Diskusi publik yang diselenggarakan hasil kolaborasi Suara Mahasiswa Universitas Indonesia (Suma UI), Klinik Jurnalistik, dan Yayasan Indonesia Cerah menghadirkan Koaksi Indonesia sebagai salah satu narasumber.
KOAKSI INDONESIA — Pemimpin Redaksi Suma UI, Dian Amalia, membuka diskusi dengan menjabarkan hasil survei yang dilakukan Suma UI dengan Yayasan Indonesia Cerah mengenai persepsi mahasiswa terhadap peluang dan tantangan green jobs.
Baca juga: Koaksi Indonesia: Penyedia Kerja Perlu Melek Green Jobs dari Sekarang!
“Hasilnya, 715 responden percaya green jobs memberikan peluang karier yang menarik bagi anak muda dan 98% responden percaya bahwa green jobs dapat memberikan dampak positif pada lingkungan dan masyarakat,” ujar Dian.
Pada sesi selanjutnya, Manajer Kebijakan dan Advokasi Koaksi Indonesia, Azis Kurniawan, menyebut bahwa isu green jobs mendorong pemulihan lingkungan berdasarkan publikasi The International Renewable Energy Agency (IRENA) terkait transisi energi sesuai dengan target Perjanjian Paris.
“Adanya pembatasan suhu 1,5°C akan menciptakan sekitar 2 juta green jobs pada tahun 2030 dan 2,5 juta green jobs pada tahun 2050 di sektor energi. Kemudian, ILO pada 2013 memaparkan terdapat 3.985.866 green jobs di Indonesia, dengan pertanian menjadi sektor yang menciptakan green jobs paling banyak, yaitu 2.434.667 (61%). Data diperkuat lagi dengan publikasi Bappenas (2021) yang menyatakan bahwa ekonomi hijau akan menghasilkan tambahan 1,8 juta green jobs pada tahun 2045,” ujar Azis.
Selanjutnya Azis menjelaskan bahwa banyak publikasi memproyeksikan angka pertumbuhan ketenagakerjaan di sektor yang berkaitan dengan perbaikan dan pemulihan lingkungan sangat tinggi.
Menurutnya, ada potensi penambahan lapangan kerja yang tidak hanya berkontribusi untuk lingkungan, namun juga pada pekerjanya.
“Dari publikasi Koaksi Indonesia pada 2021 tentang green jobs dan potensinya pada sektor transisi energi di Indonesia, kita menghitung dari skenario penambahan kapasitas dan korelasinya terhadap jumlah kebutuhan tenaga teknik. Hanya untuk tenaga teknik, pada 2050 akan ada tambahan sekitar 1,12 juta tenaga teknik, kalau di 2040 ada sekitar 1,1 juta. Kemudian di tahun 2030 kita punya penambahan 432 ribu tenaga teknik, dari peningkatan kapasitas total sekitar 70 megawatt pembangkit energi terbarukan. Data ini kami ambil dari RUEN dan RUTPL,” jelasnya.
Azis juga mengungkapkan perbedaan antara energi fosil dan energi terbarukan. Jika membandingkan dengan kapasitas dan investasi yang sama menurut Azis energi terbarukan akan menciptakan 8–10 kali lipat lebih banyak tenaga kerja dibandingkan dengan energi fosil.
“Ini yang membuat energi terbarukan atau transisi energi sangat relevan kalau dikaitkan dengan green jobs karena memang kebutuhan tenaga kerja di sektor transisi energi jauh lebih banyak daripada sektor energi fosil,“ ungkap Azis.
Baca juga: Koaksi Indonesia Bervakansi bersama Kawula Muda untuk Mendukung Green Jobs
Sejalan dengan pemaparan yang disampaikan Azis, pada sesi selanjutnya Dallih Warviyan, Senior Project Development Manager Akuo Energy, mengatakan bahwa berdasarkan Global Green Skills Report LinkedIn 2022, green skills itu adalah skills yang membantu kita bisa berkontribusi terhadap isu lingkungan dan green jobs adalah pekerjaan dan aktivitas-aktivitas yang membutuhkan green skills.
“Dua hal menarik dari LinkedIn report ini adalah pertama, dalam durasi 5 tahun (2016–2021) peningkatan green jobs naik 8% dan terjadi setahun setelah COP 21, tetapi tidak dibarengi dengan green skills yang hanya naik 6%, ini jadi salah satu tantangan bagi kita untuk mengisi posisi-posisi yang dibutuhkan industri,” ujar Dallih.
Selanjutnya yang kedua menurut Dallih pada saat pandemi ternyata green jobs tidak menurun, lebih tahan banting dibandingkan pekerjaan konvensional. Dua hal menarik inilah yang membuat green jobs punya prospek dan prestise.
“Berikutnya fastest growing green jobs masih berdasarkan LinkedIn, yang jadi tiga terbesar adalah sustainability manager, posisi ini dibutuhkan ketika perusahaan-perusahaan diminta pemerintah untuk mengurangi emisinya, lalu wind turbine engineer, dan solar energy specialist. Selanjutnya green skills, yang timbul dari industri-industri konvensional. Contohnya, fashion, fashion kan sebelum ada COP, sebelum ada Paris Agreement, bisnis ini sudah ada. Hanya ketika ada Paris Agreement timbul kebutuhan untuk menggeser industri fashion ini menjadi lebih sustainable dalam kaitannya untuk mengurangi polusi, limbah, atau sampah,” ujar Dallih.
Dallih menambahkan, jadi sebenarnya green jobs ini tidak cuma muncul dari industri baru. Dari industri konvensional pun sebenarnya bermunculan kebutuhan akan green jobs.
“Yang perlu ditekankan adalah tidak perlu takut karena industri-industri konvensional pun akan membutuhkan green jobs,” tutup Dallih.
Acara diskusi publik ditutup oleh pemaparan Maliki, ST, MSIE, Ph.D selaku Deputi Bidang Kependudukan dan Ketenagakerjaan Bappenas RI, mewakili pihak pemerintah.
Maliki menajamkan bahwa green jobs bukan lagi sebagai pilihan karena ke depan semua harus green jobs.
“Kalau kita mau memasuki emisi karbon 0% apalagi sekarang kita harusnya bukan di 2060 lagi, sudah harus di 2045. Tidak mungkin lagi kita lepas dari green jobs,” ujar Maliki.
Kemudian, Maliki menyebut satu-satunya tantangan dari green jobs adalah keterampilan dan pengetahuan kita, sehingga yang kita lakukan akan lebih sustainable.
“Tadi ada kekhawatiran bahwa uang di green jobs itu tidak terlalu menjanjikan, untuk sekarang ini memang menjanjikan, tapi untuk 10–15 tahun ke depan karena memang semua nanti green, akan lebih kompetitif,” tutup Maliki.
Baca juga: Green Jobs: Youth Leaders Program 2023 Tingkatkan Kapasitas Anak Muda dalam Green Economy Recovery