Bicara tentang energi terbarukan menjadi sebuah urgensitas dan kebutuhan di Indonesia. Berkurangnya pasokan energi konsumsi per kapita Indonesia yang berada di bawah rata-rata dunia menjadi sebab utama masyarakat berada dalam kemiskinan. Meningkatnya penggunaan bahan bakar fosil seperti batubara, gas, dan minyak di Indonesia sebagai negara berkembang jelas akan menjadi penyumbang meningkatnya permasalahan perubahan iklim. Selain itu deforestasi atau penggundulan hutan menjadi penyumbang emisi karbon terbesar di Indonesia. Hal tersebut baru beberapa dari akibat lain yang ditimbulkan oleh fosil dan batubara. Sedari awal kita sama-sama menyadari bahwa proses penambangan hingga proses pembakaran batubara membawa resiko. Mulai dari resiko polusi udara dan beracun, gangguan kesehatan di sistem pernapasan bahkan hilangnya mata pencaharian masyarakat.
Lalu, langkah konkret apa yang bisa kita lakukan menuju energi terbarukan? Tentu saja ini menjadi pertanyaan besar yang tidak hanya ditujukan kepada masyarakat namun juga kepada pemerintah (negara) sebagai institusi yang harus memenuhi hak-hak masyarakatnya. Dalam perjalanan panjang, Indonesia telah mencoba upaya-upaya untuk mengurangi climate crisis menuju energi terbarukan. Pada tahun 2015, United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) atau Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menyepakati Paris Agreement atau Persetujuan Paris. Persetujuan Paris membahas mengenai mitigasi emisi gas rumah kaca, adaptasi dan keuangan. Tentunya ini langkah awal yang konkret secara global.
Saat itu, 195 perwakilan negara-negara telah menegosiasikan persetujuan pada Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-21 di Paris, Perancis. Setelah proses negosiasi tersebut, tepat pada peringatan Hari Bumi tanggal 22 April 2016 di New York, Amerika Serikat persetujuan ini ditandatangani. Hingga Maret 2017 persetujuan ini telah diratifikasi oleh 141 negara dan 195 negara telah menandatanganinya, termasuk Indonesia. Persentase gas rumah kaca yang diratifikasi oleh Indonesia adalah sebesar 1,49 persen.
Secara jelas tujuan dibentuknya Perjanjian Paris ialah bersepakat melawan perubahan iklim, melakukan aksi iklim dan investasi rendah karbon untuk masa depan yang lebih berkelanjutan (sustainable) dan tangguh (resilient), menjaga suhu global dibawah 2 derajat Celcius, dibatasi 1,5 derajat Celcius. Perjanjian universal yang memperkuat respon global terhadap perubahan iklim, ambisius, jangka panjang (durable agreement), kolektif dan individual, actionable memiliki insentif untuk pihak swasta.
Langkah konkret kedua yang dilakukan Indonesia adalah meningkatkan ambisi Nationally Determined Contribution (NDC). Dilansir dari madaniberkelanjutan.id, pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca. Komitmen ini telah dituangkan dalam Dokumen Nationally Determined Contribution. Ini merupakan langkah lanjutan dari Persetujuan Paris yang telah disahkan melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016. Dalam pernyataan First Nationally Determined Contribution disebutkan bahwa target penurunan emisi Indonesia hingga tahun 2030 adalah sebesar 29 persen dari Business as Usual (BAU) dengan upaya sendiri dan sampai dengan 41 persen dengan bantuan internasional. Indonesia akan berfokus dalam lima sektor yang tentunya berkontribusi dalam upaya penurunan emisi GRK dari BAU 2030 yakni sektor industri, energi, limbah, kehutanan, dan pertanian.
Dalam sebuah analisa yang berjudul “Peningkatan Aksi untuk Iklim: Indonesia yang dirilis pada tahun 2019 oleh Climate Action Tracker menyatakan bahwa Indonesia memiliki potensi luar biasa dalam meningkatkan aksi untuk iklim yaitu melakukan dekarbonisasi (penghilangan karbon) dalam bidang perekonomian. Hal tersebut dapat dilakukan dalam tiga bidang utama dan sejalan dengan pembatasan suhu 1,5 derajat Celcius sesuai dengan Persetujuan Paris. Tiga hal utama tersebut adalah Electricity supply, Passenger road and rail transport dan Forestry and land use. Ketiga hal utama tersebut, dapat dilakukan secara bersama-sama mulai dari sektor pasokan listrik, transportasi penumpang dan kehutanan di Indonesia menutupi sekitar 70 persen dari emisi gas rumah kaca yang dikeluarkannya. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia dapat mengurangi emisi sebesar 20 persen di bawah angka 2010 pada 2030. Hal ini tentu saja berkebalikan dengan kenaikan emisi 58-68 persen seperti yang diramalkan oleh target-target NDC Persetujuan Paris.
Agar sesuai dengan Persetujuan Paris, Indonesia harus mencapai dekarbonisasi sepenuhnya di bidang tenaga listrik pada 2050. Hal ini berarti akan ada pembangkit energi terbarukan sekitar 50 persen pada tahun 2030 dan kita harus meninggalkan batubara pada tahun 2040. Hal ini juga akan berkontribusi secara sosial dan ekonomi seperti pengurangan polusi udara, terciptanya lapangan pekerjaan baru dan terhindar dari pembangkit listrik bertenaga batubara. Secara nyata Indonesia sangat bisa melakukan pengurangan emisi dengan membatasi deforestasi dan meningkatkan reforestasi, menghentikan pembakaran gambut dan meninggalkan emisi dari degradasi gambut melalui restorasi. Hal-hal diatas dapat terwujud jika komitmen partisipasi aktif tidak hanya pemerintah pusat namun juga pemerintah daerah ,akademisi, dunia usaha, LSM, dan tentunya anak muda. Kita hanya perlu berkomitmen untuk melakukannya bersama-sama.
Penulis: Rivani (UIN Syarif Hidayatullah)
DISCLAIMER
Semua artikel dan opini yang dipublikasikan pada Blog Energi Muda menjadi tanggung jawab dari masing-masing penulis. Koaksi Indonesia membantu mereduksi bahasa dan penulisan sesuai kaidah KBBI, logika dan kata di dalam tulisan yang masuk ke redaksi. Koaksi Indonesia tidak bertanggung jawab jika terdapat plagiarisme, kesalahan data dan fakta serta kekeliruan dalam penulisan nama, gelar atau jabatan yang terdapat di dalam artikel dan opini.