Seri Energi Terbarukan: Pembangkit Listrik Tenaga Air
Energi terbarukan air yang dimanfaatkan sebagai PLTA dapat memenuhi kebutuhan energi listrik masyarakat sekaligus mendukung transisi energi nasional.
KOAKSI INDONESIA–Sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam, Indonesia juga kaya akan sumber energi terbarukan. Salah satu sumber energi terbarukan yang memiliki prospek besar untuk dikembangkan adalah Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) baik berskala kecil, menengah maupun besar. Dengan ribuan sungai yang mengalir di seluruh kepulauan, PLTA bisa menjadi solusi yang menjanjikan untuk memenuhi kebutuhan energi bersih seluruh masyarakat Indonesia hingga ke wilayah pelosok sekaligus mendukung transisi energi nasional menuju keberlanjutan.
Potensi Energi Terbarukan Air
Potensi energi terbarukan di Indonesia mencapai 3.686 gigawatt (GW), dengan energi air menyumbang sekitar 95 GW dari total tersebut. Namun, hingga saat ini, pemanfaatannya masih terbatas. Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), kapasitas terpasang PLTA di Indonesia baru mencapai sekitar 6,7 GW, atau hanya sekitar 9% dari total potensi yang ada. Data ini menunjukkan bahwa peluang pengembangan energi air masih terbuka sangat lebar.
Potensi energi terbarukan air tersebar di berbagai wilayah Indonesia, terutama di daerah yang memiliki aliran sungai besar seperti Sumatra, Kalimantan, dan Papua. Contohnya, Sungai Asahan di Sumatra Utara, yang menjadi sumber energi utama bagi PLTA Sigura-gura, salah satu pembangkit listrik tenaga air terbesar di Indonesia. Ataupun PLTA Kayan Cascade yang memanfaatkan air Sungai Kayan. PLTA yang masih dalam proses pembangunan di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara ini diperkirakan menjadi yang terbesar di Asia Tenggara.
Sungai-sungai di Papua pun dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi terbarukan untuk memenuhi kebutuhan listrik di Papua yang hingga kini tingkat elektrifikasinya masih rendah. Kementerian ESDM dalam Katadata menyatakan bahwa terdapat 140 desa di Indonesia yang belum berlistrik pada 2023 dan semuanya berada di Pulau Papua. Padahal, Kementerian ESDM dalam CNBC menyatakan bahwa potensi PLTA di Papua bisa mencapai 10 GW.
Perkembangan Pemanfaatan PLTA
Sebagai negara kepulauan yang memiliki banyak sungai besar, pengembangan PLTA merupakan pilihan yang tepat bagi Indonesia dalam memenuhi kebutuhan listrik bagi masyarakatnya.
Pembangunan pembangkit listrik dengan memanfaatkan energi air bukanlah hal yang baru untuk Indonesia. Dilansir dari Kompaspedia, PLTA merupakan pembangkit listrik tertua di Indonesia yang ditandai dengan pembangunan PLTA Plengan dan PLTA Lamajan pada 1918–1924. Pembangkit listrik di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung ini memanfaatkan aliran air Sungai Cisangkuy. Kedua pembangkit ini difungsikan untuk memenuhi kebutuhan perkebunan, pabrik teh, dan untuk pasokan listrik interkoneksi Jawa-Bali.
Sampai dengan 2023, PLTA, termasuk pembangkit listrik tenaga minihidro (PLTM) dan pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) yang merupakan versi kecil dari PLTA, milik Perusahaan Listrik Negara (PLN) telah mencapai 253 pembangkit aktif.
Beberapa PLTA besar di Indonesia yang telah beroperasi, sebagaimana dilansir dari Tempo.
- PLTA Cirata di Waduk Cirata, Jawa Barat sebagai PLTA terbesar pertama di Indonesia dan yang kedua di Asia Tenggara dengan kapasitas 1.008 megawatt (MW).
- PLTA Saguling di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat dengan kapasitas 844,36 MW.
- PLTA Poso di Desa Sulewana, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah dengan kapasitas 515 MW.
- PLTA Tangga di Kabupaten Toba Samosir, Sumatra Utara dengan kapasitas 317 MW.
- PLTA Mrica di Banjarnegara, Jawa Tengah dengan kapasitas 310 MW.
- PLTA Sigura-gura di Sungai Asahan, Sumatra Utara dengan kapasitas 286 MW.
- PLTA Musi di Kabupaten Kepahiang, Bengkulu dengan kapasitas 210 MW.
Selain pembangunan PLTA berkapasitas besar yang masih terus berlangsung, seperti PLTA Batang Toru di Tapanuli Selatan, Sumatra Utara; PLTA Peusangan di Aceh; PLTA Merangin di Jambi; PLTA Upper Cisokan di Jawa Barat; serta PLTA Kayan Cascade di Kalimantan Utara, Indonesia mengembangkan PLTA berbasis teknologi hibrida, seperti PLTA Terapung Cirata yang memadukan energi air dengan energi surya.
Paduan energi air dan energi surya ini sangat menguntungkan. Saat musim kemarau, debit air di waduk menurun, sehingga menurunkan produksi listrik PLTA. Di sisi lain, produksi listrik pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) meningkat karena sinar matahari yang sangat optimal pada musim kemarau. Sebaliknya, saat musim hujan, debit air di waduk meningkat, sehingga meningkatkan produksi listrik PLTA. Namun, produksi listrik PLTS jadi menurun karena sinar matahari terhalang awan mendung dan hujan.
Pemanfaatan PLTA di Indonesia tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan listrik skala besar. Di berbagai daerah terpencil, mikrohidro (PLTMH)—versi skala kecil dari PLTA dengan kapasitas 5 kilowatt (kW) sampai 1 MW—telah berhasil memberikan akses listrik kepada masyarakat.
Misalnya, masyarakat di wilayah Kasepuhan Ciptagelar, Taman Nasional Gunung Halimun, Jawa Barat. Kemudian, masyarakat di Dusun Kalipondok, Desa Karangtengah, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah yang mengembangkan PLTMH dengan memanfaatkan aliran air dari Telaga Pucung. PLTMH juga ada di Desa Tepian Terap di Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur dan Desa Tanjung Kasri di Taman Nasional Kerinci Seblat, Jambi. Berkat PLTMH, beberapa contoh desa ini telah menjadi desa mandri energi karena mampu memenuhi kebutuhan listrik mereka. PLTMH merupakan solusi untuk memenuhi kebutuhan listrik daerah-daerah dengan akses terbatas ke jaringan listrik nasional.
Penghasil Energi Bersih dengan Efisiensi Tinggi
PLTA menghasilkan listrik dengan memanfaatkan energi kinetik aliran air. Aliran air diarahkan ke turbin melalui pipa pesat (penstock). Kemudian, aliran air ini memutar turbin dan mengubah energi mekanik menjadi energi listrik melalui generator. Listrik yang dihasilkan kemudian disalurkan ke jaringan distribusi untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakat.
Energi yang dihasilkan PLTA merupakan energi bersih, efisien, dan dapat diandalkan. Air dapat terus-menerus diperbarui melalui siklus alami air, sehingga PLTA dapat beroperasi tanpa batas waktu dan tanpa menghabiskan sumber daya. Energi ini sangat berbeda dengan bahan bakar fosil, yang jumlahnya terbatas dan menyebabkan degradasi lingkungan saat diekstraksi dan dibakar (Journal of Nuclear Energy Science & Power Generation Technology).
Sebuah penelitian yang membandingkan emisi karbon dari PLTA dengan pembangkit listrik berbahan bakar fosil yang dipublikasikan dalam Jurnal Renewable Energy menunjukkan, PLTA memiliki emisi gas rumah kaca (GRK) terendah per kilowatt-jam dibandingkan dengan sumber energi lainnya. PLTA menghasilkan 18,5 gCO2-eq/kWh, sedangkan pembangkit listrik tenaga batu bara menghasilkan 820 gCO2-eq/kWh. Dengan kata lain, PLTA mengurangi emisi GRK sebesar 97,7% dibandingkan dengan pembangkit listrik tenaga batu bara. Selain itu, pemanfaatan air dibandingkan dengan bahan bakar fosil seperti batu bara dalam produksi energi berarti mencegah 148 juta ton partikel, 62 juta ton sulfur dioksida, dan 8 juta ton nitrogen oksida dilepaskan ke atmosfer. Karena emisi karbon yang dihasilkannya sangat rendah, pemanfaatan PLTA berkontribusi tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan energi, tetapi juga untuk mengurangi dampak perubahan iklim.
Keunggulan lain PLTA adalah efisiensi dan fleksibilitas. Proses konversi energi pada PLTA modern dapat mencapai tingkat efisiensi hingga 90%, jauh lebih tinggi daripada pembangkit listrik berbahan bakar fosil yang sekitar 40%—60%. Efisiensi ini berkontribusi pada efektivitas biaya karena lebih sedikit energi yang hilang dalam proses konversi. Dari sisi fleksibilitas, operator PLTA dapat dengan cepat menyesuaikan aliran air melalui turbin untuk memenuhi perubahan permintaan listrik. Kemampuan untuk meningkatkan atau menurunkan produksi ini menjadikan PLTA dapat melengkapi produksi listrik yang bersumber dari energi terbarukan surya dan angin yang kurang stabil.
Tantangan Pengembangan PLTA di Indonesia
Meskipun memiliki potensi besar, pengembangan PLTA di Indonesia menghadapi sejumlah tantangan. Salah satu tantangan utama adalah investasi awal yang tinggi. Pembangunan PLTA memerlukan biaya besar untuk infrastruktur seperti bendungan, turbin, dan jaringan distribusi. Kendala dalam jaringan distribusi disebabkan sumber energi listrik berada di wilayah terpencil yang jauh dari wilayah yang membutuhkan listrik. Namun, biaya infrastruktur awal yang besar ini seharusnya dikaitkan dengan daya pakai PLTA yang bisa mencapai 50–100 tahun serta relatif mudah pemeliharaannya.
Selain itu, proses perizinan yang rumit dan memakan waktu sering menjadi hambatan dalam merealisasikan proyek PLTA. Beberapa perizinan itu, dilansir dari Katadata, meliputi izin sertifikasi dan konstruksi bendungan, izin pengisian awal waduk, izin Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH) dari gubernur, serta pemanfaatan air di kawasan konservasi.
Dari aspek lingkungan, pembangunan PLTA berskala besar sering kali menimbulkan dampak ekologis, seperti perubahan ekosistem sungai, relokasi penduduk, dan hilangnya habitat hewan. Tantangan lainnya adalah perubahan iklim yang memengaruhi pola curah hujan dan ketersediaan air, yang dapat mengurangi keandalan pasokan air untuk PLTA. Untuk mengatasi kendala ini, diperlukan perencanaan yang matang, termasuk penerapan teknologi adaptif seperti bendungan pintar, sistem monitoring aliran air sungai berbasis internet of things, dan sistem monitoring pintu air bendungan berbasis situs web.
Dengan strategi pengembangan yang tepat, PLTA dapat menjadi tulang punggung ketahanan energi nasional dan transisi energi nasional menuju sumber energi yang lebih bersih dan berkelanjutan. PLTA membuka jalan bagi Indonesia untuk memenuhi kebutuhan listrik nasional sekaligus mencapai target emisi nol bersih (NZE) pada 2060 atau lebih cepat dan Target Pembangunan Berkelanjutan (SDG) poin 7, yaitu energi bersih dan terjangkau. Agar tujuan itu tercapai, diperlukan dukungan investasi, kebijakan yang proaktif, serta sinergi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat. Dengan demikian, PLTA tidak hanya menjadi sumber energi, tetapi juga pendorong pembangunan ekonomi dan perlindungan lingkungan.