Sebagai wilayah pesisir dan kepulauan, Provinsi NTT menjadi salah satu daerah yang diproyeksikan paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. Salah satu pendekatan untuk mengatasi masalah ini adalah pemanfaatan energi terbarukan berbasis lokal.
KOAKSI INDONESIA — Dampak perubahan iklim mulai dirasakan di wilayah pesisir, termasuk Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Hal tersebut ditandai misalnya dengan kondisi musim kemarau yang berlangsung selama 6 hingga 8 bulan pada tahun 2016, 2017, dan 2018, serta tidak terjadi hujan selama 178 hingga 246 hari, yang mengindikasikan terjadinya kekeringan di Provinsi NTT.
Selain itu, perubahan iklim di Provinsi NTT ditandai dengan meningkatnya cuaca ekstrem. Contohnya, Badai Seroja pada April 2021, sebuah siklon tropis yang biasanya jarang terjadi di wilayah tropis seperti Indonesia. Namun, dalam sepuluh tahun terakhir, kejadian siklon tropis semakin sering terjadi. Bahkan, pada 2017, bisa terjadi dua siklon tropis dalam satu pekan.
Perubahan iklim telah terbukti menimbulkan kerugian bagi masyarakat dan lingkungan. Provinsi NTT sebagai wilayah pesisir dan kepulauan merupakan salah satu daerah yang diproyeksikan paling rentan terhadap dampak perubahan iklim, seperti mengalami banjir dan kerusakan infrastruktur. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk mengatasi perubahan iklim, baik melalui mitigasi maupun adaptasi.
Kondisi Kelistrikan
Berdasarkan data PLN Provinsi NTT, tingkat elektrifikasi di wilayah ini mencapai 94,04%, setara dengan 1.190.641 Kepala Keluarga (KK) yang telah memiliki akses listrik dari total 1.266.055 KK.
Secara spesifik untuk tingkat desa, saat ini 3.227 desa dari total 3.442 desa telah memperoleh layanan listrik. Berarti, masih ada 215 desa dalam tahap pembangunan jaringan listrik.
Ketiadaan listrik menimbulkan kerugian bagi masyarakat karena kegiatan sehari-hari mereka terganggu. Beberapa fasilitas umum, seperti gedung sekolah dan pemerintah ikut terdampak karena tidak dapat beroperasi secara maksimal. Selain itu, pengembangan ekonomi dan usaha seperti UMKM yang membutuhkan listrik, pada akhirnya mengalami hambatan.
Untuk memenuhi kebutuhan listrik, biasanya masyarakat menggunakan genset berbahan bakar minyak (BBM), kondisi ini menimbulkan tantangan lain karena listrik belum tentu dapat menyala sepanjang hari selama 24 jam. Di sisi lain, masyarakat menghadapi potensi kenaikan harga BBM.
Salah satu pendekatan untuk mengatasi masalah ini adalah pemanfaatan energi berbasis lokal. Mengingat dampak perubahan iklim yang semakin dirasakan oleh masyarakat, upaya ini dapat dilakukan melalui pengembangan energi yang lebih berkelanjutan, seperti energi terbarukan.
Pemanfaatan energi terbarukan di Provinsi NTT sangat penting untuk mengatasi tantangan ini karena dapat mengurangi ketergantungan pada genset berbahan bakar fosil serta memastikan pasokan listrik yang lebih stabil, terjangkau, dan sesuai dengan pengetahuan lokal masyarakat setempat.
Potensi dan Pemanfaatan Energi Terbarukan
Potensi energi terbarukan di Provinsi NTT membawa angin segar untuk mengatasi masalah kelistrikan tersebut. Merujuk RUED Provinsi NTT, potensi energi terbarukan di wilayah ini mencapai 23.812,5 megawatt (MW). Dari jumlah ini, potensi terbesar berasal dari angin yaitu sekitar 10.188 MW (43%), diikuti oleh energi surya, laut, panas bumi, bioenergi, mini dan mikro hidro, serta air.
Meskipun begitu, pemanfaatan energi terbarukan di Provinsi NTT masih terbilang rendah. Mengingat karakteristik wilayahnya yang bersifat kepulauan, sistem kelistrikan di Provinsi NTT terbagi menjadi Sistem Sumba, Flores, dan Timor. Bauran EBT dalam sistem kelistrikan tersebut masih relatif rendah, yaitu tidak mencapai setengah dari total listrik yang diproduksi.
Pulau Sumba
Berdasarkan data PLN per Oktober 2021, total produksi listrik di Pulau Sumba sebesar 88,68 MW dengan 5,64 MW (6,37%) berasal dari EBT, seperti pembangkit listrik mikro hidro (PLTMH) dan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).
Sebagai contoh, PLTMH Kamanggih yang dibangun di Desa Kamanggih, Kecamatan Kahaungu Eti, Kabupaten Sumba Timur, merupakan desa pertama di Pulau Sumba yang mengembangkan pembangkit listrik bersumber dari mikro hidro. Dengan daya 37 kilowatt (KW) yang dihasilkan, PLTMH Kamanggih kini mampu menyediakan listrik bagi sekitar 350 rumah dan beberapa fasilitas umum, termasuk puskesmas, kantor polisi, dan sekolah.
Contoh lain adalah pemanfaatan energi surya di Desa Salura, Kabupaten Sumba Timur, yang merupakan daerah terpencil di selatan Pulau Sumba. PLTS yang berkapasitas 350 KW ini telah memberikan listrik bagi 106 rumah tangga dan manfaatnya juga telah dirasakan oleh masyarakat, mencakup akses listrik untuk menyalakan mesin cuci, televisi, dan memudahkan anak-anak belajar di sekolah.
Selain itu, di Desa Mata Redi dan Mata Woga, Kecamatan Katiku Kana, Kabupaten Sumba Tengah, terdapat PLTS terpusat dengan daya 95 kWp, yang telah mengalirkan listrik ke 243 rumah dan 13 fasilitas sosial.
Lokasi |
Jenis Pembangkit Energi Terbarukan |
Kapasitas Pembangkit |
|
Pulau Sumba |
Desa Kamanggih, Kecamatan Kahaungu Eti, Kabupaten Sumba Timur |
PLTMH |
37 KW |
Desa Salura, Kabupaten Sumba Timur |
PLTS |
350 KW |
|
Desa Mata Redi dan Mata Woga, Kecamatan Katiku Kana, Kabupaten Sumba Tengah |
PLTS terpusat |
95 kWp |
Pulau Flores
Sementara itu, di Pulau Flores, total listrik yang diproduksi mencapai 275,86 MW dengan EBT menyumbang sebesar 53,44 MW (19,38%).
Realisasi pemanfaatan energi terbarukan di Pulau Flores tercermin dari PLTMH Ogi di Kelurahan Faobata, Kecamatan Bajawa, Kabupaten Ngada, yang menghasilkan daya mencapai 100 KW dan telah memberikan manfaat bagi masyarakat, terutama petani karena adanya saluran irigasi yang dibangun sehingga membantu aktivitas pertanian mereka.
Pemanfaatan PLTMH sebagai sumber listrik juga terjadi di Kabupaten Manggarai Timur, melalui pembangunan PLTMH Wae Rina, PLTMH Wae Mese Wangkar, PLTMH Wae Laban Elar,dan PLTMH Wae Lenger yang tersebar di beberapa desa. Total kapasitas empat pembangkit tersebut mencapai 260 KW dan telah memberikan listrik bagi ratusan rumah dan beberapa fasilitas umum, seperti puskesmas, pasar, gereja, musala, rumah adat, sekolah, serta kantor pemerintahan.
Jenis energi terbarukan lainnya adalah pemanfaatan panas bumi sebagai sumber listrik di Kabupaten Manggarai. Melalui Pembangkit Listrik Panas Bumi (PLTP) Ulumbu unit 1-4, separuh kebutuhan listrik di kabupaten ini berasal dari panas bumi, yaitu 6,5 MW (50%) dari total 13,06 MW. Selanjutnya, di Kabupaten Manggarai Barat terdapat PLTS berkapasitas 530 kilowatt peak (kWp), yang telah memberikan akses listrik bagi sekitar 2.000 warga sejak 2019. Adanya pembangkit ini, masyarakat dapat menikmati listrik sepanjang hari dengan harga terjangkau. Berkaitan dengan upaya mitigasi perubahan iklim, PLTS ini diklaim mampu mengurangi emisi sebesar 485 ton CO2 per tahun.
Lokasi |
Jenis Pembangkit Energi Terbarukan |
Kapasitas Pembangkit |
|
Pulau Flores |
Kelurahan Faobata, Kecamatan Bajawa, Kabupaten Ngada |
PLTMH |
100 KW |
Kabupaten Manggarai Timur |
PLTMH |
260 KW |
|
Kabupaten Manggarai |
PLTP |
6,5 MW |
|
Kabupaten Manggarai Barat |
PLTS |
530 kWp |
Pulau Timor
Kemudian, Pulau Timor memproduksi listrik sebesar 447 MW dengan EBT hanya menyumbang 4,89 MW (1,10%) dan sebagian besar berasal dari PLTS.
Misalnya, PLTS Kupang di Desa Oelpuah, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang telah berkontribusi sekitar 4% dari total kebutuhan listrik di Pulau Timor. PLTS terbesar di Provinsi NTT ini terdiri dari 22.008 modul surya dengan kapasitas per modul sebesar 230 Wp.
Contoh lain, Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm) Bolok di Desa Kuanheum, Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang, memiliki kapasitas 33 MW yang telah mengaliri listrik di sepanjang Pulau Timor, mulai dari Kota Kupang hingga Kabupaten Belu.
Lokasi |
Jenis Pembangkit Energi Terbarukan |
Kapasitas Pembangkit |
|
Pulau Timor |
Desa Oelpuah, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang |
PLTS |
22.008 modul surya dengan kapasitas 230 Wp per modulnya |
Desa Kuanheum, Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang |
PLTBm |
33 MW |
Pulau Lainnya
Selanjutnya, contoh pemanfaatan energi terbarukan di Pulau Sabu, terlihat dari pembangunan PLTS di Desa Loborui, Kecamatan Sabu Liae, Kabupaten Sabu Raijua, menggunakan solar panel berkapasitas 50 Wp. Dengan kehadiran PLTS, masyarakat Desa Loburui kini dapat menikmati listrik, termasuk lampu rumah tangga yang dapat menyala sepanjang hari.
Sementara, di Pulau Rote, jenis energi terbarukan yang dimanfaatkan bersumber dari surya sebesar 22 KW dan angin sebesar 90 KW. Merujuk sumber lain yaitu Dinas Pertambangan dan Energi NTT, di pulau ini juga terdapat satu unit PLTS terpusat di Kabupaten Rote Ndao. Di Pulau Alor juga terdapat PLTS terpusat sebanyak 14 unit.
Hasil diskusi antara Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID) dan Yayasan Pikul mengungkapkan bahwa setidaknya dua faktor yang menjadi tantangan pemanfaatan energi terbarukan di Provinsi NTT, yaitu kondisi geografis dan pembiayaan.
Sesuai dengan karakteristik wilayahnya, Provinsi NTT merupakan daerah pesisir dan kepulauan yang terdiri dari 1.192 pulau, termasuk pulau-pulau kecil yang relatif sulit dijangkau dan diperlukan biaya yang tidak sedikit untuk mencapai wilayah itu. Transportasi antarpulau memerlukan kapal atau pesawat dengan biaya dan logistik khusus. Akibatnya, distribusi peralatan energi terbarukan menjadi sulit dan mahal. Oleh karena itu, pemerintah daerah masih kesulitan menyediakan listrik di pulau-pulau kecil yang berpenghuni, seperti Pulau Kera.
Tantangan lainnya adalah saat ini ketersediaan sumber pembiayaan pengembangan EBT di Provinsi NTT masih terbatas dan bergantung pada alokasi dana pemerintah. Situasi ini memengaruhi perkembangan pembangunan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan yang berada di luar jaringan PLN (off-grid).
Rencana Percepatan Transisi Energi
Meskipun memiliki sejumlah tantangan, pemerintah telah menyusun rencana percepatan pemanfaatan energi terbarukan di Provinsi NTT. Misalnya, di sektor ketenagalistrikan, terdapat Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) Tahun 2021–2030, yang mengatur rencana pengembangan sistem tenaga listrik di seluruh provinsi Indonesia, termasuk Provinsi NTT.
Dalam RUPTL 2021–2030 disebutkan bahwa sampai dengan tahun 2030, kebutuhan tenaga listrik Provinsi NTT direncanakan dipenuhi dengan mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP), Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), Pembangkit Listrik Tenaga Mini/Mikro Hidro (PLTM), dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), yang tersebar di beberapa lokasi.
Pemerintah juga mencanangkan program Sumba Iconic Island (SII), yaitu program yang diinisiasi untuk meningkatkan akses energi melalui pengembangan dan pemanfaatan EBT. Melalui pelaksanaan program ini, pada 2018, rasio elektrifikasi di Pulau Sumba meningkat menjadi 50,9% dengan energi terbarukan berkontribusi sebanyak 20,9%. Secara rinci, pada 2011, pembangkit energi terbarukan di pulau ini hanya 0,1 MW, lalu meningkat menjadi 9,8 MW pada 2018.
Sumber energi panas bumi sebesar 629 MW yang tersebar di 24 lokasi juga berpotensi menjadi sumber energi yang lebih berkelanjutan untuk sistem ketenagalistrikan di Provinsi NTT.
Energi biomassa dan gelombang laut di Pulau Sumba serta energi arus laut di Pulau Adonara, memiliki potensi berkisar 10–50 MW, juga dapat meningkatkan porsi energi terbarukan dalam sistem ketenagalistrikan di Provinsi NTT.
Peningkatan pemanfaatan energi terbarukan di Provinsi NTT berpotensi untuk mengurangi emisi GRK dari sektor energi. Upaya ini merupakan upaya mitigasi untuk mengatasi perubahan iklim sehingga dampaknya menjadi lebih terkendali. Agar upaya ini berhasil, diperlukan komitmen kuat dari pemerintah dalam mewujudkan target dan rencana yang telah diatur dalam kebijakan iklim saat ini.
Peran Koaksi Indonesia
Koaksi Indonesia sebagai salah satu organisasi masyarakat sipil (OMS) yang fokus mendukung akselerasi transisi energi berkeadilan, ikut berperan aktif mendorong peningkatan pemanfaatan energi terbarukan di Provinsi NTT.
Salah satunya melalui pembuatan studi terkait dampak perubahan iklim di Indonesia, yang mengidentifikasi risiko dan kerugian ekonomi serta sosial yang diakibatkan oleh perubahan iklim. Sebagai solusi untuk mengatasi dampak tersebut, riset ini merekomendasikan transisi dari sistem energi berbasis bahan bakar fosil menuju energi terbarukan.
Saat ini, Koaksi Indonesia juga menjalankan riset terkait dampak perubahan iklim, dengan lingkup studi di Provinsi NTT, sebagai wilayah pesisir dan kepulauan. Melalui riset ini, Koaksi Indonesia berperan menyediakan data dan rekomendasi berupa usulan kebijakan dan inisiatif lokal dalam menghadapi perubahan iklim, khususnya dalam pengembangan sumber energi terbarukan.
Baca juga: Pesta Raya Flobamoratas Kembali Digelar: Membawa Semangat Inklusif dan Isu Perubahan Iklim