Skip links

Seri Energi Terbarukan: Pembangkit Listrik Bioenergi

Ilustrasi pembangkit listrik bioenergi/Freepik

Bioenergi dapat dikonversi menjadi tenaga listrik melalui pembangkit listrik bioenergi. Salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan listrik dan menyukseskan transisi energi nasional.

KOAKSI INDONESIA—Bioenergi merupakan energi terbarukan yang bersumber dari bahan organik (biomassa). Melansir IEA Bioenergy, biomassa didefinisikan sebagai bahan biologis yang secara langsung atau tidak langsung dihasilkan dari proses fotosintesis, sebuah proses biokimia yang menyintesis karbohidrat dari senyawa anorganik pada tumbuhan. Contohnya, sisa kayu dan kayu, tanaman energi, sisa tanaman, dan sampah/residu organik dari industri, pertanian, pengelolaan lanskap, dan rumah tangga. 

Bioenergi merupakan energi terbarukan. Melansir sebuah penelitian dalam Jurnal Science Direct, ketika tanaman menyerap sinar matahari dalam proses fotosintesis, energi matahari disimpan dalam bentuk energi kimia dalam biomassa. Energi itu dapat diubah menjadi bahan bakar konvensional dalam bentuk padat, cair, dan gas. Karena sinar matahari dan energinya tidak ada habisnya, bioenergi disebut sebagai energi terbarukan. Ini merupakan satu-satunya cara agar karbon dapat diperbarui di alam.

Selain itu, bioenergi merupakan energi bersih karena emisinya mendekati nol. International Energy Agency (IEA) menyatakan, ketika biomassa digunakan untuk menghasilkan energi, karbon dilepaskan selama pembakaran dan dikembalikan ke atmosfer. Makin banyak biomassa yang diproduksi, jumlah karbon yang diserap pun setara, sehingga bioenergi modern menjadi bahan bakar dengan emisi mendekati nol.

Baca Juga:  Kebaikan Mangrove untuk Desa Tanah Merah

Biomassa yang diubah menjadi bahan bakar padat, cair, dan gas ini kemudian dapat digunakan untuk menghasilkan energi panas, listrik, bahan bakar transportasi, dan berbagai produk yang saat ini berasal dari minyak bumi atau gas alam seperti plastik, pelumas, dan bahan kimia industri (Departemen Energi Amerika Serikat). 

Keuntungan Pemanfaatan Bioenergi

Ilustrasi daur ulang sampah yang menghasilkan listrik/Freepik

Menurut Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), ada dua keuntungan yang akan diperoleh dengan memanfaatkan bioenergi. Pertama, berkaitan dengan pelepasan CO2. Pembakaran biomassa untuk menghasilkan energi tidak melepaskan gas berbahaya seperti sulfur dioksida atau timbal oksida. Pembakaran biomassa hanya melepaskan CO2 yang diserap oleh biomassa dalam pertumbuhannya ke lingkungan. Selama jumlah CO2 yang dilepaskan sebagai bahan bakar sesuai dengan jumlah yang diserap selama pengembangannya, bahan bakar tersebut bersifat netral karbon. Sebaliknya, pembakaran bahan bakar fosil melepaskan CO2 yang diserap sejak lama kembali ke lingkungan, yang berkontribusi terhadap efek rumah kaca.

Kedua, pemanfaatan biomassa sesuai dengan skema ekonomi sirkular. Biomassa yang diproduksi untuk kebutuhan manusia, seperti makanan, pakan, serat, dan pupuk, menghasilkan limbah dan residu. Limbah ini biasanya dibuang karena tidak memiliki nilai ekonomi. Padahal, limbah ini dapat dimanfaatkan dengan mengekstraksi semua energi potensial dalam limbah, sehingga mengurangi jumlah limbah yang dilepaskan. Contohnya, emisi metana dari limbah, yang dapat dimurnikan menjadi biometana melalui pencernaan anaerobik atau syngas melalui gasifikasi.

Dengan demikian, pemanfaatan ekonomi sirkular telah mengubah limbah atau sampah yang menjadi masalah bagi lingkungan menjadi sumber daya yang berharga. 

Keuntungan lain adalah keberlimpahan bahan baku yang tersedia—bisa dikatakan di mana pun—tidak terbatas di wilayah tertentu. Keberlimpahan ini akan menjaga ketersediaan bahan baku untuk menghasilkan energi, sehingga memperkuat ketahanan energi nasional. 

Keuntungan pemanfaatan bioenergi juga dapat dilihat dari sisi energi terbarukan lainnya, seperti air, angin, matahari, dan panas bumi. Sumber daya energi terbarukan air, angin, matahari, dan panas bumi bergantung pada alam. Sementara, sumber daya bioenergi bergantung pada pengusahaan manusia. Dalam pengusahaan ini sudah seharusnya manusia memperhatikan aturan alam. Mengelola sumber daya bioenergi dengan bertanggung jawab. 

Potensi Bioenergi Nasional

Ilustrasi berbagai bahan baku bioenergi/Freepik
Ilustrasi berbagai bahan baku bioenergi/Freepik

Dengan berbagai keuntungan pemanfaatan bioenergi, sayangnya Indonesia belum optimal memanfaatkan energi terbarukan ini. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan potensi bioenergi Indonesia mencapai 57 gigawatt (GW). Dari potensi yang besar itu, yang baru dimanfaatkan sebesar 3,09 GW atau sekitar 5,4%. 

Menurut Global Energy Monitor, Indonesia termasuk 10 negara teratas berdasarkan kapasitas unit pembangkit listrik bioenergi yang beroperasi. Kapasitas Indonesia mencapai 3.977 megawatt (MW) atau sekitar 5,23% kapasitas global. 

Baca Juga:  Penerapan Prinsip Berkeadilan untuk Menyukseskan Transisi Energi di Indonesia

Jumlah tersebut bisa dikatakan kecil dibandingkan sumber daya bioenergi yang dimiliki Indonesia. Keberlimpahan sumber daya ini disebabkan Indonesia merupakan negara tropis dengan wilayah yang luas, jumlah penduduk yang besar, dan industri agrikultura yang berkembang pesat. 

Salah satu pemanfaatan sumber daya bioenergi yang melimpah adalah pembangkit listrik tenaga bioenergi yang terdiri dari pembangkit listrik tenaga biomassa (PLTBm), pembangkit listrik tenaga biogas (PLTBg), dan pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa). Pembedaan jenis pembangkit listrik bioenergi ini berdasarkan bahan baku yang digunakan.

Bahan baku yang tersedia dalam jumlah melimpah ini bersumber dari berbagai sektor, yaitu perkebunan, pertanian, peternakan, kehutanan, dan sampah sebagaimana dirangkum dari data Kementerian ESDM berikut.

No. Perkebunan Pertanian Peternakan Kehutanan Sampah
1. Kelapa sawit 

* PLTBm: batang, pelepah, cangkang, serat, dan tandan kosong

* PLTBg: limbah cair (POME)

Padi

* PLTBm: sekam dan jerami

Ternak sapi 

* PLTBg:  limbah cair peternakan

Kayu

* PLTBm: serbuk kayu lapis, serbuk gergaji, limbah venir, lindi hitam (black liquor), limbah kertas pulp

Sampah kota

* PLTSa: sampah organik basah, refuse derived fuel (RDF)

2. Tebu gula

* PLTBm: batang, daun, bagas

Jagung

* PLTBm: batang, daun, bonggol

3. Kelapa

* PLTBm: tempurung, sabut

Singkong

* PLTBg: limbah cair singkong

4. Karet

* PLTBm: batang pohon karet

Berdasarkan ketersediaan bahan baku, potensi terbesar berasal dari minyak kelapa sawit (39%), padi (30%), karet (9%), sampah kota (6%), jagung (5%), kayu (4%), dan tebu (4%). Karena ketersediaannya yang melimpah serta mudah diakses dan dikelola, limbah minyak kelapa sawit padat dan cair menjadi pilihan paling baik untuk bahan baku biomassa sebagaimana dikutip dari ESDM

Sumber yang sama menyatakan, pabrik kelapa sawit dengan kapasitas input 30 ton tandan buah segar kelapa sawit per jam dapat menghasilkan sekitar 3—4 MW pembangkit listrik biomassa dari limbah padat dan 1 MW pembangkit listrik biogas dari limbah cairnya (POME).

Konversi Bioenergi Menjadi Listrik

Dikutip dari ESDM, proses menghasilkan listrik dalam tiga jenis pembangkit listrik bioenergi sebagai berikut. 

  • Proses menghasilkan energi listrik di PLTBm dimulai dengan pembakaran biomassa padat yang menghasilkan produk gas. Kemudian, gas dikonversi menjadi energi listrik melalui mesin pembangkit gas engine atau gas turbine
Ilustrasi pembangkit listrik tenaga biogas/Freepik
  • Bahan baku PLTBg untuk menghasilkan energi listrik adalah limbah biomassa cair, seperti palm oil mill effluent (POME). Kemudian, bahan baku ini diproses dalam biodigester (anaerobic digester) untuk menghasilkan produk biogas. Produk itu dikonversi menjadi energi listrik melalui mesin pembangkit gas engine dan gas turbine.
  • PLTSa memanfaatkan sampah kota sebagai bahan baku energi listrik. Ada tiga proses konversi bahan baku itu menjadi energi listrik. Pertama, proses pembakaran/insinerasi untuk menghasilkan uap yang akan menggerakkan turbin untuk menghasilkan energi listrik. Kedua, proses degradasi termal (pirolisis/gasifikasi) bahan baku untuk menghasilkan bahan bakar gas yang selanjutnya diumpankan ke gas engine atau gas turbine. Ketiga, proses degradasi biologis sampah kota oleh mikroorganisme anaerobik untuk menghasilkan biogas sebagai bahan bakar gas engine atau gas turbine.  

Data ESDM menunjukkan, hingga semester 1 tahun 2023, kapasitas terpasang PLT bionergi di Indonesia mencapai 3.118,3 MW atau sekitar 3,1 GW. Pada umumnya, PLT bioenergi di Indonesia masih berskala kecil. Namun, ada beberapa yang berskala besar sebagaimana dilansir dari ESDM.

  • PLTBm Siantan dengan kapsitas 15 MW di Kalimantan Barat. PLTBm ini menghasilkan listrik sebesar 75.000 MWh per tahun dan berpotensi mereduksi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 25.000 ton CO2e. 
  • PLTBg Jangkang dengan kapasitas 11 MW di Bangka Belitung mampu menampung sekitar 22.800 ton limbah untuk menghasilkan listrik 12 juta kWh per tahun. PLTBg ini diestimasi mampu mereduksi emisi GRK lebih dari 25.000 ton/tahun. 
  • PLTSa Benowo dengan kapasitas 11 MW di Jawa Timur mampu mengurangi timbulan sampah hingga 1.000 ton per hari. 
  • PLTBm berbahan bakar bambu di Pulau Siberut dengan kapasitas 700 kW. PLTBm ini menggantikan Pembangkit Listrik Tenaga Disel (PLTD) yang telah lebih dulu beroperasi. Pengoperasian PLTBm ini akan menghemat Rp 14 miliar per tahun.

Perkembangan Pemanfaatan Bioenergi

Pemanfaatan bioenergi seperti di atas merupakan pemanfaatan secara modern. Namun, tidak berarti bioenergi baru dimanfaatkan akhir-akhir ini. Sejak zaman dulu, bioenergi sudah digunakan manusia untuk menghasilkan energi. 

Melansir International Renewable Energy Agency (IRENA), penggunaan tradisional mengacu pada pembakaran biomassa dalam bentuk kayu, kotoran hewan, dan arang tradisional. Sementara teknologi bioenergi modern mencakup biofuel cair yang dihasilkan dari ampas tebu dan tanaman lainnya; kilang bio (bio-refineries); biogas yang dihasilkan melalui pencernaan residu secara anaerobik; sistem pemanas pelet kayu; dan teknologi lainnya.

Ilustrasi pemanfaatan kayu bakar sebagai sumber energi untuk memasak/Freepik

Pemanfaatan bioenergi tradisional dalam jangka lama berdampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan manusia. Sebuah penelitian yang diterbitkan di Annual Reviews menunjukkan, bioenergi tradisional memberikan kontribusi substansial terhadap emisi karbon hitam antropogenik sebesar 18–30%. 

Karbon hitam (yang umumnya dikenal sebagai jelaga) menurut Climate and Clean Air Coalition, merupakan komponen polusi udara partikulat halus (PM 2,5) yang terbentuk dari pembakaran yang tidak sempurna. Salah satunya adalah pembakaran kayu dan limbah. Pembakaran ini juga menghasilkan CO2, karbon monoksida, dan senyawa organik yang mudah menguap. Selain itu, karbon hitam memiliki dampak pemanasan hingga 1.500 kali lebih kuat daripada CO2 per satuan massa. 

Baca Juga:  Ratusan Orang Muda NTT Baku Dukung Atasi Krisis Iklim dalam Jambore GRUF!

Masih dari sumber yang sama. Karbon hitam memang hanya bertahan beberapa hari hingga beberapa minggu di atmosfer, tetapi sangat efektif menyerap cahaya. Akibatnya, atmosfer menjadi lebih hangat dan memperburuk pemanasan udara. 

Partikel-partikel karbon hitam berukuran beberapa kali lebih kecil daripada sebutir garam dapur, sehingga dapat menembus jauh ke dalam paru-paru dan memudahkan pengakutan senyawa beracun ke dalam aliran darah. Berikut beberapa dampak negatif polusi udara terhadap kesehatan sebagaimana dirangkum dari sumber yang sama. 

  • Setiap tahun, sekitar 4 juta kematian dikaitkan dengan paparan jangka panjang terhadap polusi udara PM 2,5 .
  • Polusi udara PM 2,5 bertanggung jawab atas kematian dini anak-anak akibat infeksi saluran pernapasan bawah akut seperti pneumonia. Partikel-partikel ini bahkan ditemukan di paru-paru, hati, dan otak bayi yang belum lahir, yang dapat memengaruhi perkembangan anak usia dini.

Beberapa penelitian lain juga menunjukkan dampak negatif polusi udara dalam rumah tangga akibat penggunaan bioenergi tradisional terhadap kesehatan. Asap yang ditimbulkan dari pembakaran mengotori udara dalam rumah dan dapat menyebabkan penurunan fungsi paru-paru sebesar 9,4% dibandingkan yang memasak dengan energi bersih serta menyebabkan berbagai penyakit mata seperti gangguan konjungtiva dan katarak. 

Pada bioenergi tradisional, pembakaran bahan baku langsung dilakukan secara terbuka, sehingga menimbulkan polusi udara yang mengganggu lingkungan dan kesehatan manusia. Selain itu, penggunaan bioenergi tradisional pada umumnya untuk memasak dan menghangatkan. 

Sementara pada bioenergi modern, bahan baku biomassa diolah menggunakan teknologi modern untuk memenuhi kebutuhan kita yang lebih luas, tidak sekadar untuk memasak dan menghangatkan. Dengan bionergi modern, kebutuhan energi untuk bahan bakar transportasi dan listrik juga dapat terpenuhi. 

Baca Juga:  Praktik Cerdas Aksi Perubahan Iklim di NTT

Melansir Departemen Energi Amerika Serikat, secara garis besar ada tiga cara untuk menghasilkan energi listrik dari bionergi. 

  • Pembakaran. Biomassa dibakar dalam boiler untuk menghasilkan uap bertekanan tinggi. Uap ini mengalir melalui serangkaian bilah turbin, sehingga turbin berputar. Rotasi turbin menggerakkan generator, kemudian menghasilkan listrik. Biomassa juga dapat berfungsi sebagai pengganti sebagian batu bara dalam tungku pembangkit listrik yang sudah ada dalam suatu proses yang disebut pembakaran bersama (pembakaran dua jenis material yang berbeda pada saat bersamaan).
  • Dekomposisi Bakteri (Pencernaan Anaerobik). Bahan limbah organik, seperti kotoran hewan atau limbah manusia, dikumpulkan dalam tangki bebas oksigen yang disebut digester. Di dalam digester, bahan tersebut diurai oleh bakteri anaerobik yang menghasilkan metana dan produk sampingan lainnya untuk membentuk gas alam terbarukan. Kemudian, gas ini dimurnikan dan digunakan untuk menghasilkan listrik.
  • Konversi ke Bahan Bakar Gas atau Cair. Biomassa dapat diubah menjadi bahan bakar gas atau cair melalui gasifikasi dan pirolisis. Gasifikasi adalah proses yang memaparkan material biomassa padat ke suhu tinggi dengan sedikit oksigen, untuk menghasilkan gas sintetis (atau syngas)—campuran yang sebagian besar terdiri dari karbon monoksida dan hidrogen. Gas kemudian dibakar dalam boiler konvensional untuk menghasilkan listrik. Gas tersebut juga dapat digunakan untuk menggantikan gas alam dalam turbin gas siklus gabungan.

Pirolisis menggunakan proses yang mirip dengan gasifikasi. Hanya, dalam pirolisis, biomassa dipanaskan pada kisaran suhu yang lebih rendah tetapi tanpa oksigen sama sekali untuk menghasilkan bio-oil mentah. Bio-oil ini kemudian menggantikan bahan bakar minyak atau solar dalam tungku, turbin, dan mesin untuk produksi listrik.

Tantangan Pengembangan Pembangkit Listrik Bioenergi

Ilustrasi alih fungsi lahan untuk bahan baku PLT bioenergi/Freepik

Berdasarkan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) 2015—2050, target kapasitas PLT bioenergi pada 2025 sebesar 5.500 MW dan 9.600 MW pada 2030. Potensi bahan baku bioenergi di Indonesia memang besar. Namun, bagaimana mencapai target itu? Mengingat bahan baku PLT bioenergi beririsan dengan bahan pangan. Inlah yang menjadi salah satu tantangan dalam pengembangan tenaga listrik dari bioenergi.

Produksi beras sebagai salah satu sumber pangan utama masyarakat Indonesia mengalami penurunan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, produksi beras pada 2024 untuk konsumsi pangan penduduk mencapai 30,62 juta ton. Produksi ini mengalami penurunan sebanyak 480,04 ribu ton atau 1,54% dibandingkan produksi beras di 2023 yang sebesar 31,10 juta ton. 

Di sisi lain, data BPS menunjukkan peningkatan impor beras Indonesia sepanjang Januari–November 2024 dibandingkan periode yang sama pada 2023. Sepanjang Januari–November 2024, impor beras mencapai 3,85 juta ton dibandingkan impor Januari–November 2023 sekitar 2,5 juta ton. 

Baca Juga:  Perspektif Generasi Muda terhadap Bidang Pekerjaan Transisi Energi

Data mengenai beras tersebut menggugah perhatian kita bahwa untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional, sudah dilakukan impor. Lalu, bagaimana jika terjadi peningkatan kebutuhan padi (sekam dan jerami) untuk dijadikan bahan baku PLT bioenergi? Apakah untuk peningkatan produksi diperlukan lahan yang lebih luas lagi, sehingga dilakukan alih fungsi lahan? Misalnya, membuka hutan untuk dijadikan lahan pertanian?

Pertanyaan berikutnya berkaitan dengan bahan baku kelapa sawit. Seperti data ESDM yang menunjukkan potensi kelapa sawit yang besar dan pengelolaannya yang relatif mudah sebagai bahan baku PLT bionergi. Apakah dengan keunggulan sawit sebagai bahan baku mendorong kita untuk meningkatkan produksinya? Misalnya, dengan mengalihfungsikan hutan menjadi perkebunan sawit?

Padahal, hutan memiliki fungsi tersendiri yang tidak bisa digantikan begitu saja. Salah satu fungsi itu berkaitan dengan pelepasan dan penyerapan karbon untuk mengurangi dampak perubahan iklim. 

Saat pohon-pohon ditebang, pohon-pohon itu melepaskan karbon dioksida (CO2) yang mereka serap saat tumbuh. Pelepasan karbon ini tidak berhenti sampai di situ. Sebuah penelitian yang dipublikasikan di Jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS) menunjukkan, pelepasan karbon masih berlangsung bahkan setelah satu dekade penebangan dilakukan. Pelepasan melalui tanah dan kayu yang membusuk itu melebihi karbon yang diserap oleh pertumbuhan tanaman baru di hutan.

Sementara berbicara mengenai penyerapan karbon, hutan dengan spesies pohon beragam dapat menyerap lebih banyak karbon dibandingkan hutan dengan satu spesies pohon. Hasil sebuah penelitian yang diterbitkan di Jurnal Global Change Biology pada Februari 2025 menyatakan, hutan heterogen bisa menyerap 57% lebih banyak karbon dibandingkan hutan dengan satu spesies pohon. Hasil ini diperoleh berdasarkan penelitian di hutan Panama, Amerika Tengah yang ditanami lima spesies pohon. Penelitian juga mengungkapkan, hutan ini memiliki stok karbon jauh lebih tinggi dan fluks (laju pertukaran) karbon lebih besar daripada hutan dengan satu spesies pohon. Dengan demikian, keberagaman jenis pohon berperan sangat penting untuk mengoptimalkan fungsi hutan dalam menyerap karbon.

Untuk mengatasi tantangan penyediaan lahan demi meningkatkan pasokan bahan baku PLT bionergi, diperlukan sinergi yang erat antara pemerintah, pihak swasta, dan masyarakat. Menyinergikan ketahanan pangan dan ketahanan energi dengan cara berkelanjutan. Pangan dan energi merupakan kebutuhan dasar masyarakat yang harus terpenuhi baik secara kuantitas maupun kualitas. Dengan demikian, pemenuhan kebutuhan kedua sektor ini secara berkelanjutan sesuai dengan tujuan Indonesia untuk menekan emisi karbon demi pencapaian emisi nol bersih (NZE) pada 2060 atau lebih cepat sekaligus menggerakkan ekonomi nasional yang dapat berjalan beriringan dengan kelestarian lingkungan.

Penulis

Beranda
Kabar
Kegiatan
Dukung Kami
Cari