Mudah dan praktis menjadi alasan plastik digunakan berbagai kalangan. Namun, di balik itu, pengelolaan sampah plastik tidak semudah ketika kita menggunakannya.
KOAKSI INDONESIA—Kehidupan manusia kini seakan tidak bisa lepas dari plastik. Kita menggunakan plastik sebagai wadah makanan dan minuman, belanja daring menggunakan bubble wrap berlapis, menggosok gigi dengan sikat berbahan plastik, hingga menggunakan perangkat elektronik dari plastik.
Indonesia pun menghadapi masalah sampah plastik. Produksi plastik untuk alat keperluan rumah tangga tumbuh sangat cepat di negara ini. Pertumbuhan yang cepat ini mengakibatkan plastik menjadi jenis sampah nomor dua paling banyak yang dihasilkan di Indonesia pada tahun 2023, yaitu sebesar 19,3% berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN).
Belum lagi hasil studi para peneliti Cornell University yang menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia diperkirakan mengonsumsi mikroplastik dari makanan yang tercemar sekitar 15 gram per kapita per bulan atau setara dengan tiga kartu kredit.
Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Apa yang salah dari pengelolaan sampah plastik?
Penemuan Plastik Pertama
Mulanya, plastik ditemukan untuk melindungi alam dari kebutuhan industri yang masif. Misalnya, penggunaan tanduk binatang untuk medali dan peralatan makan hingga sebagai bahan baku dalam industri pembuatan sisir pada abad ke-19.
Pada tahun 1869, John Wesley Hyatt berhasil menemukan polimer sintetis karena terinspirasi dari penawaran sebuah perusahaan New York yang ingin mencari pengganti gading dalam industri biliar dengan mengolah selulosa yang berasal dari serat kapas dengan kamper.
Permainan biliar yang sangat populer pada masa itu meningkatkan permintaan gading untuk bahan baku bola biliar. Akibatnya, perburuan gajah pun meningkat.
Baca Juga: (Akhirnya) Jakarta Melarang Kantong Plastik Sekali Pakai!
Penemuan John menjadi awal pembuktian bahwa plastik dapat menyelamatkan hewan dari kepunahan dan keterbatasan material. Selain itu, kendala ekonomi dan sosial yang disebabkan oleh kelangkaan sumber daya alam di masyarakat terselesaikan dengan adanya penciptaan plastik.
Tidak sampai di situ, Leo Baekeland di tahun 1907 menciptakan plastik sintetis tanpa tambahan kandungan molekul alam. Penemuan ini menjadi terobosan baru bagi industri karena sifatnya yang bisa dibentuk atau dicetak menjadi apa pun.
Kesuksesan keduanya dalam menciptakan plastik membawa perusahaan-perusahaan kimia untuk berinvestasi pada penelitian dan pengembangan polimer baru.
Awal Mula Petaka Plastik
Sejak saat itu, plastik mulai digunakan untuk berbagai kebutuhan. Tepatnya setelah masa perang berakhir, plastik digunakan untuk menggantikan material kertas, kaca, dan logam yang lebih mahal dalam barang-barang sekali pakai, seperti kemasan konsumen.
Kejayaan plastik yang tanpa cela tidak bertahan lama. Limbah plastik mulai membuat resah masyarakat. Pada tahun 1960-an, peneliti pertama kali menemukan cemaran plastik di laut ketika melakukan penelitian terhadap plankton. Cemaran plastik di laut juga menjadi kekhawatiran sejak terbentuknya sampah laut akibat akumulasi plastik yang tidak terurai.
Sebenarnya, pengolahan plastik sudah dilakukan oleh banyak startup jasa pengelolaan dan daur ulang limbah. Namun, pengelolaan sampah yang belum sempurna membuat beberapa plastik tidak terdaur ulang. Apalagi, informasi mengenai pengolahan plastik belum banyak diketahui masyarakat sehingga plastik tidak terpakai berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA).
Sampah plastik yang tidak terdaur ulang dan terbuang ke lingkungan akan terurai oleh paparan faktor lingkungan, seperti radiasi matahari dan gelombang laut. Akibatnya, pecahan-pecahan plastik ini menjadi mikroplastik dan membahayakan kehidupan hewan dan manusia.
Namun, bukannya plastik bisa didaur ulang?
Memang sebagian besar sampah plastik dapat didaur ulang menjadi produk baru. Namun, komposisi pembentuk plastik yang berbeda-beda menyulitkan proses daur ulang sehingga hanya sepersepuluh dari plastik dapat didaur ulang. Bahkan, plastik dengan jenis yang sama memiliki campuran bahan tambahan yang berbeda sehingga hasil daur ulang tidak optimal.
Plastik sekali pakai bahkan menyulitkan proses daur ulang karena karakteristiknya yang ditujukan untuk langsung dibuang. Sebagian besar plastik sekali pakai sulit didaur ulang karena sering kali terbuat dari polimer dengan kepadatan rendah, sehingga mudah lengket dan titik lelehnya rendah.
Juru kampanye plastik Greenpeace Amerika Serikat menyebut bahwa makin banyak plastik yang diproduksi makin sedikit yang dapat didaur ulang. Apalagi plastik yang mengalami daur ulang terus-menerus akan mengandung racun.
Karena proses daur ulang yang begitu sulit, biaya proses yang mahal, serta hasil daur ulang yang tidak dapat menghasilkan banyak produk, produsen lebih memilih memproduksi plastik baru.
Lalu, Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Konsumen memiliki peran besar untuk mengurangi sampah plastik dan pengelolaan plastik. Hanya saja, edukasi tentang sampah plastik belum banyak dilakukan kepada konsumen. Edukasi tentang pengelolaan sampah telah dicontohkan oleh Kota Minim Sampah melalui kartu #rumahminimsampahbisa. Melalui metode gamifikasi, kartu ini mengenalkan pendekatan strategi tiga pintu, yaitu melihat persoalan sampah dari tiga peristiwa: prakonsumsi, saat konsumsi, dan pascakonsumsi.
Sebagai konsumen, kita diajak untuk menyadari bahwa kehadiran sampah dapat diminimalisasi sejak awal konsumsi dengan menghindari plastik yang tidak dapat didaur ulang (terlihat dari kode daur ulang berbentuk segitiga dengan kode angka) dan produk dengan kemasan plastik berlebihan. Kegiatan ini telah diuji coba oleh Kota Minim Sampah di beberapa RW dan komunitas di wilayah Jakarta dan Tangerang Selatan serta berhasil mengurangi sampah rumah tangga sebesar 98%.
Contoh komunitas yang berhasil mengelola sampah plastik adalah Bank Sampah Gunung Emas. Bank sampah yang berdiri pada 2014 ini telah menghasilkan berbagai kreasi hasil olahan sampah plastik. Selain membantu meningkatkan ekonomi masyarakat, bank sampah ini telah berhasil mereduksi berton-ton sampah plastik.
Baca Juga: Sustainable Beauty: Tampil Cantik sembari Melestarikan Bumi
Selain upaya pencegahan sampah plastik melalui edukasi, konsumen dapat mengumpulkan sampah plastik pada dropbox yang disediakan oleh jasa pengolahan sampah, seperti Rekosistem dan Waste4Change. Kedua perusahaan ini menyediakan program kerja sama untuk wilayah yang belum memiliki dropbox.
Tentunya, pengelolaan dan pengendalian sampah plastik tidak hanya dilakukan oleh konsumen. Peran produsen dan pemerintah diperlukan untuk membuat ekosistem dalam penanganan sampah plastik.
Sebagai pihak yang memproduksi plastik atau produk dengan kemasan plastik, produsen dapat bertanggung jawab dengan mengumpulkan kembali kemasan pascakonsumsi atau mengubah kemasan produk menjadi lebih ramah lingkungan.
Unilever, misalnya, menggagas teknologi Creasolv bersama Fraunhofer Institute di Jerman untuk mendaur ulang sampah kemasan plastik (pouch dan sachet) menjadi bahan baku kemasan plastik baru.
Upaya mendesain ulang kemasan produk telah dipraktikkan oleh Coca-Cola Europacific Partners (CCEP) Indonesia dengan menggunakan botol plastik daur ulang untuk produknya.
Tidak hanya itu, Ajinomoto juga berpartisipasi dalam pengurangan penggunaan plastik dengan mengurangi penggunaan plastik pada bagian dalam kemasan. Selain itu, perusahaan ini telah mengeluarkan produk dengan kemasan kertas yang dapat membantu pengurangan material plastik hingga 30%.
Setelah kedua sisi berperan aktif untuk mengurangi plastik, pemerintah dapat melengkapi sistem penanganan plastik melalui regulasi dan fasilitas pengolahan plastik. Sebuah studi tinjauan terhadap kebijakan pemerintah dalam memerangi polusi plastik yang telah diadopsi sejak tahun 2016 di dunia. Studi tersebut menunjukkan bahwa pemerintah dapat membuat kebijakan berdasarkan siklus hidup plastik melalui tiga fase utama: (1) produksi, (2) penggunaan, dan (3) pengumpulan.
Kampanye Praktik Baik Pengelolaan Plastik
Peran organisasi masyarakat sipil juga tak kalah penting dalam mengampanyekan penggunaan plastik dan pengelolaan sampah plastik. Dalam mendukung pembangunan berkelanjutan, Koaksi Indonesia mendokumentasikan dan memublikasikan praktik baik masyarakat dalam melestarikan lingkungan melalui film pendek “Climate Witness”.
Dalam film “Climate Witness” kedua yang dapat disaksikan di akun Youtube Coaction Indonesia ini, Koaksi Indonesia sebagai produser menampilkan salah satu tokoh muda Larantuka, Nusa Tenggara Timur bernama Klemens Heka Hayon, yang telah berjuang membersihkan sampah plastik di laut dan daratan dengan menggerakkan masyarakat di lingkungannya melalui pembentukan berbagai komunitas serta bank sampah.
Plastik memang tidak bisa lepas dari kehidupan kita. Namun, kita semua memiliki tanggung jawab untuk mengelolanya dengan baik agar tidak bocor ke lingkungan dan merugikan makhluk hidup.