JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah dinilai masih kurang serius dalam mengembangkan biodiesel menggunakan minyak kelapa sawit sebagai energi alternatif yang ramah lingkungan. Selain itu, aturan tentang pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit baru oleh perusahaan juga harus dipertegas. Ini karena masih banyaknya lahan lama yang belum berproduksi secara optimal.
Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Nur Hidayati, mengatakan, pemerintah cenderung kurang serius memanfaatkan biodiesel sebagai energi berkelanjutan. Pemanfaatan biodiesel di dalam negeri saat ini hanya semata-mata untuk menghemat devisa negara.
“Menurut saya pemanfaatan biodiesel di dalam negeri oleh pemerintah ini hanya karena adanya penurunan pasar minyak kelapa sawit. Jadi untuk menyerap produksi yang ada, penggunaannya ditingkatkan di dalam negeri,” kata Hidayati.
Menurut Hidayati, jika pemerintah ingin serius, maka perencanaan mengenai konsep transportasi dan industri masa depan Indonesia harus segera disiapkan. Jika konsep tersebut sudah ditentukan, maka pengembangan biodiesel dapat disesuaikan dengan kebutuhan masa depan.
“Apakah kendaraan pribadi akan terus menjadi basis atau tidak. Jika konsep yang ingin dikembangkan adalah mobil listrik misalnya, kebutuhannya akan lebih jelas. Idealnya transportasi harus mempertimbangkan pola perkembangan tata kota juga,” tambah Hidayati.
Hidayati juga mencotohkan konsep industri yang mungkin bisa diterapkan di Indonesia misalnya adalah industri pertanian. “Jauh lebih baik jika ditentukan sekarang. Jadi penentuan model produksi dan penguasaannya mungkin bisa dipetakan sejak sekarang,” tambahnya.
Pemerintah, kata Hidayati, perlu mempertegas aturan tentang pembukaan lahan kelapa sawit baru oleh perusahaan. Hal ini rawan dimanfaatkan oleh perusahaan untuk menambah aset lahan mereka.
“Dari sekitar 12 juta hektar luas lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia, saat ini yang berhasil memproduksi hanya sekitar 7 juta-8 juta hektar. Itupun dengan tingkat produksi rendah,” ungkap Hidayati.
Peningkatan produksi, menurut Hidayati, masih bisa dimaksimalkan melalui lahan yang sudah ada tanpa melakukan perluasan lahan. Terlebih jika permintaan izin pembukaan lahan yang diajukan perusahaan berlokasi di hutan.
“Ini akan menjadi keputusan yang kontraproduktif. Padahal targetnya kelapa sawit digunakan sebagai biodiesel untuk mengurangi emisi. Keuntungan ganda juga akan didapat perusahaan karena mereka bisa mendapatkan kayu dari pembukaan lahan tersebut,” ungkap Hidayati.
Produksi meningkat
Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Koaksi Indonesia, perkembangan industri kelapa sawit meningkat signifikan dari tahun ke tahun. Pada 2017, Indonesia memiliki 12 juta hektar lahan perkebunan kelapa sawit. Produksi total yang dihasilkan adalah 35 juta ton per tahun.
Menurut Penanggungjawab Tim Peneliti Koaksi Indonesia, Dhita Rachmadini, luas lahan tersebut naik sebesar 400.000 hektar dari 2016, sedangkan produksinya naik sebesar 2 juta ton. “Dari segi ekonomi hal tersebut dinilai sebagai hal positif. Namun, pembukaan lahan baru tersebut tentunya berdampak serius terhadap lingkungan,” katanya.
Kevin Alexander sebagai sebagai salah satu anggota peneliti Koaksi Indonesia juga menambahkan, saat ini penggunaan biodiesel di Indonesia masih bersifat sukarela. Hal itu karena belum adanya jaminan bagi para penggunanya. Beberapa permasalahan yang muncul dari penggunaan biodiesel tersebut masih banyak ditemukan.
“Biodiesel ini kan juga bisa sebagai pembersih pada tangki kendaraan. Kerak-kerak dari kotoran tangki tersebut kadang bisa menyumbat filter dan menyebabkan kerusakan. Beberapa pengguna yang dirugikan tidak tahu harus melaporkan ke siapa,” katanya. (FAJAR RAMADHAN)
Sumber: Kompas.id