SUARAINDONEWS.COM, Jakarta-Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) memperkirakan produksi sawit akan mencapai 51,7 juta ton pada 2025. Saat ini, produksi CPO Indonesia sebesar 44 juta ton sampai dengan 46 juta ton per tahun, dengan luas lahan sebesar 14 juta hektare. Jika ini terus berlanjut, kondisi oversupply CPO bisa menimpa Indonesia pada 2030 mendatang. Dan kondisi oversupply CPO, justeru dihadapkan pada harga CPO yang terus merosot, selain juga larangan ekspor CPO di negara-negara Uni Eropa.
Jika pemerintah Indonesia tidak melakukan sejumlah langkah pasti sebagai mitigasi, tegas Ketua Umum GAPKI Joko Supriyanto, kondisi oversupply CPO bahkan akan berlangsung setidaknya sampai dengan 2023 mendatang. Dengan kata lain, jika kelebihan produksi sawit bisa diserap oleh pasar, maka hal tersebut sangat baik untuk industri termasuk kesejahteraan petani. Namun juga bisa mengakibatkan kelebihan pasokan yang pada akhirnya membuat harga jual produk ini menjadi lebih rendah seperti yang telah berlangsung dua tahun terakhir ini.
Sedangkan ekspor minyak sawit (Crude Palm Oil/CPO dan produk turunannya, biodiesel dan oleochemical) secara keseluruhan baru mencapai 34,71 juta ton di 2018 atau meningkat 8 persen dari 32,18 juta ton di 2017. Sedangkan untuk penyerapan biodiesel melalui program B20 meski naik 72 persen dibandingkan 2017, baru mencapai 3,8 juta ton pada 2018. Sementara disisi lain, konsumsi BBM Indonesia terus naik tiap tahunnya dan menciptakan defisit impor sebesar USD13,4 miliar.
Melihat situasional yang demikian, tidak saja dibutuhkan mitigasi atas oversupply CPO tersebut, namun juga diperlukan adanya pengembangan inovasi, diversifikasi, diferensiasi, replanting, relaksasi hingga moratorium dari pemerintah bersama para stakeholder.
Coaction Indonesia atau Colaborate Advocate Breaking Barriers dalam diskusinya yang bertema Menuju Biodiesel Berkelanjutan dalam Periode Pemerintahan yang Baru, di Four Season Hotel, Jakarta (31/7), mencatat bagaimana situasi kondisi oversupply CPO saat ini dapat menjadi peluang mewujudkan Biodiesel Berkelanjutan, namun juga berdampak besar mensejahterakan bagi para petani sawit swadaya atau plasma, jelas Syarifah Nuli Nazilah selaku Direktur Eksekutif Coaction Indonesia.
Seperti moratorium yang dipandang sangat mendesak lantaran proses ekstensifikasi atau perluasan lahan perkebunan kelapa sawit hingga di medio 2018 saja, menurut catatan Kementerian Pertanian (Kemtan), sudah mencapai 14,03 juta hektare, dengan rata-rata pertumbuhan luas lahan perkebunan kelapa sawit mencapai 10,31 persen setiap tahun.
Inovasi inovasi di sektor hilir pun terus dibutuhkan dengan memproses pengolahan minyak sawit menjadi produk-produk olahan yang bernilai tambah lebih tinggi. Seperti saat ini dengan terus memproduksi biodiesel lebih banyak lagi. Harapannya harga bisa sepadan dengan Mean of Platts Singapore (MOPS) ke negara-negara tujuan seperti Cina, India, Jepang, Arab Saudi serta Korea Selatan. Dimana secara keseluruhan, negara-negara tersebut mampu mengkonsumsi 28,8 juta barel per hari.
Bahkan jika Indonesia mampu melobi negara-negara tersebut dan mempromosikan B1 produksi dalam negeri, maka ada serapan biodiesel setidaknya sebanyak 5,68 juta kiloliter. Selanjutnya juga akan lebih baik lagi jika Indonesia bisa mempromosikan B-25, maka serapan biodiesel bisa bertambah 14,2 juta kiloliter lagi. Karena hampir di seluruh segmen industri tidak berkeberatan menggunakan biodiesel 2,5 persen.
Percepatan penyerapan CPO secara langsung oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN) juga dapat membantu langkah mitigasi. Setidaknya ada terdapat empat pembangkit yang melakukan uji coba dengan menggunakan CPO sebagai bahan bakar secara langsung. Kempat pembangkit itu adalah Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) Kanaan Bontang berkapasitas 10 megawatt (MW), PLTD Batakan Balikpapan (40 MW), PLTD Supa Pare-pare (62 MW), dan PLT Gas (PLTMG) Jayapura dengan kapasitas 10 MG. Dan untuk memasok keempat pembangkit tersebut, PLN memerlukan sekitar 190 ribu kiloliter CPO per tahun.
Percepatan juga dibutuhkan atas penerapan biodiesel 30 persen (B30) yang akan berlaku tahun 2020 dan diprediksikan akan menghemat impor solar 9 juta kiloliter (KL) setara dengan US$ 6 miliar. Sekaligus memastikan implementasi B20 secara keseluruhan atau 100 persen. Maka ada harapan bahwa 5 juta CPO akan bisa terserap sebagai bahan baku B20.
Di samping memanfaatkan pengelolaan sampah perkebunan sawit untuk selanjutnya diproses menjadi bahan bakar cair (Bio Crude Oil) hingga penggunaan lainnya, seperti bubur kertas atau pulp, hingga kepada penggunaan CPO untuk Kilang Green Fuel atau Bio Hydrocarbon (2023; 4.9 juta ton/ tahun). Selain tentunya Replanting System, dapat mengurangi incrementable supply atau tambahan pasokan CPO, serta efek jangka panjang berupa produktivitas CPO yang lebih baik, dan tentunya kesejahteraan serta sertifikasi bagi petani sawit swadaya atau plasma.
Bahkan replanting ini dapat diarahkan kepada pembinaan dan peningkatan kesejahteraan serta sertifikasi petani sawit plasma atau, sekaligus dapat berhubungan erat dengan komitmen Indonesia pada Conference of Parties (COP) 15 tahun 2009 untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 26% (dengan usaha sendiri) dan sebesar 41% (jika mendapat bantuan internasional) di tahun 2020.
Komitmen Indonesia tersebut diperkuat melalui dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) Republik Indonesia yang pertama pada bulan November 2016 dengan ditetapkannya target unconditional sebesar 29% dan target conditional sampai dengan 41% dibandingkan skenario business as usual (BAU) di tahun 2030. Secara nasional, target penurunan emisi pada tahun 2030 nanti berdasarkan NDC sebesar 834 juta ton CO2e pada target unconditional (CM1) dan sebesar 1,081 juta ton CO2e pada target conditional (CM2).
Namun demikian, bagi Indra Sari Wardani, Climate and Energy Manager WWF, konteks CPO dalam kaitannya dengan Biodiesel masih memiliki jalan yang panjang dan berliku. Karena sebagai pengganti bahan baku fosil, benarkah dapat berkorelasi atau memenuhi target penurunan emisi, untuk menuju Biodiesel Berkelanjutan.
Apalagi subsidi biodiesel faktanya tidak pernah berdampak pada kesejahteraan petani sawit swadaya atau plasma ini. Subsidi biodiesel sudah sepantasnya untuk produktivitas petani swadaya dan plasma di dalam penerapan praktik perkebunan yang baik dan buat pendampingan untuk proses sertifikasi. Begitu pula teknologi yang dipakai masih mengandalkan teknologi pencampuran FAME, sementara ada teknologi yang lebih bagus dari FAME yakni HVO teknologi, dimana diolah mirip dengan Solar.
Jadi dampak biodiesel secara komprehensif secara sosial ekonomi masih nampak sangat besar belum memenuhi target dan harapan, ungkap perempuan yang akrab disapa Ai, ini.
Namun disisi lain, Andi Novianto, selaku Asdep Produktivitas Energi Kemenko Perekonomian, di dalam kesempatan yang sama, mengemukakan bahwa kebijakan penggunaan Bahan Bakar Nabati telah dimulai tahun 2006 melalui Inpres No.1/ 2006. Dan melalui Permen ESDM No.12 Tahun 2015 dibuat Roadmap Jangka Menengah untuk Implementasi Mandatory Biodiesel hingga pada 1 September 2018 atau belum genap satu tahun, diterapkan kebijaksanaan perluasan Mandatory Biodiesel ke Non PSO.
Terbukti hingga 2018, Mandatory Biodiesel telah melakukan penghematan devisa negara sebesar 1.88 Miliar USD. Dan di tahun 2019 melalui penggunaan teknologi FAME yang mencapai 6.2 juta KL akan menghemat devisa negara sebesar 33 Miliar USD.
Pemanfaatan BBN juga berdampak pada pengurangan impor BBM dan memperbaiki Neraca Perdagangan Migas. Dimana tahun 2019 terjadi penurunan impor Solar dan PT Pertamina sejak Maret 2019 sudah tudak mengimpor Solar lagi. Begotu pun pada Neraca Perdagangan Migas pada Juni 2019 hanya sebesar 1.71 Miliar USD (turun 21.5% dibanding Mei 2019 dan lebih rendah dari Mei 2018).
Begitu juga dengan target BBN harus memenuhi target 23% EBT di tahun 2025, pada realisasi bauran energi EBT di tahun 2017 sudah mencapai 7.3%. Bioenergi/Biofuel untuk listrik dan non listrik mencapai 1.3% atau lebih rendah dari hydro (3.3%), namun sama dengan Geothermal (1.3%). Disamping BNN berdampak mengurangi emisi GRK, di tahun 2017 penurunan sebesar 44.9 juta ton CO2e atau sekitar 14.3% dari target pengurangan emisi GRK tahun 2030.
Terkait keberlanjutan Biodiesel, Andi Novianto mencatat berdasarkan Permen ESDM No.12 tahun 2015 pada tahun 2020 akan diimplementasikan B30 untuk seluruh sektor. Ini akan meningkatkan kebutuhan Biodiesel sebesar 3 juta KL per tahun. Saat ini B30 tengah road test. Disisi lain, pemerintah akan mulai mengembangkan Green Fuel berbasis CPO mulai tahun 2019 melalui kilang milik PT.Pertamina baik secara co-procesing maupun stand alone refiniring unit. Diperkirakan pada tahun 2023 kebutuhan CPO untuk Green Fuel akan mencapai 4.9 juta ton KL per tahun, tutupnya.
(tjo; foto dok
Sumber: suaraindonews.com