Sebagai sesama makhluk hidup di bumi, manusia dan hewan berhak atas kehidupan yang layak. Namun, perubahan iklim menguji hak atas kehidupan layak kedua makhluk hidup ini.
KOAKSI INDONESIA—Selain manusia, binatang merupakan makhluk hidup yang kehidupannya wajib mendapatkan perlakuan layak dan dihormati hak-haknya. Oleh karena itu, sebagai respons terhadap kekhawatiran akan kekejaman dan penyalahgunaan yang sering dialami oleh hewan, pada 15 Oktober 1978 ditetapkan Peringatan Hari Hak Asasi Hewan Internasional.
Hak Asasi Hewan Internasional yang diumumkan oleh UNESCO menandai tonggak penting gerakan advokasi perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak hewan secara global. Melalui peringatan ini, diharapkan masyarakat dapat lebih memahami bahwa hewan memiliki hak untuk hidup dalam lingkungan yang sesuai, mendapatkan makanan dan perawatan yang akurat, serta bebas dari kekerasan dan penderitaan.
Manusia memiliki kewajiban moral untuk menghindarkan hewan dari penderitaan, sama seperti kewajibannya untuk menghindari penyebab penderitaan pada manusia lain. Oleh karena itu, peringatan hak asasi hewan mendorong individu dan organisasi untuk mengambil tindakan nyata dalam melindungi dan meningkatkan kesejahteraan hewan, seperti menjadi sukarelawan di tempat penampungan, melakukan donasi untuk organisasi kesejahteraan hewan, dan menyebarkan informasi tentang pentingnya hak-hak hewan.
Dampak Perubahan Iklim Terhadap Keseimbangan Ekosistem Darat
Awal Oktober 2024, muncul perbincangan yang ramai terkait isu penurunan kemampuan pohon dalam menyerap karbon. Dilansir dari artikel di The Guardian, ekosistem global sedang mengalami masalah kritis. Semasa tahun 2023, penyerapan karbon oleh daratan mengalami penurunan drastis, dengan hutan dan tanah hampir tidak menyerap karbon.
Di Eropa, negara-negara seperti Prancis, Jerman, Republik Ceko, dan Swedia mengalami penurunan signifikan dalam penyerapan karbon oleh daratan yang disebabkan oleh serangan kumbang penggerek, kekeringan, dan peningkatan kematian pohon. Di Finlandia, yang memiliki target netralitas karbon paling ambisius, penyimpanan karbonnya menghilang. Meskipun telah mampu mengurangi emisi sebesar 43% di semua industri, total emisi di negara itu tetap tidak berubah.
Pusat penyimpan karbon yang sebelumnya berfungsi dengan baik, seperti hutan telah mengalami penurunan kemampuannya untuk penyerapan karbon hingga lebih dari sepertiga. Jika tren ini terus berlanjut, dampaknya akan sangat besar, seperti meningkatkan jumlah karbon di atmosfer dan berkontribusi terhadap pemanasan global yang lebih cepat daripada yang diprediksi. Dengan hilangnya fungsi pemulihan dari hutan dan ekosistem darat lainnya, tentu makin sulit untuk mencapai target net zero emission (NZE).
Baca Juga: Pasar Karbon untuk Ekonomi Indonesia yang Rendah Emisi
Perubahan iklim merupakan salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh bumi. Dampaknya pun sangat jelas terlihat pada kelayakan hidup berbagai makhluk, baik hewan maupun manusia. Salah satu aspek yang paling mengkhawatirkan adalah meningkatnya ancaman terhadap kesehatan dan habitat satwa liar.
Di ekosistem darat, pembukaan lahan yang masif untuk perkebunan atau pembangunan menyebabkan hilangnya habitat alami hewan liar seperti orang utan dan gajah. Pembukaan lahan ini tidak hanya merampas ruang hidup mereka, tetapi juga meningkatkan konflik antara manusia dan satwa liar.
Sementara itu, beberapa orang malah menangkap hewan-hewan ini untuk dipelihara di rumah, jauh dari habitat alaminya, yang mengancam keberlangsungan hidup dan kesejahteraan mereka. Semua tindakan ini menunjukkan dampak buruk sikap manusia terhadap alam dan sesama makhluk hidup.
Bagaimana dengan Ekosistem Laut?
Perilaku buruk manusia lainnya adalah kurangnya pengelolaan sampah. Sampah terutama plastik menjadi ancaman serius bagi penyu laut karena mereka secara keliru menganggap plastik sebagai ubur-ubur, makanannya. Penelitian menunjukkan bahwa kantong plastik yang mengapung di laut tidak hanya menyerupai penampilan ubur-ubur, tetapi juga mengeluarkan aroma yang mirip, sehingga menarik perhatian penyu.
Ketika plastik terlepas ke laut, mikroba, alga, dan hewan kecil mulai mengkoloninya, menciptakan aroma yang menyerupai makanan, yang pada gilirannya menarik penyu untuk mendekati dan berpotensi mengonsumsinya. Penyu, sebagai predator laut, menggunakan indra penciuman mereka untuk mencari makanan di area yang luas. Aroma dari plastik yang terdegradasi ini dapat menarik mereka dari jarak jauh.
Sikap manusia yang mempercepat perubahan iklim tampak jelas dalam berbagai tindakan yang merusak lingkungan. Di lautan, sampah plastik yang dibuang sembarangan sering dimakan oleh penyu, mengancam nyawa hewan ini. Selain itu, pembuangan minyak ke laut mencemari habitat laut dan ekosistem sekitarnya. Praktik bom ikan pun menghancurkan terumbu karang dan habitat penting bagi banyak spesies laut.
Menurut artikel Zero Hour Climate, dalam ekosistem laut, terdapat banyak organisme yang hidup, salah satunya adalah teritip. Teritip berperan penting sebagai indikator perubahan lingkungan, sehingga mempelajari respons teritip akan memberikan wawasan tentang kesehatan ekosistem laut dan dampak perubahan iklim terhadap lautan.
Perkembangan teritip yang makin banyak menandai adanya peningkatan suhu laut, peningkatan keasaman, dan kejadian cuaca ekstrem di lautan. Kemampuan adaptasi teritip terhadap kondisi yang berubah ini menunjukkan ketahanan mereka dan potensi perubahan pada habitat laut.
Hewan yang termasuk dalam keluarga krustasea, teritip umumnya tidak merugikan secara langsung hewan laut yang menjadi inangnya. Sebagai organisme yang melekat, teritip hidup dengan menempel pada permukaan seperti batu, lunas (bagian bawah) kapal, atau bahkan tubuh hewan laut, seperti penyu, paus, atau kepiting. Dalam beberapa kasus, hubungan ini lebih bersifat komensalisme. Teritip mendapatkan keuntungan dengan menempel pada inang untuk perlindungan dan akses ke arus air yang membawa makanan, sedangkan inangnya tidak banyak terpengaruh.
Peningkatan suhu laut yang menyebabkan teritip makin berkembang banyak dapat menimbulkan kerugian serius pada hewan lain. Bahkan, teritip yang menempel pada bagian lunak seperti kulit dan insang dapat menyebabkan infeksi yang mengancam daya tahan tubuh penyu. Dampak gabungan dari kontaminasi lingkungan, aktivitas manusia, dan infeksi akibat teritip ini membuat penyu makin rentan. Oleh karena itu, langkah-langkah perlindungan sangat diperlukan untuk menjaga kelangsungan hidup hewan ini di lautan.
Baca Juga: Merayakan Hari Mangrove Sedunia: Mendalami Peran Mangrove dalam Penurunan Karbon di Indonesia
Perubahan iklim yang makin terasa dan fakta bahwa kemampuan hutan dan daratan untuk menyerap karbon makin rendah seharusnya menjadi pengingat penting bagi kita untuk mengurangi faktor peningkatan suhu global. Laut juga berperan penting sebagai penyangga dampak perubahan iklim karena mampu menyerap 25% dari seluruh emisi karbon dioksida dan menahan 90% panas berlebih yang dihasilkan.
Karena perubahan iklim memengaruhi kehidupan seluruh makhluk hidup, jangan tunda lagi untuk melakukan tindakan pencegahan. Ada beberapa cara sederhana yang bisa kita lakukan.
- Menghemat energi dengan mematikan lampu dan peralatan listrik saat tidak digunakan serta menggunakan lampu hemat energi.
- Mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dengan berjalan kaki, bersepeda, atau menggunakan transportasi umum untuk mengurangi emisi karbon.
- Mengurangi sampah dengan mendaur ulang dan memilih produk ramah lingkungan.
- Menanam pohon atau mendukung reforestasi untuk menyerap karbon dioksida dari udara.
- Turut serta merestorasi hutan mangrove serta merehabilitasi terumbu karang.
Dengan melakukan langkah-langkah sederhana ini, kita bisa ikut berkontribusi dalam memperlambat perubahan iklim dan menjaga bumi tetap sehat.