Dampak perubahan iklim secara ekstrem dirasakan oleh semua manusia, tidak terkecuali teman disabilitas. Isu besar ini selayaknya diatasi bersama dengan melibatkan semua kalangan karena berhubungan dengan hak kita sebagai manusia dan warga negara untuk bisa hidup secara layak.
KOAKSI INDONESIA—Pengertian disabilitas tidak terbatas merujuk pada keterbatasan fisik seperti seseorang yang memakai kursi roda, yang tidak dapat melihat, atau tidak bisa mendengar.
UU No. 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas menjelaskan disabilitas meliputi disabilitas fisik, disabilitas intelektual, disabilitas mental, dan disabilitas sensorik. Setiap kategori memiliki karakteristik yang berbeda. Disabilitas fisik melibatkan gangguan fungsi gerak, seperti amputasi, lumpuh layuh atau kaku, paraplegia, cerebral palsy (CP), akibat stroke, akibat kusta, dan orang kecil. Disabilitas intelektual terkait dengan fungsi pikir yang terhambat, misalnya lambat belajar atau down syndrome.
Disabilitas mental melibatkan gangguan pada fungsi pikir, emosi, dan perilaku. Orang dengan disabilitas mental dapat mengalami hambatan dalam psikososial, seperti skizofrenia, bipolar, depresi, ansietas, dan gangguan kepribadian. Disabilitas mental bisa juga berupa disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial seperti autis dan hiperaktif. Sementara itu, disabilitas sensorik berhubungan dengan gangguan pada fungsi pancaindra, seperti gangguan penglihatan atau netra, disabilitas rungu, dan/atau disabilitas wicara. Seorang individu mungkin saja mengalami lebih dari satu jenis disabilitas yang disebut disabilitas ganda atau multi. Misalnya, gangguan pendengaran sekaligus penglihatan.
Baca Juga: Keuntungan Menerapkan Prinsip GEDSI dalam Transisi Energi
Keragaman ini seharusnya tidak ditempatkan dalam satu kotak yang sama karena setiap dari mereka istimewa dan berhak mendapat perlakuan yang sesuai dengan kebutuhan.
Walaupun Indonesia telah meratifikasi Konvensi tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas (Convention on the Rights of Persons with Disabilities/CRPD) sesuai dengan Undang-undang No. 19 Tahun 2011, negara wajib untuk melindungi, menjamin, dan mempromosikan hak-hak disabilitas dan memastikan posisi mereka setara dengan manusia lainnya di mata hukum.
Namun, sering kali dari segi pendidikan, kehidupan sosial, serta pekerjaan belum inklusif ke semua penyandang disabilitas. Dalam pemaparan Mahkamah Konstitusi, sejauh ini untuk menciptakan keadilan bagi penyandang disabilitas masih memerlukan berbagai upaya. Salah satunya dengan menciptakan sarana dan prasarana yang memberikan kesempatan sama kepada penyandang disabilitas untuk mampu meningkatkan kualitas hidupnya dalam mewujudkan kesejahteraan sosial.
Selain penciptaan sarana dan prasarana, pemenuhan hak-hak difabel harus bisa dikukuhkan dalam pedoman resmi seperti Peraturan Presiden atau Undang-undang agar upaya ini dapat berkelanjutan. Formasi Disabilitas Indonesia menyampaikan kesungguhannya untuk terus memantau perkembangan atas pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas.
Hasil pemantauan dilakukan untuk mengevaluasi kualitas layanan publik agar optimal dan tepat sasaran. Hingga pada 2020, terbentuklah Komisi Nasional Disabilitas (KND) yang bertanggung jawab kepada Presiden untuk melaksanakan pemantauan, evaluasi, dan advokasi terkait pemenuhan hak Penyandang Disabilitas.
Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas
Upaya pemenuhan hak-hak yang telah lama diusung para penyandang disabilitas tersebut menyadarkan kita bahwa pemenuhan hak-hak itu menjadi tanggung jawab bersama. Tidak seharusnya masih ada sikap atau perilaku ableism atau perasaan lebih unggul dibandingkan mereka.
Berasal dari kata able yang berarti bisa, mampu, dan sanggup, Studi Oxford menjelaskan bahwa ableism merupakan bentuk diskriminasi yang memandang orang dengan disabilitas sebagai seseorang yang lemah, rentan, dan membutuhkan penyelamatan. Pandangan yang bersikap merendahkan dan mengabaikan kepribadian orang dengan disabilitas sebagai pribadi yang lebih rendah kedudukan dan perannya daripada orang tanpa disabilitas.
Menormalisasikan pandangan terhadap aspirasi biologi atau bagian tubuh yang lengkap sebagai “normal” dan lebih superior dibandingkan dengan subjek yang tidak memiliki tubuh lengkap dan dikatakan sebagai “cacat atau abnormal”. Perilaku ini dapat mengakibatkan terjadinya diskriminasi baik dalam kehidupan sosial maupun pengambilan kebijakan.
Baca Juga: Apa Itu Keadilan Iklim?
Menganggap penyandang disabilitas itu sebagai cacat dan tidak normal masih banyak terjadi, Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) menyampaikan dalam laporan kerjanya, masih ditemukan banyak rumah sakit jiwa yang mengurung dan memasung pasien. Tindakan ini sangat miris karena tidak mencerminkan pemenuhan hak sebagai manusia apalagi hak penyandang disabilitas.
Ableisme dapat terjadi pada berbagai ruang dan kondisi, salah satunya dalam gerakan lingkungan. Upaya pelestarian lingkungan bisa saja tidak mengakomodasi kebutuhan penyandang disabilitas atau disebut eco ableism.
Studi greeneration menjelaskan bahwa eco ableism secara tidak langsung terjadi di sekitar kita dan berdampak langsung pada penyandang disabilitas. Salah satu contoh diskriminasi yang terjadi dalam aktivitas lingkungan adalah pelarangan sedotan plastik. Maraknya sampah plastik menumbuhkan kesadaran di masyarakat untuk beralih menggunakan sedotan metal, kertas, kaca, maupun bambu. Bagi teman disabilitas khususnya yang tidak memiliki tangan atau fungsi genggamnya terganggu, sedotan plastik justru lebih aman untuk digunakan dibandingkan dengan sedotan metal yang keras dan dapat menghantarkan panas. Selain itu, beberapa orang memiliki alergi terhadap bahan metal.
Contoh lain adalah pengurangan penggunaan kendaraan pribadi karena dinilai tidak ramah lingkungan. Padahal, sebagian penyandang disabilitas masih menggunakan kendaraan pribadi untuk mobilitasnya. Kurangnya fasilitas dalam kendaraan umum yang bisa mengakomodasi kebutuhan teman disabilitas seperti kursi roda maupun teman netra. Kondisi ini seharusnya menjadi perhatian khusus, terutama dalam peningkatan layanan yang ramah disabilitas di semua fasilitas publik.
Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa tindakan terkait kebijakan lingkungan tidak mendiskriminasikan penyandang disabilitas dan tidak mengarah pada tindakan eco ableism. Perlunya melibatkan peran aktif teman disabilitas dalam pengambilan keputusan.
Inklusivitas dalam Penanganan Perubahan Iklim
Dalam berita Antara, menurut laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dalam 5 bulan (Januari hingga Mei 2023) telah terjadi 1.675 bencana terkait dengan perubahan iklim. Perubahan iklim membuat bencana ekstrem lebih sering terjadi.
Penyandang disabilitas memiliki risiko tinggi akibat perubahan iklim. Kurangnya penanganan risiko bencana yang inklusif menyebabkan penyandang disabilitas mengalami kesulitan terutama ketika proses evakuasi. Contohnya, saat terjadi banjir, pengguna kursi roda lebih sulit untuk dievakuasi.
Proses ini sangat kompleks dan memerlukan perhatian khusus, sehingga tidak akan bisa menyamaratakan tindakan kepada sesama penyandang disabilitas. Teman buta dan tuli juga harus diperhatikan proses evakuasinya, terutama dipersiapkan strategi untuk mendapatkan informasi darurat mengenai kebencanaan. Pemberian informasi darurat terkait tanggap bencana yang disesuaikan dengan kondisi mereka masing-masing.
Baca Juga: Aksi Iklim Generasi Muda: Menyuarakan Isu Lingkungan dengan Berkomunikasi dan Berkampanye
Hal tersebut juga disampaikan oleh Desder Dea Kanni atau akrab disapa Mama Desy, seorang anggota Aliansi Penyandang Disabilitas (Apdis) Kota Kupang, tergabung dalam Forum Penanggulangan Risiko Bencana (FPRB) Kota Kupang. FPRB dijalankan dengan membentuk kelompok kerja (Pokja), salah satunya adalah Pokja Perubahan Iklim.
FPRB berfungsi sebagai wadah kolaborasi lintas sektor antara pemerintah, organisasi masyarakat sipil (OMS), pelaku ekonomi atau sektor swasta, media, dan masyarakat umum yang biasa disebut dengan kolaborasi pentahelix dalam upaya pengurangan risiko bencana. Pokja Perubahan Iklim akan berfokus pada advokasi isu perubahan iklim dalam perumusan dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kupang.
“Dalam FPRB, tidak ada diskriminasi. Kami dari teman disabilitas diberikan ruang untuk memberikan masukan pada dokumen RPJMD terutama yang berkaitan dengan disabilitas. Bergabungnya kami dalam FPRB diharapkan mampu menyampaikan informasi secara lebih sederhana kepada teman disabilitas lainnya terkait perubahan iklim,” ujarnya saat ditemui dalam kunjungan lapangan Koalisi Sipil dalam program Voices for Just Climate Action (VCA).
Proses advokasi tingkat Nasional juga sering dilakukan oleh PJS. Mereka beberapa kali melakukan advokasi pemenuhan hak bagi teman disabilitas agar sesuai dengan CRPD. Mengawal Pemerintah untuk tetap melibatkan peran teman disabilitas pada kebijakan yang ditetapkan.
Optimisme Keadilan Iklim untuk Semua
Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2022, Indonesia memiliki jumlah penyandang disabilitas sebanyak 22,5 juta jiwa. Jumlah yang besar dan menjadi tantangan bagi semua sektor dalam penyetaraan khususnya pada dampak perubahan iklim.
Keadilan iklim bagi disabilitas harus terus diperjuangkan sesuai dengan hak asasi manusia dalam setiap sektor. Dalam merespons hal tersebut, penyandang disabilitas seharusnya dilibatkan dalam aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Indonesia telah memiliki Peraturan Pemerintah (PP) No. 42 Tahun 2020 tentang Aksesibilitas terhadap Permukiman, Pelayanan Publik, dan Perlindungan dari Bencana bagi Penyandang Disabilitas dan PP No. 87 Tahun 2020 tentang Rencana Induk Penanggulangan Bencana Tahun 2020–2044. Rangkaian kebijakan nasional ini sangat potensial untuk terus ditingkatkan. Baik masyarakat maupun pemerintah perlu memastikan keberagamaan ini lebih adil dan berdaya.
Beberapa Organisasi Masyarakat Sipil (OMS), termasuk Koaksi Indonesia, yang tergabung dalam Koalisi Keadilan Iklim mendesak negara untuk segera menyusun Undang-undang Keadilan Iklim.
Selain itu, Koaksi Indonesia terus berupaya untuk mengikutsertakan teman disabilitas dalam berbagai kegiatan yang diselenggarakan. Mengusung kampanye terkait green jobs di Indonesia, berbagai upaya untuk mengajak dan melibatkan para pemuda termasuk teman disabilitas agar mendapatkan kesempatan yang sama dalam mengakses informasi mengenai green jobs.
Bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2023, Koaksi Indonesia mengadakan Vakansi Kawula Muda. Acara berupa wisata lingkungan di Kota Bogor ini bertujuan untuk memperkenalkan green jobs kepada generasi muda termasuk teman-teman disabilitas.
Koaksi Indonesia juga melibatkan teman-teman disabilitas dalam peresmian platform www.greenjobs.id. Bahkan, organisasi ini membuka ruang bagi teman-teman disabilitas untuk memberikan masukan agar platform dapat memfasilitasi kebutuhan mereka.
Teman-teman disabilitas merupakan bagian dari diri kita. Oleh karena itu, pemenuhan hak dan kedudukan mereka menjadi tanggung jawab bersama.