Aksi iklim Komunitas Gebetan dan penenun Sumba direkam dalam film dokumenter. Dua film ini menjadi pengingat bagi kita untuk menenun masa depan berkelanjutan dengan kearifan lokal.
KOAKSI INDONESIA—Perubahan iklim menjadi tantangan besar bagi masyarakat yang menggantungkan hidup pada alam. Medium seni dapat menjadi salah satu solusi untuk mengangkat isu besar tersebut dengan cara yang menarik.
Masih dalam rangkaian kegiatan Pesta Raya Flobamoratas (PRF) 2024. Pada Jumat, 27 September siang sebelum konser dimulai, diadakan nonton bareng (nobar) dua film dokumenter baru dari Koalisi Adaptasi dan Koalisi Pangan Baik.
Melalui film tersebut, kita diajak untuk menyaksikan inovasi dan keteguhan hati masyarakat Nusa Tenggara Timur melalui Komunitas Gebetan dan para penenun tradisional Sumba, menghadapi dampak perubahan iklim yang meresahkan.
Film pertama yang diinisiasi Koalisi Pangan Baik menyoroti perjalanan Komunitas Gebetan yang berada di Desa Tapobali, Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata, di mana kegagalan panen menjadi ancaman serius akibat perubahan iklim. Komunitas ini menemukan solusi lewat budi daya sorgum, tanaman yang tahan kekeringan, menggantikan padi dan jagung yang dulu mereka tanam.
Melalui pendampingan dari Yaspensel, Komunitas Gebetan tidak hanya belajar budi daya sorgum mulai dari memilih bibit hingga perawatan, tetapi juga mengembangkan produk turunan seperti tepung, makanan ringan, dan kopi sorgum. Dengan kegigihan ini, mereka membangun ketahanan pangan berbasis lokal, menghindari ketergantungan pada pasokan pangan dari kota.
“Kami memberikan contoh dengan menanam sendiri, kini kami memiliki stok pangan yang cukup,” kata Ambrosia Ero Tobil, yang akrab disapa Onci, salah satu anggota Komunitas Gebetan.
Baca Juga: Pangan Lokal, Pemberi Harapan Pasti untuk Krisis Iklim dan Ekonomi
Diproduksi oleh Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), film berjudul “Jaga Desa, Jaga Impian” ini tidak hanya menggambarkan perjuangan mereka dalam bidang pertanian, tetapi juga upaya dalam mengubah pola konsumsi masyarakat. Film ini mengajak generasi muda untuk lebih mandiri dengan pangan lokal, mengurangi ketergantungan pada makanan instan yang kurang ramah lingkungan.
Sorgum menjadi simbol ketahanan pangan bagi komunitas yang jauh dari akses kota besar. Mereka berupaya mengurangi ketergantungan pada bahan pangan yang didatangkan dari luar dan mendorong masyarakat untuk mengonsumsi lebih banyak pangan lokal.
“Film ini menyampaikan pesan kuat kepada generasi muda untuk mengubah pola konsumsi mereka, mengurangi makanan instan, dan lebih mandiri dengan bercocok tanam di lahan sendiri,” ujar Siti Farida, perwakilan Universitas Muhammadiyah Maumere, sebagai moderator.
Film kedua berjudul “Pewarna yang Hilang” yang diinisiasi oleh Deden Ramadani, anggota Koalisi Adaptasi, mengisahkan perjuangan para penenun tradisional di Sumba. Penenun di sana telah lama mengandalkan tanaman lokal sebagai bahan pewarna alami untuk tenun mereka. Namun, perubahan iklim yang menyebabkan curah hujan makin berkurang mengganggu siklus pertumbuhan tanaman ini. Akibatnya, bahan baku pewarna alami makin sulit didapat, sehingga para penenun harus mencari alternatif bahan baku dengan menempuh jarak yang lebih jauh dan mengeluarkan biaya lebih mahal.
Umbu Tri, salah seorang anggota masyarakat adat yang tergabung dalam Yayasan Koordinasi Pengkajian & Pengelolaan Sumber Daya Alam (Koppesda), mengungkapkan, “Tenun di Sumba bukan hanya kerajinan, tetapi bagian penting dari budaya yang dikeramatkan. Dalam setiap upacara penting, kain tenun selalu hadir.”
Untuk mengatasi krisis bahan baku, para penenun mulai melakukan upaya adaptasi dengan membudidayakan tanaman lokal sebagai sumber pewarna alami. Mereka juga memperkuat pemasaran produk tenun dengan menjualnya secara daring, yang terbukti meningkatkan pendapatan mereka.
Namun, mereka masih menghadapi tantangan lain, yakni perlindungan kekayaan intelektual. Motif tenun Sumba yang kaya akan makna rawan plagiat karena belum ada perlindungan yang cukup untuk hak cipta motif-motif tersebut.
Baca Juga: Aktor Lokal NTT Sinergikan Aksi Iklim Bersama
Praktik-praktik mereka mengingatkan kita akan pentingnya kearifan lokal dalam menghadapi tantangan global. Baik Komunitas Gebetan dengan sorgum maupun para penenun Sumba yang terus menjaga tradisi tenun, mereka semua berusaha merawat bumi dengan cara-cara yang berakar pada budaya yang mereka hidupi turun-temurun.
Dua film dokumenter ini mengingatkan kita bahwa perubahan positif dapat dimulai dari menghidupi kembali kearifan lokal yang mungkin sudah lama ditinggalkan. Kesederhanaan dalam kearifan lokal yang dipraktikkan Komunitas Gebetan dan para penenun Sumba terbukti membuat mereka bertahan dan “menang” dalam menghadapi perubahan iklim.
Generasi muda diharapkan dapat ikut menjaga bumi dengan cara-cara sederhana namun berdampak besar, seperti memilih pangan lokal dan memahami makna di balik setiap kain tenun yang dikerjakan dengan penuh ketelitian. Mari kita bersama-sama merajut harapan untuk masa depan yang lebih hijau dan lebih berkelanjutan.