lokasi dengan menanggung biaya yang sudah dikeluarkan tanpa memperoleh hasil apa pun.
Apabila proyek tetap dilanjutkan dengan menambah sumur bor, realisasi proyek menjadi tertunda. Akibatnya, jangka waktu operasional PLTP menjadi lebih singkat yang tentunya memengaruhi pengembalian modal ataupun profit yang akan diperoleh.
Tantangan ini dapat dinavigasi dengan menyediakan dana untuk mengurangi risiko eksplorasi sebagaimana salah satunya yang dilakukan Bank Dunia untuk Indonesia.
Meskipun biaya investasi awal tinggi, biaya operasional PLTP rendah. Salah satu penyebabnya, yaitu faktor kapasitas PLTP yang mencapai lebih dari 90%. Faktor kapasitas adalah rasio produksi listrik aktual terhadap potensi produksi (Pusat Sistem Keberlanjutan Universitas Michigan, Amerika Serikat). Dengan faktor kapasitas sebesar itu, PLTP dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan listrik jangka panjang.
Tantangan lain, yaitu tahapan pembangunan PLTP yang panjang membutuhkan waktu yang cukup lama. Menurut LPEM FEB UI, proses dari eksplorasi hingga produksi dapat memakan waktu antara 7 hingga 10 tahun. Selain itu, faktor-faktor di luar aktivitas eksplorasi seperti perencanaan dan penelitian awal, pengembangan infrastruktur, hingga proses perizinan memerlukan perhatian khusus dan memakan waktu yang tidak sebentar.

Kemudian, tantangan dalam menyederhanakan proses perizinan dan pengadaan. Misalnya, pemanfaatan panas bumi memerlukan beberapa perizinan kunci seperti Kesepakatan Kerjasama Pemanfaatan Ruang (KKPR) dan Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH) yang memakan waktu yang panjang. Selain itu, pengembang perlu memenuhi kewajiban Tingkat Komponen dalam Negeri (TKDN) meskipun banyak komponen proyek yang tidak tersedia di pasar lokal sebagaimana dilansir dari sumber yang sama.
Terakhir, masalah lingkungan yang berdampak negatif pada kesehatan. Studi yang dilakukan CELIOS‑WALHI menunjukkan terjadi pelepasan hidrogen sulfida (H2S) selama proses ekstraksi panas bumi. Paparan gas beracun H2S dalam konsentrasi tinggi akan berdampak negatif pada kesehatan manusia. Misalnya, kejadian yang dialami warga adat Mandailing yang tinggal di sekitar PLTP Sorik Marapi, Sumatra Utara.
Sumber yang sama juga menunjukkan kejadian lain berkaitan dengan dampak negatif PLTP terhadap kesehatan. Masyarakat yang terdampak proyek PLTP di Mataloko, NTT mengalami Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) serta gatal-gatal akibat semburan uap belerang dan lumpur.
Oleh karena itu, perlu kehati-hatian dalam pengoperasian PLTP. Dengan demikian, kejadian seperti ini tidak terulang lagi. PLTP yang seharusnya ramah lingkungan malah menjadi racun lingkungan.
Potensi panas bumi yang besar dapat dimanfaatkan secara optimal melalui sinergi antara seluruh pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah, pihak swasta, hingga masyarakat. Sinergi yang erat di antara para pemangku kepentingan ini diharapkan dapat mengatasi berbagai tantangan di atas. Dengan demikian, PLTP membuka jalan bagi Indonesia untuk meningkatkan ketahanan energinya sekaligus mencapai target emisi nol bersih (NZE) pada 2060 atau lebih cepat. Lebih dari sekadar sumber energi, PLTP menjadi pendorong ekonomi berkelanjutan tanpa mengorbankan lingkungan.