Sebagai salah satu organisasi yang tergabung dalam Voices for Just Climate Action (VCA) Indonesia, Koaksi Indonesia menunjukkan kontribusinya dalam festival ini melalui pameran, permainan, pemutaran film, dan diskusi. Berbagai kegiatan yang menarik dan interaktif itu dapat berlangsung dengan sukses berkat kerja keras Koaksi Indonesia sebagai koordinator dari seluruh koalisi VCA dan sebagai narahubung panitia festival.
Pengenalan program dan aktivasi pengunjung dengan permainan interaktif
Program VCA Indonesia telah berjalan sejak 2021 dan dipayungi oleh Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial (Hivos) Indonesia yang merupakan afiliasi dari Hivos Foundation. Secara global, program VCA juga dilaksanakan di enam negara lain, yaitu Brasil, Bolivia, Paraguai, Kenya, Tunisia, dan Zambia. Adapun tujuan utama dari program VCA adalah “Pada 2025, kelompok masyarakat sipil di tingkat lokal sampai nasional termasuk pelaku iklim (perempuan dan laki-laki) telah diakui dan didukung sebagai inovator, fasilitator, dan penasihat, termasuk menjadi mitra pemerintah untuk membawa transisi berkeadilan yang inklusif, efektif, dan berkelanjutan melalui pendekatan adaptasi berbasis masyarakat lokal, sehingga dapat terjadi sinkronisasi kebijakan dengan konteks yang sesuai kebutuhan masyarakat”.
Baca juga: Pendanaan Iklim untuk Mendukung Aksi Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim
Yayasan Koaksi Indonesia tergabung dalam program VCA Indonesia bersama 17 organisasi lain yang terbagi menjadi empat koalisi, yaitu (1) Koalisi Sipil yang terdiri dari Yayasan Koaksi Indonesia dan Yayasan Pikul, (2) Koalisi Kopi yang terdiri dari Hutan Itu Indonesia dan Teras Mitra, (3) Koalisi Pangan Baik yang terdiri dari Yayasan KEHATI, Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Yayasan Ayu Tani Mandiri, Ayo Indonesia, dan Yayasan Pembangunan Sosial Ekonomi Larantuka (YASPENSEL), dan (4) Koalisi Adaptasi yang terdiri dari Yayasan Penabulu, Yayasan Koordinasi Pengkajian & Pengelolaan Sumber Daya Alam, Yayasan Lembaga Pengembangan Masyarakat Lembata, Perkumpulan Yapeka, Perkumpulan Sinergantara, Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi, Perkumpulan Konsil LSM Indonesia, Perkumpulan Desa Lestari, dan Pusat Kajian Sains Keberlanjutan dan Transdisiplin Institut Pertanian Bogor. Seluruh organisasi itu memiliki berbagai program baik di tingkat nasional maupun Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Salah satu kegiatan Hivos Indonesia bersama Koalisi untuk Program VCA di NTT adalah berpartisipasi aktif dalam Festival Forum Kawasan Timur Indonesia (FFKTI) IX di Hotel Harper Kota Kupang pada 26–27 Juli 2023. Keikutsertaan dalam festival ini bertujuan untuk memperkenalkan program VCA Indonesia, menjalin potensi kolaborasi dengan lembaga lain, dan meningkatkan pengetahuan mengenai perubahan iklim melalui permainan dan diskusi interaktif. Pengunjung gerai VCA Indonesia disuguhi berbagai informasi terkait program dan fokus kerja dari setiap koalisi baik secara interaksi langsung maupun selebaran yang dicetak.
Selain memperoleh informasi mengenai Program VCA Indonesia, pengunjung dapat melakukan berbagai permainan yang dipandu oleh teman-teman yang tergabung dalam komunitas anak muda di NTT, seperti cerdas cermat, mencocokkan gambar, dan menyusun puzzle. Semua permainan yang bertema perubahan iklim ini menarik minat pengunjung untuk berdiskusi mengenai topik itu setelah mereka menyelesaikan permainan. Selama dua hari penyelenggaraan FFKTI IX, lebih dari 100 orang mengunjungi gerai Program VCA Indonesia. Tidak sedikit dari antara mereka yang tertarik untuk berkolaborasi dengan program VCA Indonesia di NTT, seperti Pemerintah Provinsi, lembaga nonprofit maupun individu. Wartawan juga kerap mendatangi gerai pameran untuk mengetahui program VCA Indonesia dengan mendalam.
Baca juga: Suara Orang Muda untuk Mitigasi Krisis Iklim
Festival Forum KTI IX Sebagai Ajang Perayaan Pembangunan Berkelanjutan
Penyelenggaraan Festival Forum Kawasan Timur Indonesia bertujuan untuk merayakan kemajuan dan inovasi pembangunan di Indonesia. Melalui festival ini, para peserta dapat berbagi informasi mengenai praktik cerdas, pengalaman, dan pembelajaran dari berbagai program pembangunan di tingkat lokal untuk memperkuat harmonisasi pembangunan serta meningkatkan manajemen program dalam mendukung keberhasilan pembangunan nasional. Festival yang diadakan pertama kali pada 2004 ini kemudian menjadi acara tahunan Yayasan BaKTI hingga 2010. Setelah 2010, FFKTI dilaksanakan pada 2012, 2015, 2018, dan 2023. Selain di Kota Kupang, FFKTI pernah diselenggarakan di Kota Makassar, Palu, dan Ambon.
Pada pelaksanaan Festival Forum KTI IX tahun ini, Yayasan BaKTI bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Pemerintah Kota Kupang. Selain pameran yang diikuti sekitar 20 gerai atau yang disebut dengan galeri informasi, Yayasan BaKTI menyuguhkan kegiatan lain, yaitu panggung inspirasi, side event, local champion incubator, dan malam budaya. Meskipun diselenggarakan di Kota Kupang, festival ini dihadiri para peserta dari berbagai provinsi di Indonesia dan berbagai latar belakang, sektor pemerintahan, media massa, akademisi, CSO, swasta, dan publik. Oleh karena itu, festival seperti ini sebaiknya terus dipertahankan agar interaksi lintas lembaga dapat terus terjalin demi tercapainya keberhasilan pembangunan nasional.
Kegiatan Hari Kedua: Nonton Bareng dan Diskusi Interaktif
Partisipasi Program VCA Indonesia pada FFKTI IX tidak hanya melalui gerai pameran, tetapi juga dalam side event bertopik “Adaptasi Efektif dan Solusi Berbasis Kearifan Lokal yang Berkeadilan” berupa kegiatan nonton bareng “Climate Witness” dan diskusi interaktif pada 27 Juli 2023 yang merupakan hari kedua festival dengan dimoderatori oleh Yurgen Nubatonis. Film “Climate Witness” yang diinisiasi oleh Koaksi Indonesia dengan produser Ridwan Arif (penulis artikel ini) mengisahkan tokoh lokal yang telah melakukan upaya pelestarian lingkungan sejak lama. Upaya yang mereka lakukan ini bersumber pada kesadaran diri untuk bertahan hidup. Kini, mereka telah menuai hasil dari jerih payah mereka itu. Selesai nonton bareng “Climate Witness”, acara dilanjutkan dengan bincang-bincang yang menghadirkan empat narasumber yang merupakan tokoh masyarakat NTT. Keempat narasumber itu adalah (1) Joni Messakh (pemain film ini), Pewaris Mangrove Desa Tanah Merah, Kabupaten Kupang, NTT, (2) Lunggi Randa (pemain film ini), Pemuka Adat Kampung Wundut, Kabupaten Sumba Timur, NTT, (3) Maria Mone Soge, Aktivis Pangan Lokal Desa Hewa, Kabupaten Flores Timur, NTT, dan (4) Lia Wanda, Perwakilan @murarame.hub. Dalam acara bincang-bincang itu, para peserta dibagi menjadi empat kelompok dengan tema (1) masyarakat adat, (2) konservasi lingkungan, (3) pangan lokal, dan (4) mobilisasi anak muda.
Satu per satu narasumber menceritakan kegelisahan mereka mengenai dampak perubahan iklim yang telah mereka rasakan. Mereka menyadari bahwa jika alam sekitar tempat tinggal mereka rusak, tidak ada lagi kehidupan bagi mereka. Kesadaran itulah yang akhirnya mendorong mereka untuk melakukan aksi menyelamatkan lingkungan sekitar mereka. Maria Mone Soge melakukan aksi untuk menyelamatkan eksistensi pangan lokal. Guru SMA ini menyadari bahwa pangan lokal mulai tersingkirkan keberadaannya dan digantikan pangan dari industri, padahal pangan lokal memiliki lebih banyak manfaat dan lebih tahan pada kondisi lingkungan sekitar. “Kami makan yang kami tanam dan kami tanam yang kami makan,” ucap Maria Mone Soge saat bercerita.
Tiga narasumber lain juga melakukan upaya konservasi lingkungan, tetapi dengan cara yang berbeda dari yang dilakukan Maria. Komunitas @murarame.hub menghitung jejak emisi karbon dari semua aktivitas masa lampau yang kemudian dikonversi menjadi jumlah pohon yang harus mereka tanam. Tindakan ini sebagai bukti kesadaran mereka untuk hidup seimbang dengan alam, yang mereka dapatkan dari alam harus dikembalikan lagi ke alam. Berbeda lagi dengan Bapak Lunggi Randa yang melakukan konservasi hutan melalui adat istiadat budaya setempat. Hutan di kampungnya dilindungi dengan adat, sehingga tidak diizinkan menebang pohon atau mengambil hasil hutan tanpa ritual adat. Sementara Om Joni Messakh telah melakukan penanaman dan perawatan mangrove di pesisir Desa Tanah Merah sekitar 20 tahun. Aksi ini dilakukannya karena tidak ada pelindung antara laut dengan permukiman warga di Desa Tanah Merah. Om Joni khawatir jika tidak ada pelindung, suatu saat daratan akan tergerus oleh gelombang air laut.
Acara yang berlangsung lebih dari dua jam ini diikuti lebih dari 60 peserta dengan antusias. Para peserta aktif berdiskusi dalam kelompok kecil dan saling bertukar cerita dengan para narasumber. Pengetahuan yang bermanfaat yang telah diperoleh dari film dan diskusi ini semoga semakin memotivasi peserta untuk menjaga lingkungan tempat tinggal mereka dan membagikan pengetahuan itu kepada orang-orang di sekitar mereka sehingga tercipta kesadaran pentingnya menjaga lingkungan di tengah-tengah masyarakat.
Foto: Ridwan Arif dan Yayasan BaKTI
Baca juga: Ribuan Orang Menyaksikan Aksi Local Heroes Nusa Tenggara Timur Melalui Film Climate Witness