Perubahan iklim yang nyata dirasakan masyarakat di Nusa Tenggara Timur tidak menjadikan mereka diam. Mereka beraksi untuk menyelamatkan lingkungan.
KOAKSI INDONESIA–Sebagai organisasi yang memiliki visi menjadi “lembaga terdepan yang mendorong energi bersih dan berkelanjutan melalui aksi yang menjamin masa depan hijau untuk kesejahteraan bersama” tentunya tidak luput dari isu perubahan iklim demi keberlanjutan bumi dan ekosistem di dalamnya. Salah satu programnya yang sedang berjalan adalah Koaksi Indonesia menjadi bagian dari aliansi global Voices for Just Climate Action (VCA) atau Suara untuk Aksi Iklim yang Berkeadilan.
Wilayah yang menjadi fokus utama VCA Indonesia adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Provinsi tersebut memiliki wilayah yang terdiri dari pulau-pulau kecil yang merepresentasikan Indonesia sebagai negara kepulauan, sehingga contoh nyata yang diambil dari NTT dapat dieskalasikan ke tingkat nasional. Selain itu, sebagai provinsi yang terdiri dari pulau-pulau kecil, NTT merupakan salah satu provinsi dengan tingkat kerentanan yang tinggi terhadap perubahan iklim.
Menurut data Bappenas, potensi nilai ekonomi yang hilang dari tahun 2020–2024 diproyeksikan hingga mencapai Rp81,53 triliun dari sektor pesisir dan kelautan yang menjadikan sektor ini paling terdampak akibat perubahan iklim.
Baca juga: Pajak Karbon Sebagai Alat Kebijakan untuk Mengatasi Perubahan Iklim: Implikasi dan Implementasi
Perubahan iklim di provinsi ini ditandai oleh anomali suhu dan curah hujan dalam beberapa dekade terakhir yang mengakibatkan meningkatnya intensitas bencana, kegagalan panen, dan kondisi iklim ekstrem.
Melansir hasil kajian Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang dipublikasikan pada tahun 2015, di Provinsi Nusa Tenggara Timur telah terjadi perubahan suhu dari tahun 1981 hingga tahun 2010. Jika diproyeksikan hingga tahun 2100 akan terjadi peningkatan suhu 2–3 derajat celsius.
Selain perubahan suhu, terdapat pula anomali curah hujan dalam beberapa dekade terakhir di NTT. Anomali ini merupakan dampak dari fenomena El Nino yang mengakibatkan musim kering terjadi lebih lama dari biasanya.
Menurut Kepala Stasiun Klimatologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Kupang Rahmatullaj Adji yang dikutip dari artikel Kompas mengatakan, ancaman El Nino ini sudah diprediksi dan disampaikan pihak BMKG sejak awal musim hujan 2022/2023. Bahwa fenomena El Nino bakal muncul di NTT pada musim hujan 2023/2024 dan sudah terbukti saat ini.
Dua Sektor Paling Terdampak
Penyebab utama perubahan iklim pada sektor pertanian adalah kekeringan atau curah hujan yang tidak menentu sehingga terjadi gagal tanam dan gagal panen. Selain itu, komoditas hibrida yang bukan merupakan benih lokal tidak tahan dengan kondisi ekstrem yang terjadi.
Seperti yang diceritakan oleh Ambrosia Ero, seorang petani dari Kabupaten Lembata, kepada Tempo bahwa dampak perubahan iklim menjadikan produktivitas tanaman pangan menurun sehingga memengaruhi ekonomi desa. Untuk mengatasinya, diperlukan benih lokal yang lebih tahan pada kondisi sekitar.
Baca juga: Menarik Narasi Green Jobs dari Perspektif Swasta: dari Cleantech hingga Pemberdayaan Inklusivitas
Sektor kelautan juga menjadi sektor yang sangat terdampak perubahan iklim. Contohnya, setelah peristiwa Badai Seroja pada tahun 2021, pendapatan nelayan sekitar Kota Kupang jauh berkurang akibat dari ekosistem laut yang terdampak badai.
Bedasarkan artikel yang ditulis oleh Mongabay, badai ini mengakibatkan rusaknya terumbu karang yang merupakan sistem kehidupan yang majemuk dan khas daerah tropis yang memiliki produktivitas dan keanekaragaman yang tinggi. Tentunya akan berdampak pada penghasilan nelayan yang bergantung pada hasil tangkapan laut. Hal ini dinyatakan oleh Ibu Mariam Badaruddin, seorang wanita nelayan Kota Kupang, yang menceritakan kepada Mongabay bahwa pendapatannya berkurang setelah Badai Seroja.
Apresiasi untuk Aksi Perubahan Iklim
Dampak perubahan iklim di berbagai sektor yang sudah dirasakan oleh masyarakat NTT tentu membutuhkan penangangan lebih serius. Dengan demikian, masyarakat di sana dapat beradaptasi serta memitigasi perubahan iklim.
Aksi ini datang dari berbagai kalangan, yaitu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti Koaksi Indonesia, masyarakat, dan pemerintah. Saat ini, Koaksi Indonesia bersama 17 LSM lainnya baik pada tingkat nasional maupun provinsi sedang menjalankan program Voices for Just Climate Action (VCA) untuk mendokumentasikan aksi iklim yang telah dilakukan oleh masyarakat NTT.
Pendokumentasian praktik cerdas ini dilakukan untuk mengangkat isu perubahan iklim ke masyarakat yang lebih luas sekaligus sebagai bentuk apresiasi kepada para aktor yang sudah melakukan aksi penyelamatan lingkungan atas inisiatif mereka sendiri.
Program VCA di NTT baru berjalan di akhir tahun 2021, namun sebelum program ini berjalan beberapa aksi iklim sudah dilakukan oleh masyarakat NTT. Aksi iklim inilah yang didokumentasikan. Adapun beberapa praktik cerdas yang sudah didokumentasikan oleh Koaksi Indonesia bersama program VCA dapat disaksikan melalui film dokumenter “Climate Witness”.
Selain pendokumentasian sebagai bentuk penguatan narasi, tujuan lain dari program VCA ini adalah peningkatan kapasitas masyarakat lokal dan advokasi kebijakan yang berbasis pada kearifan lokal.
Salah satu cerita baik yang datang dari program VCA adalah proses advokasi Peraturan Desa tentang konservasi mangrove di Desa Tanah Merah, Kabupaten Kupang.
Jauh sebelum program VCA dimulai, Joni Messakh, salah seorang tokoh masyarakat Desa Tanah Merah, telah melakukan konservasi pesisir di desa tersebut. Sayangnya, aksi iklim ini belum terdokumentasi dengan baik dan masyarakat di sana belum menjaga hasil penanaman mangrove yang telah dilakukan oleh Joni Messakh.
Program VCA diadakan untuk melakukan pendokumentasian praktik tersebut sekaligus mendampingi masyarakat di sana untuk bersama-sama menjaga mangrove sebagai bentuk upaya dari adaptasi perubahan iklim.
Hasil pendampingan yang dilakukan oleh Yayasan Pikul yang merupakan mitra koalisi dari Yayasan Koaksi Indonesia adalah terbentuknya Peraturan Desa tentang konservasi mangrove di wilayah tersebut.
Program VCA di NTT yang telah dimulai sejak akhir 2021 itu terus berlangsung secara berkelanjutan sampai saat ini. Ditandai dengan akan diluncurkannya film “Climate Witness” seri terbaru yang menceritakan aksi iklim lainnya yang telah dilakukan oleh masyarakat dari berbagai pulau di NTT di antaranya dari Pulau Timor, Flores, dan Rote.***