Merayakan 52 tahun sejak penetapan Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang diresmikan pada Konferensi Stockholm, perayaan untuk merawat bumi kali ini diharapkan mampu melindungi lingkungan dari penggurunan dan pengalihan fungsi lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya.
KOAKSI INDONESIA—Berkaca pada mandat tuan rumah Hari Lingkungan Hidup (HLH) Sedunia 2024, Kerajaan Arab Saudi, mengusung tema “Land Restoration, Desertification, and Drought Resilience (Restorasi Lahan, Penggurunan, dan Ketahanan terhadap Kekeringan)”, Indonesia turut merayakan hari spesial bagi bumi ini dengan tema “Penyelesaian Krisis Iklim dengan Inovasi dan Prinsip Keadilan”.
Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), krisis iklim harus diselesaikan dengan melakukan inovasi yang konsisten oleh seluruh pemangku kepentingan serta harus mengedepankan prinsip keadilan dan inklusivisme.
Dalam sambutannya, Menteri KLHK Siti Nurbaya, menegaskan bahwa pemulihan lingkungan erat kaitannya dengan upaya menyelesaikan masalah krisis iklim. Pemulihan ini dapat menjadi kunci untuk mengurangi laju degradasi lahan, meningkatkan mata pencaharian, mengurangi kemiskinan, dan membangun ketahanan terhadap cuaca ekstrem.
“Melalui investasi dalam pemulihan lahan dan ketahanan terhadap kekeringan, kita tidak hanya mengatasi masalah degradasi lingkungan, tapi juga memberi kontribusi nyata dalam mitigasi perubahan iklim,” tambahnya dalam menyambut Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2024.
Permasalahan restorasi lahan yang diangkat ini menggambarkan kembali permasalahan dunia yang tengah menghadapi tiga krisis planet (triple planetary crisis) yang disebutkan oleh The United Nation Environment Programme (UNEP). Dalam kajian pusat studi lingkungan hidup Universitas Gadjah Mada (UGM), tiga krisis planet mengacu pada tiga permasalahan utama terkait perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, serta masalah polusi dan limbah.
Tiga Krisis Planet
Perubahan iklim menjadi topik pembahasan yang terus dibicarakan karena negara-negara di dunia telah merasakan dampaknya. Aktivitas manusia menjadi salah satu pendorong dalam pelepasan emisi gas rumah kaca (GRK) yang menyebabkan perubahan dari suhu dan pola cuaca menjadi semakin ekstrem. Saat ini, Indonesia tengah meningkatkan ambisinya dalam komitmen pengurangan emisi GRK. Target penurunan emisi GRK sebelumnya dengan kemampuan sendiri adalah 29% menjadi 31,89% dan target kerja sama internasional yang sebelumnya 41% menjadi 43,20% pada rancangan ENDC 2024.
Penurunan jumlah keanekaragaman hayati seperti flora, fauna, dan ekosistemnya dapat terjadi oleh beberapa faktor seperti berkurangnya habitat akibat dari penggurunan lahan karena perubahan iklim maupun karena aktivitas manusia. Hilangnya keanekaragaman hayati akan berdampak pada pasokan makanan dan akses air bersih yang merupakan elemen penting untuk masa depan bumi.
Baca Juga: Melestarikan Hutan, Mengembangkan Energi Terbarukan
Fenomena perubahan tutupan lahan hutan menjadi bukan hutan atau deforestasi selain menghilangkan fungsi hutan sebagai pengatur iklim makro, juga mengurangi sumber pangan dan papan bagi masyarakat, menurunkan fungsinya untuk konservasi air dan tanah, serta dapat menurunkan potensi biodiversitas. Dalam data Forest Watch Indonesia tahun 2024, deforestasi tahun 2017–2021 mencapai sekitar 2,54 juta ha/tahun.
Pencemaran udara seperti polusi dan limbah turut menjadi fokus masalah yang mendesak sebab pencemaran dapat menjadi penyebab penyakit dan kematian dini bagi manusia. Maraknya penggunaan kendaraan yang menyebabkan kepadatan lalu lintas hingga fenomena kebakaran hutan membuat kualitas udara di bumi makin menurun.
Tiga krisis planet ini dapat menjadi acuan pemerintah dalam memfokuskan penyelesaian masalah di Indonesia. Selain menambahkan tingkat ambisius dalam target ENDC, sebagaimana diamanatkan dalam Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2023 tentang Pengarusutamaan Pelestarian Keanekaragaman Hayati dalam Pembangunan Berkelanjutan, diharapkan setiap sektor mampu bersinergi untuk memastikan pemanfaatan keanekaragaman hayati yang berkelanjutan.
Permasalahan Lahan di Indonesia
Permasalahan lahan menjadi isu yang menunjukkan adanya benturan kepentingan antara pemangku kepentingan dan masyarakat. Berikut tiga contoh pengalihan fungsi lahan yang menjadi berita hangat di media massa akhir-akhir ini.
Pembangunan Resort dan Beach Club di Gunungkidul
Akhir tahun 2023, artis ibukota Raffi Ahmad, mengumumkan rencananya untuk membuat resort dan beach club di Pantai Krakal, Kapanewon Tanjungsari, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta. Pembangunan di bawah proyek PT Agung Rans Bersahaja Indonesia (ARBI) ini direncanakan membangun 300 vila dan tiga restoran. Dikutip dari berita Kompas 24 Desember 2023, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Yogyakarta telah menyampaikan ketidaksetujuan mengenai pembangunan itu karena terletak di kawasan bentangan alam karst (KBAK) Gunung Sewu yang merupakan kawasan lindung nasional.
Pembangunan di kawasan lindung karst dapat menimbulkan kerusakan yang cukup serius. Kerusakan topografi karst akan mengakibatkan kekeringan, banjir, longsor, krisis air bersih, dan sebagainya. Sangat disayangkan, rencana pembangunan yang belum memiliki analisis dampak lingkungan (AMDAL) itu sudah mendapatkan persetujuan dari Bupati Gunungkidul, Sunaryanta.
Melalui platform change.org dan upaya kampanye dari berbagai komunitas dan individu, masyarakat Indonesia mulai menunjukkan penolakan dengan ramai menyebarkan petisi untuk membatalkan pembangunan resort tersebut. Semoga keputusan apa pun yang menjadi langkah ke depannya tidak merugikan rakyat.
Sengketa Tanah Adat Papua
Beberapa hari silam, tepatnya 27 Mei 2024, masyarakat adat papua dari suku Awyu dan suku Moi melakukan aksi demonstrasi di depan gedung Mahkamah Agung. Sebelum menunjukkan aksi di pelataran kawasan Jakarta Pusat ini, mereka telah melalui proses sidang pengadilan yang cukup pelik.
Dilansir dari berita nasional Tempo.id, asal mulanya dari pemerintah provinsi yang mengeluarkan izin kelayakan lingkungan hidup kepada PT Indo Asiana Lestari pada 36.094 ha terhadap hutan adat suku Awyu. Di lain sisi, suku Moi menghadapi PT Sorong Agro Sawitindo yang memiliki rencana membuka lahan 18.160 ha hutan untuk dijadikan perkebunan sawit.
Baca Juga: Desa Wisata Tanggedu: Proses Berkelanjutan antara Alam dan Kebudayaan
Hutan adat merupakan aset berharga bagi masyarakat yang kesehariannya bergantung pada hutan. Tempat mendapatkan sandang, pangan, dan papan yang turun-temurun dijadikan budaya bagi mereka tentu tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Oleh karena itu, peran negara dibutuhkan sebagai entitas pelindung masyarakat.
Pengalihan fungsi kawasan hutan menjadi perkebunan sawit masih menjadi permasalahan nasional. Perubahan peruntukan kawasan yang disebut seluas setengah luasan Jakarta ini akan melepaskan 25 juta ton emisi CO2e yang tentunya akan memperparah krisis iklim. Menyorot isu tersebut, khalayak ramai mulai menunjukkan kepeduliannya dengan melakukan aksi kampanye media sosial. Sejumlah 200.000 lebih masyarakat menunjukkan keberpihakannya untuk menolak izin pengalihan lahan sawit melalui change.org.
Praktik Food Estate Kalimantan Tengah
Mengulur beberapa waktu lalu, tahun 2020, Pemerintah mencanangkan proyek food estate nasional yang bertujuan untuk meningkatkan produksi pertanian. Proyek ini digadang-gadang dapat memenuhi produksi pertanian sebagai bentuk ketahanan pangan bagi lima lokasi yang dianggap strategis di Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Papua.
Berita yang diliput oleh BBC Indonesia, proyek food estate yang dimulai di Gunung Mas, Kalimantan Tengah, mengalami kegagalan pemanenan singkong pada lahan seluas 600 ha. Lahan yang sebelumnya merupakan kawasan hutan yang telah berubah menjadi kebun singkong ini kini mangkrak dan tandus. Pemilihan komoditas singkong cukup mengherankan karena topografi Gunung Mas yang berpasir dan berada di dataran tinggi kurang cocok untuk dijadikan lahan pertanian.
Masih dari sumber yang sama. Contoh kegagalan lainnya adalah program food estate di Desa Mantangai Hulu, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, yang menggarap lahan rawa gambut menjadi persawahan. Lahan rawa gambut seluas 17 ha tersebut dibabat habis semak belukarnya dan dibuatkan pematang sawah. Petani di sekitarnya juga tidak diberikan pelatihan memadai untuk mengolah lahan padi yang pengolahannya berbeda dari kebiasaan mereka saat mengelola lahan gambut. Akibatnya, lahan tersebut kembali menjadi bekas pematang sawah yang dipenuhi semak belukar.
Kasus-kasus tersebut menjadi peringatan bagi kita semua bahwa sengketa lahan masih banyak terjadi dan sudah semestinya pelestarian alam menjadi pondasi utama keberlangsungan hidup. Belum lagi, Peraturan Pemerintah (PP) No. 25 Tahun 2024 yang memungkinkan organisasi kemasyarakatan keagamaan mengelola lahan pertambangan. Entah apakah peruntukan kebijakan ini tepat atau tidak, namun kepentingan utama yang harus diusung bersama adalah keseimbangan alam harus terus berkelanjutan.
Koaksi Indonesia dalam Upaya Mitigasi Perubahan Iklim
Walaupun Koaksi Indonesia berfokus di bidang transisi energi, payung besar yang dilakukan adalah untuk mengawal penurunan dampak dari perubahan iklim. Koaksi Indonesia turut berperan dalam membantu proses advokasi masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) khususnya Kota Kupang dalam program Voices for Just Climate Action (VCA).
Salah satu proses advokasi yang dijalankan dengan membantu mengawal penetapan peraturan desa (Perdes) Tanah Merah. Perdes ini menjadi tonggak pengelolaan kawasan mangrove di Desa Tanah Merah. Harapannya dengan penetapan Perdes ini masyarakat setempat semakin sadar akan pelestarian mangrove karena mereka akan diberikan ruang untuk memanfaatkan kawasannya sehingga memberikan dampak keekonomian bagi mereka.
Langkah pelestarian lingkungan merupakan komitmen yang serius dan proses panjang yang harus dijalani dengan konsisten. Namun, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999, bahwa hutan dan kekayaan alam harus dimanfaatkan secara optimal dan dijaga kelestariannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat serta generasi yang akan datang. Oleh karena itu, dalam perayaan Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2024 kali ini mari berfokus pada keberlanjutan lahan sebagai wujud pemaknaan impian baik sehingga slogan Our Land, Our Future dapat terwujud.