Mengawal semangat amplifikasi net zero emission, Koaksi Indonesia diundang oleh EU-Indonesia Cooperation Facility (EUICF) “Team of Europe” sebagai perwakilan dari NGO di bidang percepatan transisi energi, Selasa, 24 Oktober 2023, bertempat di Hotel JS Luwansa, Jakarta.
KOAKSI INDONESIA — Konferensi dibuka dengan sambutan dari Presiden Uni Eropa untuk Brunei Darussalam dan indonesia H.E. Denis Chaibi. Menurutnya, agenda kunci dari konferensi ini terletak pada semangat kolaborasi dari Uni Eropa untuk Indonesia melalui perwujudan transisi energi yang melibatkan lintas sektor.
“Proses ini penting untuk mendapat perhatian sebab urgensi pada prioritas efisiensi energi, implementasi ekonomi sirkular, dan biodiversitas dapat membuka akses lapangan pekerjaan hingga 42 juta di tahun 2050,” ujar Denis.
Baca juga: Milenial Ngobrolin Green Car dan Teknologi Ramah Lingkungan
Denis menutup sesinya dengan optimisme kerja sama dengan mitra-mitra di Indonesia untuk mencapai komitmen Indonesia bebas emisi di tahun 2060.
Sebelum masuk ke agenda konferensi, Ego Syahrial, Direktur Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memberikan pengantar untuk membacakan hasil kinerja dan optimisme regulator Indonesia di masa mendatang dalam konteks transisi energi.
“Indonesia memiliki proyeksi optimalisasi 3,61 GW potensi panel surya di tahun 2025,” ujar Ego. Dia menambahkan, di masa depan potensi pembangkit tenaga nuklir dapat menunjang kebutuhan energi nasional dan program tersebut diperkirakan akan mulai pada 2039 hingga mampu menghasilkan 31 GW di tahun 2060.
Pernyataan tersebut sejalan dengan program Bappenas berupa penurunan emisi gas rumah kaca melalui energi bersih dan berkeadilan. Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian PPN/Bappenas Vivi Yulaswati pada kesempatan yang sama mengatakan terdapat empat faktor utama yang dapat mendorong energi bersih melalui green jobs di bidang F&B (makanan dan minuman), infrastruktur, elektronik, dan tekstil.
“Integrasi yang saling terkait antara keempatnya dapat menjadi game changer untuk menghasilkan resiliensi/ketahanan sosio ekologis,” jelasnya.
Sesi dilanjutkan dengan menghadirkan perwakilan dari delegasi negara-negara persemakmuran Eropa untuk berbagi terkait keberhasilan mereka melakukan adaptasi transisi energi yang dimoderatori oleh CSIS (Centre of Strategic and International Studies).
“Jerman berkomitmen melakukan transisi energi setelah pandemi COVID-19 dan invasi Rusia dengan pengalihan hingga 50% energi bersih ke seluruh wilayahnya,” ujar H.E. Ina Lepel sebagai Duta Besar Jerman untuk Indonesia. “Respons kolektif yang Jerman lakukan untuk tujuan mengurangi jejak karbon selalu dimonitor dan dievaluasi oleh beberapa lembaga,” tambahnya.
Baca juga: Inovasi #EnergiMuda: Ayo Bangun Negeri dengan Energi Bersih!
Kerja sama dalam membangun transisi energi tidaklah mudah. Menurutnya, peran dari regulator, sektor swasta, dan tenaga pendidik dalam hal ini institusi pendidikan harus terintegrasi untuk mencapai target tertentu. Di masa mendatang kerja sama bilateral Jerman dan Indonesia akan terus berjalan dari penyediaan infrastruktur hingga pembangunan SDM yang unggul. Saat ini, Jerman sedang mencanangkan pembangunan panel surya terbesar di dunia yang berlokasi di Indonesia yang menelan biaya 2,5 juta Euro.
Senada dengan Jerman, Italia melalui duta besarnya H.E Benedetto Latteri memberikan spesifikasi isu pada potensi geotermal di Kalimantan dan Sulawesi. Carbon capture, penerapan smart grid, dan transportasi umum berbasis energi terbarukan merupakan bentuk nyata yang sesuai dengan konteks kebutuhan energi bagi masyarakat.
“Edukasi yang mengedepankan kerja praktik dalam optimasi teknologi energi terbarukan khususnya geotermal penting,” ujar Benedetto. Amplifikasi hidrogen pada transportasi publik yang sudah dilakukan Italia akan bermanfaat untuk mewujudkan energi bersih dan efisiensi energi di Indonesia,” tambahnya.
Perwakilan negara Prancis menambahkan pentingnya penguatan JETP (Just Energy Transition Partnership) dengan mengelaborasi prioritas sumber energi dan komunikasi antarsektor yang melibatkan swasta, pemerintah, dan komunitas lokal regional. Perwakilan negara Prancis menambahkan, potensi besar energi nuklir di Indonesia memproduksi emisi gas rumah kaca CO2 40 kali lipat lebih rendah jika dibandingkan dengan gas.
Sementara itu, perwakilan dari Belanda memberikan rekomendasi Indonesia untuk diversifikasi energi dan tidak hanya berfokus untuk implementasi satu jenis sumber daya. Teknologi LED dapat direplikasi sektor swasta untuk meningkatkan efisiensi energi. Kegiatan sustainable B2B (business to business) dan edukasi ramah lingkungan menjadi faktor kunci untuk menjalankan dan mengawal target nol emisi Indonesia 2060.
Agenda ditutup dengan paparan Sugeng dari Komisi VII DPR RI selaku Chairman Energy & Climate Change. “Bersama Dewan Energi Nasional, kami akan menurunkan kembali bauran energi nasional dengan target 23% di tahun 2025,” ujar Sugeng. “Kami sangat peduli terhadap isu perubahan iklim, namun kondisi aktual saat ini sedang teralihkan memasuki tahun politik,” tambahnya. “Target untuk perumusan UUD dan turunan pertama terkait transisi energi akan rampung di kuartal 1 tahun 2024, harapannya kebijakan yang membawa dampak baik bagi lingkungan dapat dilaksanakan dengan merata,” tutupnya.
“Keterbukaan akses green jobs harus terus dimonitor dan dievaluasi untuk menata isu transisi energi dari hulu ke hilir,” ujar Denis EU Ambassador. “Upaya ini membutuhkan waktu dan rencana yang jelas, kerangka peraturan, mekanisme perpajakan, transisi ekosistem, dan perubahan perilaku terhadap kerangka peraturan yang harus diadaptasi oleh peraturan keuangan untuk reformasi yang padu,” tutupnya.
Baca juga: Green Jobs: Jadikan Bonus Demografi Indonesia sebagai Peluang Membangun Indonesia yang Lebih Bersih