
Antara/Ari Bowo Sucipto. Petani memotong tanaman padi yang rusak terserang hama untuk dijadikan pakan ternak di Paron, Ngawi, Jawa Timur, Kamis (11/8/2022).
SEJUMLAH riset dalam beberapa tahun belakangan menyampaikan hasil yang konsisten bahwa ekonomi Indonesia termasuk yang paling rentan terhadap perubahan iklim. Rumah tangga berpenghasilan rendah dan kelompok marjinal akan lebih banyak menjadi korban.
Itu menjadi kesimpulan dari laporan sintesis dampak krisis iklim di seluruh sektor kunci di Indonesia yang dirilis Koaksi Indonesia bersama Yayasan Indonesia Cerah. Target dari laporan ini yaitu membangun kesadaran publik agar dapat memahami krisis iklim dan dampaknya dengan lebih mudah serta dapat menjadi referensi bagi media dalam
mengembangkan laporan mendalam.
“Melalui publikasi ini, kami hendak menyampaikan bahwa Indonesia masih punya kesempatan untuk melakukan aksi iklim yang lebih ambisius sebelum dampak perubahan iklim makin buruk menimpa sektor-sektor strategis di Indonesia, seperti pangan, infrastruktur, ekonomi, dan tenaga kerja,” ujar Direktur Program Koaksi Indonesia, Verena Puspawardani, dalam keterangan tertulis, Kamis (29/9).
Penelitian 2021 menyebut pada 2050 Indonesia bisa kehilangan 30%-40% produk domestik bruto (PDB) jika berada di tingkat emisi sedang hingga tinggi. Padahal, Indonesia bisa hanya kehilangan PDB maksimum 4% jika mampu menjaga suhu jauh di bawah 2°C. Penelitian tersebut sejalan dengan temuan 2015 yang mengungkapkan bahwa dalam skenario emisi tinggi, PDB Indonesia bisa merosot 31% pada pertengahan abad dan terjun bebas hingga 78% pada akhir abad (2100).
Ada lagi riset yang menyoroti dampak pemanasan global pada ekonomi Indonesia yang sangat besar kecuali emisi dipangkas sesegera mungkin. Diffenbaugh dan Burke pada 2019 menyebut PDB Indonesia per kapita mungkin sudah 15% lebih rendah ketimbang yang bisa tercapai tanpa pemanasan yang disebabkan ulah manusia sejak 1991.
Panas ekstrem merupakan salah satu dampak krisis iklim yang sangat nyata di Indonesia. Hawa panas ini menurunkan hasil panen dan pangan di Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam riset Kinose pada 2020. Dalam skenario tinggi emisi, merujuk pada penelitian ini, Pulau Jawa dan wilayah utara Sumatra akan mengalami penurunan panen beras sampai 20%-40% pada 2040.
Penelitian lain pada 2018 mengatakan kenaikan suhu berdampak langsung pada penurunan panen kakao di Indonesia. Jika suhu mencapai 27-27,5°C, hasil panen bakal merosot 67% dan bahkan sering mencapai nol. Selain kakao, beras dan kopi juga akan terdampak dari kenaikan suhu dan penurunan curah hujan. Menurut Azis Kurniawan, Manajer Riset dan Pengembangan Koaksi Indonesia, kompilasi data dan proyeksi dari berbagai laporan ini dapat menjadi basis bagi aksi iklim bersama oleh berbagai pihak, terutama pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil, agar target-target pembangunan Indonesia menuju ekonomi hijau dapat tercapai.
Dampak krisis iklim juga dialami sektor infrastruktur. Riset Stone pada 2021 menunjukkan peningkatan hawa panas membuat permintaan pendingin udara lebih besar berarti menambah beban pada jaringan listrik. Gangguan pada jaringan listrik penyedia jasa pendinginan saat terjadi gelombang panas dapat menimbulkan korban jiwa. Sejumlah penelitian juga mengungkapkan panas ekstrem akan menurunkan fungsi pembangkit listrik tenaga termal sehingga mengganggu pasokan listrik.
Selanjutnya, mengacu penelitian Dobney pada 2008, rel kereta bisa melengkung dan rusak jika suhu melampaui rancangannya. Tak hanya itu, riset Smoyer-Tomic dan tim pada 2003 mengatakan, suhu tinggi bisa menyebabkan jalan-jalan meleleh dan menempel pada ban kendaraan. Efektivitas pendinginan mesin kendaraan juga akan berkurang dan menambah kemungkinan pecahnya ban. Ini berarti kemungkinan kecelakaan menjadi lebih tinggi.
“Berbagai bukti potensi dampak hawa panas terhadap infrastruktur ini memberikan pertanyaan: apakah perencanaan pembangunan infrastruktur kita sudah dan akan mempertimbangkan potensi dampak krisis iklim? Jika memperhitungkan potensi dampaknya, kita sangat dapat melakukan penghematan APBN secara signifikan melalui transisi dari kegiatan ekonomi yang menghasilkan emisi tinggi ke arah ekonomi hijau,” kata Wira Dillon, periset senior Yayasan Indonesia Cerah.
Dipublikasikannya laporan ini bertepatan dengan rilis dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution Republic Indonesia 2022, Jumat (23/9). Dokumen NDC terbaru ini menjanjikan peningkatan target penurunan emisi menggunakan sumber daya dan kemampuan sendiri dari 29% menjadi 31,89% serta peningkatan dari 41% menjadi 43,2% bila mendapatkan dukungan internasional. Tentu saja masih banyak aspek yang perlu ditingkatkan untuk menyelaraskan peningkatan upaya menurunkan emisi yang disampaikan dalam NDC versi terkini dengan pembangunan Indonesia agar selaras dengan skenario perubahan iklim di bawah 1,5°C. Harapannya, laporan ini dapat menjadi referensi bagi aksi iklim yang lebih ambisius di masa mendatang dan terukur pencapaian targetnya. (OL-14)
Artikel ini telah tayang mediaindonesia.com dengan judul “Sejumlah Riset tentang Dampak Perubahan Iklim bagi Ekonomi Indonesia”.