Skip links
Ilustrasi ketersediaan energi terbarukan bagi masyarakat/Freepik

Memperkuat Ketahanan Energi Nasional dengan Energi Terbarukan

Ilustrasi ketersediaan energi terbarukan bagi masyarakat/Freepik

Ketahahanan energi dengan energi terbarukan dapat melepas ketergantungan terhadap bahan bakar fosil, mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan, serta mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.

KOAKSI INDONESIA—Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 2014, ketahanan energi didefinisikan sebagai suatu kondisi terjaminnya ketersediaan energi dan akses masyarakat terhadap energi pada harga yang terjangkau dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan perlindungan terhadap lingkungan hidup. Ketersediaan energi secara berkelanjutan, stabil, dan ramah terhadap lingkungan bagi kebutuhan nasional dapat dipenuhi dengan energi terbarukan. Namun, ada beberapa tantangan yang harus diatasi untuk mengoptimalkan pemanfaatan energi terbarukan demi memperkuat ketahanan energi nasional.

Bahan Bakar Fosil dalam Suplai Energi 

Sebagai salah satu negara dengan populasi terbesar di dunia dan bercita-cita untuk menjadi negara maju dengan pendapatan per kapita yang tinggi, Indonesia membutuhkan energi dalam jumlah besar. Energi itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan penduduknya sekaligus menopang pertumbuhan ekonomi. Sayangnya, dalam memenuhi kebutuhan itu, Indonesia masih bergantung pada bahan bakar fosil, seperti batu bara dan minyak bumi.

Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia 2023 menunjukkan penyediaan energi yang langsung bersumber dari alam (energi primer) selama 10 tahun (2013—2023) masih didominasi batu bara dan minyak bumi. 

Tabel Suplai Energi Primer (%)

Type of Energy 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023
Oil 48.26 46.84 42.06 41.43 41.63 38.79 35.05 31.66 32.10 30.39 29.91
Coal 24.86 25.94 30.10 29.61 30.67 33.06 37.39 37.24 36.36 40.86 39.69
Gas 22.10 22.00 22.93 22.28 20.99 19.51 18.31 20.16 19.71 16.89 17.11
New and Renewable Energy 4.97 5.36 4.92 6.69 6.71 8.64 9.25 10.94 11.83 11.86 13.29
Hydropower 3.16 3.08 2.86 3.69 3.58 2.75 2.53 3.04 2.99 2.78 2.46
Geothermal 1.25 1.31 1.35 1.37 1.52 1.78 1.68 1.94 1.92 1.70 1.70
Solar n.a n.a n.a n.a n.a 0.02 0.03 0.05 0.05 0.09 0.16
Wind n.a n.a n.a n.a n.a 0.03 0.08 0.08 0.07 0.05 0.06
Other Renewables n.a n.a n.a n.a n.a 2.09 1.92 2.04 2.43 2.85 3.12
Solar-powered street lighting and solar powered energy saving lamp n.a n.a n.a n.a n.a 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Biofuel 0.56 0.97 0.69 1.61 1.58 1.94 2.95 3.73 4.27 4.08 4.54
BioGas n.a n.a 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.04
Industrial Biomass n.a n.a 0.01 0.01 0.01 0.02 0.04 0.04 0.09 0.25 1.10
Solar Water Heater n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a 0.05 0.10
Direct Use of Geothermal n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a 0.00 0.00

Sumber: https://www.esdm.go.id/assets/media/content/content-handbook-of-energy-and-economic-statistics-of-indonesia-2023.pdf

Secara ringkas data tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut.

  • Suplai energi primer masih didominasi batu bara dan minyak bumi. Suplai batu bara meningkat dari 24,86% (2013) menjadi 39,69% (2023), sedangkan minyak bumi menurun dari 48,26% (2013) menjadi 29,91% (2023). Data ini berarti batu bara menempati urutan pertama dalam suplai energi primer dan 69,60% suplai energi primer dipenuhi oleh batu bara dan minyak bumi. 
  • Penyediaan EBT meningkat, dari 4,97% (2013) menjadi 13,29% (2023). Walaupun terjadi peningkatan, masih jauh dari persentase batu bara dan minyak bumi. 
  • Untuk jenis energi terbarukan lain seperti air (hydropower), geotermal, matahari (solar), dan angin tidak mencapai 3% pada 2023. Suplai air (2,46%), geotermal (1,70%), matahari (0,16%), dan angin (0,06%).

Kebutuhan Energi Sektor Industri dan Transportasi 

Dalam satu dekade terakhir, ekonomi Indonesia terus bertumbuh di kisaran 5%. Pertumbuhan ini lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi global sekitar 3,1%. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang stabil ini berkaitan erat dengan sektor industri dan transportasi. 

Sektor industri telah menjadi salah satu pilar utama perekonomian Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS, 2024) menunjukkan industri manufaktur telah berkontribusi sebesar 20,39% terhadap produk domestik bruto (PDB) 2023. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi yang tinggi ini menyebabkan peningkatan permintaan terhadap layanan transportasi. Misalnya, sistem transportasi yang andal untuk mendukung kegiatan industri, perdagangan, dan mobilitas masyarakat. 

Baca Juga:  Green Jobs: Pekerjaan Masa Depan untuk Mengentaskan Kemiskinan
Ilustrasi energi terbarukan untuk transportasi/Freepik

Pertumbuhan dalam sektor industri dan transportasi meningkatkan konsumsi energi di kedua sektor ini dibandingkan sektor-sektor lain sebagaimana dikutip dari Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia 2023.

Tabel Konsumsi Energi Final (%)

Year Industry Household Commercial Transportation Other
2013 31.82 13.31 5.06 45.64 4.16
2014 32.04 13.99 5.11 45.08 3.77
2015 32.16 14.55 4.99 45.45 2.85
2016 31.54 15.26 5.31 45.26 2.63
2017 31.44 15.19 5.19 46.03 2.15
2018 34.65 14.09 4.75 44.98 1.53
2019 37.75 13.57 4.59 42.94 1.15
2020 35.00 16.18 4.80 42.81 1.20
2021 32.92 16.36 4.89 44.59 1.24
2022 44.56 12.61 4.21 37.67 0.95
2023 45.60 12.35 4.44 36.74 0.87

Sumber: https://www.esdm.go.id/assets/media/content/content-handbook-of-energy-and-economic-statistics-of-indonesia-2023.pdf

Data dalam tabel di atas memperlihatkan bahwa industri dan transportasi merupakan dua sektor yang paling banyak mengonsumsi energi selama 2013—2023. Persentasenya jauh melebihi tiga sektor lainnya, yaitu rumah tangga, komersial, dan sektor lainnya.

Konsumsi energi yang besar pada kedua sektor ini sayangnya masih didominasi energi fosil seperti dilansir dari sumber yang sama. Pada 2023, konsumsi energi pada sektor industri berupa batu bara sebesar 56,90% dan bahan bakar minyak pada sektor transportasi sebesar 99,86%.

Mengurangi Ketergantungan Energi Fosil

Ketergantungan yang tinggi terhadap energi fosil sudah seharusnya dikurangi karena beberapa alasan berikut. 

  • Ketidakstabilan Pasokan dan Harga 

Pasokan dan harga energi fosil seperti bahan bakar minyak (BBM) sangat dipengaruhi, salah satunya, oleh kondisi geopolitik. Misalnya, Perang Rusia dan Ukraina yang dimulai pada 2022 menyebabkan kenaikan harga minyak dunia. Akibatnya, sejumlah jenis BBM di Indonesia mengalami kenaikan harga. 

Selain itu, kenaikan harga energi global akibat perang tersebut dapat memperdalam defisit neraca perdagangan migas. Suplai energi Indonesia berasal dari impor. Kenaikan harga energi global menyebabkan Indonesia harus mengeluarkan dana lebih besar untuk mengimpor energi tersebut. BPS (2021) mencatat impor minyak dan gas (migas) Indonesia mencapai USD 25.529,1 juta atau meningkat dari USD 14.256,8 juta pada 2020

Dikutip dari Antara (2024), harga minyak dunia memiliki dampak besar terhadap ekonomi dan pengelolaan keuangan negara. Indonesia masih bergantung pada impor minyak sebesar 900 ribu hingga 1 juta barel per hari sementara impor memakai harga dunia. Oleh karena itu, selama harga minyak dunia tidak melebihi batas yang telah diperhitungkan dalam APBN, dampaknya tidak akan terasa terlalu signifikan bagi perekonomian Indonesia. Namun, apabila harga minyak dunia naik tajam, akan terjadi tekanan besar pada anggaran energi dan stabilitas ekonomi.

  • Cadangan Energi Fosil Nasional

Sebagai energi yang tidak dapat diperbarui, energi fosil dapat habis. Pembentukan energi fosil membutuhkan waktu yang sangat panjang hingga jutaan tahun, sementara kebutuhan manusia terus bertambah karena pertambahan jumlah penduduk beserta aktivitas dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka. 

Oleh karena itu, tanpa adanya penemuan cadangan energi fosil baru atau tanpa diversifikasi energi dengan energi terbarukan, Indonesia akan mengalami kekurangan suplai energi. Pada akhirnya, akan mengganggu aktivitas ekonomi dan kehidupan masyarakat.

Data CNBC (2024) menyatakan cadangan minyak diproyeksikan habis dalam 12 tahun ke depan, sedangkan gas sekitar 22 tahun. Sementara batu bara memiliki cadangan lebih banyak seperti dinyatakan Indonesia Mining Assoiation (IMA) dalam CNBC (2024), yaitu mencapai 500 tahun. 

  • Dampak Negatif Terhadap Lingkungan
Ilustrasi emisi bahan bakar fosil menyebabkan polusi udara/Freepik

Sekalipun Indonesia masih memiliki cadangan energi fosil, khususnya batu bara yang mencapai ratusan tahun, penggunaan energi fosil harus diantisipasi dengan melakukan transisi ke energi terbarukan. Transisi energi dilakukan mengingat emisi yang dihasilkan dari penggunaan energi fosil berdampak negatif pada manusia dan lingkungannya. 

Dilansir dari publikasi daring saintifik global Our World in Data (2020), bahan bakar fosil merupakan yang paling kotor dan paling berbahaya dalam jangka pendek dan mengeluarkan gas rumah kaca paling banyak per unit energi. Data yang membandingkan energi fosil dengan energi nuklir dan energi terbarukan ini menunjukkan, batu bara merupakan bahan bakar yang paling kotor. Batu bara mengeluarkan lebih banyak gas rumah kaca daripada sumber lain—lebih dari seratus kali lebih banyak daripada nuklir. Minyak dan gas juga jauh lebih buruk daripada nuklir dan energi terbarukan, tetapi pada tingkat yang lebih rendah daripada batu bara.

Baca Juga:  Konferensi Green Jobs 2023, Interkoneksi Jalin Kolaborasi

Senada dengan pernyataan itu, pusat kajian energi global Ember (2024) menyoroti pelepasan emisi batu bara yang tidak hanya selama pembakaran, tetapi juga selama proses produksi. Selain itu, gas metana yang dilepaskan dari rantai pasokan batu bara memiliki efek pemanasan 30 kali lebih besar daripada karbon dioksida.  

Realisasi Energi Terbarukan

Cadangan energi fosil yang terus menurun dan dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh penggunaan energi ini menjadikan energi terbarukan muncul sebagai solusi yang menjanjikan bagi ketahanan energi Indonesia. Cadangan energi terbarukan tidak akan pernah habis karena bisa terus diperbarui. Selain itu, energi ini tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang besar, beragam, dan tersebar hampir di seluruh wilayahnya.

Transisi menuju energi terbarukan telah menjadi salah satu agenda prioritas pemerintah Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Transisi ini dilakukan seiring dengan komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan memenuhi target internasional yang telah ditetapkan dalam Perjanjian Paris. 

Sebagai negara yang telah meratifikasi Perjanjian Paris melalui UU No. 16 Tahun 2016, Indonesia menyampaikan komitmennya untuk berkontribusi dalam mengurangi emisi gas rumah kaca dari sektor-sektor yang paling banyak menghasilkan gas rumah kaca (GRK). 

Salah satu sektor penyumbang emisi terbanyak di Indonesia adalah sektor energi. Oleh karena itu, mengurangi emisi pada sektor ini dapat mempercepat pencapaian target pengurangan emisi sebagaimana komitmen Indonesia dalam Dokumen Nationally Determined Contributions (NDC)-nya terhadap Perjanjian Paris. 

Isi komitmen itu adalah mencapai target penurunan emisi GRK sebesar 31,89% atas usaha sendiri dan sebesar 43,20% dengan dukungan internasional pada 2030.

Untuk mencapai komitmen itu, Pemerintah Indonesia menargetkan target bauran energi sebesar 17,9% pada 2023. Namun, target itu belum tercapai. Persentase energi baru terbarukan (EBT) memang meningkat 0,79% sehingga menjadi 13,09% pada tahun 2023. Sementara persentase bauran energi tertinggi tahun 2023 masih didominasi batu bara (40,46%), minyak bumi (30,18%), dan gas bumi (16,28%) sebagaimana dikutip dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (2024)

Perbedaan persentase yang besar antara target dan pencapaian bauran energi pada 2023 menjadi alarm bagi kita, mampukah kita mencapai target bauran energi sebesar 23% pada 2025? Mengingat waktu yang tersedia hanya sekitar dua tahun. 

Meski Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang besar, beragam, dan tersebar hampir di seluruh wilayahnya, pemanfaatannya belum optimal. Dilansir dari Katadata (2024), potensi energi EBT Indonesia mencapai 3.687 gigawatt (GW) per Juni 2024 dengan perincian sebagai berikut.

Potensi dan Pemanfaatan EBT Indonesia 2024

no. Energi Tempat Potensi Pemanfaatan
1. Surya Seluruh wilayah Indonesia, terutama Nusa Tenggara Timur (NTT), Kalimantan Barat, dan Riau. 3.294 GW 0,6751 GW 
2. Angin Angin dengan kecepatan di atas 6 meter per detik (m/s) bisa menjadi sumber energi. Banyak ditemukan di NTT, Kalimantan Selatan, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, DI Aceh, dan Papua. 155 GW 0,1523 GW
3. Hidro (air) Seluruh wilayah Indonesia, terutama di Kalimantan Utara (Kaltara), Aceh, Sumatra Barat, Sumatra Utara, dan Papua. 95 GW 0,0066972 GW
4. Laut Seluruh Indonesia, terutama di NTT, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Bali.  63 GW  Belum ada angka pemanfaatan
5. Bioenergi  Seluruh wilayah Indonesia, baik berupa produk utama, limbah lahan perhutanan/perkebunan, dan limbah industri. 57 GW 0,0034084 GW
6.  Panas bumi Kawasan ring of fire, meliputi Sumatra, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, dan Sulawesi. 23 GW 0,0025975 GW 

Tabel itu memperlihatkan bahwa pemanfaatan energi terbarukan masih jauh tertinggal daripada potensinya. 

Energi Terbarukan untuk Ekonomi Berkelanjutan

Ilustrasi pemanfaatan energi terbarukan meningkatkan perekonomian masyarakat/Freepik

Pengembangan energi terbarukan tidak hanya meningkatkan ketahanan energi nasional, tetapi juga memberikan manfaat ekonomi jangka panjang, termasuk penciptaan lapangan kerja dan peningkatan investasi.

Laporan badan energi terbarukan internasional (The International Renewable Energy Agency [IRENA] 2023), menunjukkan total energi terbarukan yang digunakan secara global sejak tahun 2000 telah menghemat sekitar USD 409 miliar biaya bahan bakar di sektor listrik pada 2023. Selain itu, dalam kurun waktu tahun 2000 dan 2010, Asia mencatat penghematan kumulatif tertinggi, yang diperkirakan mencapai USD 212 miliar, diikuti Eropa (USD 88 miliar) dan Amerika Selatan(USD 53 miliar).

Baca Juga:  Menenun Masa Depan: Praktik Baik Komunitas Gebetan dan Penenun Sumba dalam Menghadapi Perubahan Iklim

Sumber itu juga menyatakan, terkait teknologi energi terbarukan yang digunakan, tenaga angin darat menghasilkan penghematan tertinggi, sebesar USD 149 miliar. Tenaga air menghasilkan penghematan tertinggi kedua, sebesar USD 117 miliar, diikuti oleh tenaga surya fotovoltaik, dengan USD 78 miliar.

Ketiga jenis energi terbarukan, yaitu angin, air, dan surya, yang menempati tiga teratas penghematan biaya, dimiliki Indonesia dengan berlimpah dan hampir terdapat di seluruh wilayah negeri ini. Fakta ini mendorong kita untuk lebih lagi mengoptimalkan pemanfaatan energi terbarukan, khususnya tiga jenis energi terbarukan tersebut. 

Selain penghematan biaya, pengembangan energi terbarukan menciptakan banyak lapangan kerja baru di global. Laporan Tahunan 2024 IRENA dan International Labour Organization (ILO) menunjukkan data sebagai berikut.

  • Sepanjang 2023 telah tercipta 16,2 juta pekerjaan energi terbarukan global, naik dari 13,7 juta pada 2022. Tiongkok memiliki 7,4 juta lapangan pekerjaan, atau 46% dari total lapangan pekerjaan global. Uni Eropa (UE) memiliki 1,8 juta lapangan pekerjaan; Brasil 1,6 juta; dan Amerika Serikat serta India masing-masing sedikit lebih dari 1 juta.
  • 7,1 juta pekerjaan fotovoltaik surya (PV) pada tahun 2023, mewakili 44% dari total tenaga kerja energi terbarukan di dunia. Tiongkok mendominasi dengan 4,6 juta pekerjaan, sementara UE berada di urutan kedua dengan 720.000 pekerjaan.
  • 2,3 juta pekerjaan langsung di bidang energi air pada 2023, turun 4% dari 2022, mencerminkan laju yang lebih lambat dalam penambahan pekerjaan baru.
  • 2,8 juta pekerjaan di bidang biofuel pada 2023. Sebagian besar pekerjaan tersebut berada di rantai pasokan pertanian, termasuk pekerjaan musiman dan paruh waktu. Brasil memiliki jumlah pekerjaan terbesar, yaitu 994.000, diikuti oleh Indonesia, sebesar 798.600.
  • 1,5 juta pekerjaan di bidang energi angin pada 2023. Tiongkok memimpin dengan 745.000 pekerjaan, sementara Eropa yang berada di peringkat kedua–yang masih menjadi pemimpin teknologi–memiliki sekitar 316.300 pekerjaan.

Bagaimana dengan Indonesia? Sebagai organisasi masyarakat sipil yang berfokus pada energi terbarukan, Koaksi Indonesia telah melakukan penelitian berkaitan dengan pengembangan energi terbarukan terhadap potensi lapangan kerja di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan, berdasarkan rencana umum energi nasional (RUEN), sektor energi terbarukan memiliki potensi menciptakan lapangan kerja langsung sekitar 432 ribu tenaga teknik pada tahun 2030 dan sebesar 1,12 juta tenaga teknik pada tahun 2050.

Hasil studi yang positif mengenai pengembangan energi terbarukan juga terlihat dalam studi yang dilakukan 350.org dan CELIOS. Energi terbarukan berbasis komunitas mampu menciptakan kontribusi terhadap PDB sebesar Rp10.529 triliun selama 25 tahun, mampu menurunkan angka kemiskinan hingga lebih dari 16 juta orang, dan membuka peluang kesempatan kerja sebesar 96 juta orang di berbagai sektor, tidak sebatas pada energi, tetapi juga pada industri pengolahan dan perdagangan.

Di samping berbagai keunggulan energi terbarukan, memang masih ada berbagai tantangan yang harus kita hadapi dalam pengembangan energi ini. Misalnya, pembangunan infrastruktur energi terbarukan memerlukan investasi yang besar dan teknologi yang memadai, terutama untuk daerah-daerah terpencil yang justru menyimpan sumber energi terbarukan. Dalam pembangunan infrastruktur itu tentu dibutuhkan peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) lokal. Tantangan lain berupa pendanaan yang tinggi untuk memulai proyek pengembangan energi terbarukan serta kebijakan yang konsisten untuk menarik minat investor berinvestasi lebih besar di sektor ini.  

Semua tantangan itu tidaklah membuat kita mundur, tetapi justru mendorong kita semua untuk menggiatkan lagi pengembangan energi terbarukan demi terciptanya ketahanan energi di negeri ini.

Penulis

Beranda
Kabar
Kegiatan
Dukung Kami
Cari