
Kilas Balik Kebersamaan Program VCA Mama Bagarak

Program keadilan iklim Mama Bagarak di NTT memang telah berakhir. Namun, semangat perubahan dan aksi iklim dalam menjaga keberlanjutan lingkungan harus terus berjalan.
KOAKSI INDONESIA—Perubahan iklim adalah tantangan global yang paling dirasakan dampaknya di tingkat lokal, khususnya oleh kelompok rentan yang sering kali tidak memiliki ruang dan kapasitas untuk menyuarakan kebutuhan mereka.
Menjawab tantangan ini, Yayasan Humanis memimpin program Voices for Just Climate Action dalam beberapa koalisi. Koaksi Indonesia dan Pikul yang tergabung dalam Koalisi Sipil menginisiasi gerakan bernama Mama Bagarak—Masyarakat Sipil dan Marginal Beraksi sebagai Solusi Keadilan Iklim—yang berfokus pada pemberdayaan masyarakat sipil, komunitas, dan kelompok marginal sebagai pemegang hak (rightholder) utama.
Program yang berlangsung selama empat tahun ini berupaya membangun ekosistem kolaboratif agar rightholder dapat berperan aktif dalam menginisiasi, mengimplementasikan, dan menyebarluaskan solusi iklim sesuai dengan konteks lokal.
Sejak 2021, Mama Bagarak dimulai dengan pemetaan kebutuhan melalui diskusi partisipatif dan kajian lapangan. Hasil pemetaan itulah yang menjadi dasar penyusunan rencana pelatihan yang relevan dan kontekstual, baik dalam hal advokasi kebijakan, manajemen komunitas, hingga inovasi aksi adaptasi iklim berbasis lokal. Program ini tidak berhenti pada transfer pengetahuan, tetapi juga membangun jejaring pembelajaran antarkomunitas agar setiap kelompok dapat berbagi pengalaman, strategi, dan tantangan yang mereka hadapi.
Apa Kata Mereka tentang Program Ini?

Lebih jauh, Mama Bagarak mendorong pembentukan forum-forum aksi lintas sektor yang melibatkan berbagai pihak—masyarakat sipil, pemerintah, akademisi, media, hingga sektor swasta. Pendekatan pentaheliks ini menjadi kunci untuk memastikan keberlanjutan transformasi yang terjadi di wilayah Kota dan Kabupaten Kupang.
Keenam tokoh ini merupakan penggerak forum-forum itu. Berikut penuturan mereka.
- Ketangguhan Komunitas Disabilitas

Sepanjang program VCA, Mama Desy menunjukkan peran penting sebagai penggerak inklusi dan ketangguhan komunitas disabilitas dalam menghadapi perubahan iklim. Dia terlibat sebagai narasumber edukasi kebencanaan yang inklusif di dua desa pesisir, Desa Sulamu dan Desa Tanah Merah, dengan menjelaskan secara terbuka siapa itu penyandang disabilitas serta bagaimana masyarakat dapat berkomunikasi dengan mereka tanpa rasa takut.
“Kenapa harus inklusif disabilitas dalam isu kebencanaan? Karena saat bencana atau dampak perubahan iklim terjadi, jumlah penyandang disabilitas bisa bertambah, dan orang nondisabilitas pun bisa menjadi disabilitas,” ungkap Mama Desy, menekankan urgensi perspektif inklusi dalam mengatasi masalah kebencanaan.
Tak hanya memberi edukasi, Mama Desy dan rekan-rekan terlibat aktif dalam aksi nyata seperti penanaman pohon dan memilah sampah di Kota Kupang. Melalui langkah-langkah ini, Mama Desy membuktikan bahwa penyandang disabilitas bukan hanya penerima dampak, tetapi juga menjadi pelaku utama dalam aksi adaptasi perubahan iklim yang berkelanjutan.
- Semangat Majelis Nelayan Bersatu Kota Kupang

Bagi Yasinta, pengalaman terlibat dalam program VCA menjadi sesuatu yang sangat berharga dan patut disyukuri. Salah satunya adalah keberhasilan kelompok perempuan nelayan yang tergabung dalam Majelis Nelayan Bersatu Kota Kupang melakukan inovasi pengelolaan sumber daya pesisir dan laut yang bukan hanya memiliki nilai ekonomi, tetapi juga berdampak ekologis.
Selama di VCA, dia dan teman-teman perempuan nelayan mendapat pemahaman lebih mendalam mengenai dampak perubahan iklim dan langkah konkret mengantisipasinya.
“Dahulunya kita acuh tak acuh, sekarang jadi punya kemauan untuk antisipasi dampak perubahan iklim,” tambah Yasinta. Tak hanya memperoleh pengetahuan untuk dirinya sendiri, Yasinta juga membagikannya kepada komunitas, sehingga makin banyak memiliki teman baru, dan bahkan diundang mewakili perempuan nelayan dalam musrenbang dan proses pengambilan keputusan.
Melalui VCA, komunitas Majelis Nelayan Bersatu juga semakin dikenal, baik di kalangan pemerintah maupun masyarakat. Yasinta berharap, “Semoga ke depan masih ada program-program serupa yang menjangkau perempuan nelayan pesisir Kota Kupang, agar semakin banyak edukasi dan kegiatan yang membantu bertahan menghadapi krisis iklim yang nyata di depan mata.”

Selain kelompok perempuan nelayan, Radit sebagai bagian dari Majelis Nelayan Kota Kupang merasakan banyak hal yang membekas dan membuka ruang baru dalam hidupnya. Dia berkesempatan mengenal banyak orang baru, baik di kota maupun kabupaten, serta menjalin relasi dengan teman-teman dari Koalisi Kopi dan Komite Eksekutif Daerah (KED).
“Beta bisa keliling tempat-tempat yang belum pernah beta pergi, misalnya ke Sumba sama ke Flores, terus bisa kenal budaya-budaya di sana,” ungkap Radit tentang pengalaman berharga itu. Melalui Koalisi Sipil, Radit juga pertama kali terlibat dalam isu iklim dan menemukan ruang untuk menyuarakan kegelisahan yang selama ini hanya disimpannya sendiri.
“Beta rasa ketika ada VCA, beta dapat berkawan untuk sampaikan beta punya keresahan, sampai bisa ke Komnas HAM,” katanya.
Jejak perjumpaan ini pun menumbuhkan semangat baru, Radit mendirikan XR Kupang bersama teman-teman, membawa suara perubahan iklim ke tingkat lokal. Bagi Radit, VCA bukan sekadar program, melainkan proses belajar yang memberdayakan dan menyalakan harapan agar masih ada kolaborasi dan program baru setelah ini, demi terus bersuara tentang isu perubahan iklim di Nusa Tenggara Timur (NTT).
- Keaktifan Bank Sampah Sulamu

Menjelang akhir program VCA, terdapat penambahan aktor lokal yang berkontribusi dalam upaya aksi iklim. Salah satu program yang saat ini sedang aktif dilakukan adalah Bank Sampah di Desa Sulamu. Program ini telah diinisiasi sejak 2023, dengan melakukan sejumlah sosialisasi awal terkait bank sampah hingga sekarang pada 2025 telah terbentuk kelompok aktif dalam menjalankan bank sampah.
Muhammad Sinjing, salah satu tokoh masyarakat di Kelurahan Sulamu, sekaligus Ketua Sementara Bank Sampah Sulamu menyampaikan rasa syukurnya atas kehadiran program bank sampah yang diinisiasi bersama Yayasan Pikul.
Kehadiran bank sampah terbukti membantu masyarakat, baik para pemulung maupun warga lain yang terlibat langsung. Tak hanya berdampak pada kebersihan lingkungan, program ini juga memberi manfaat ekonomi tambahan bagi warga.
Sinjing berharap kegiatan bank sampah ini dapat lebih diaktifkan lagi, agar manfaatnya semakin dirasakan oleh masyarakat Sulamu. “Ke depannya, kami minta supaya lebih giat lagi, lebih diaktifkan lagi, agar masyarakat Sulamu merasa terbantu baik dari segi ekonominya ataupun dari segi sampahnya sendiri,” tambahnya.
- Semangat Juang Desa Tanah Merah

Tidak hanya pada level masyarakat sipil, program VCA juga melibatkan peran pemerintah lokal yang ada.
Kepala Desa Tanah Merah, Lazarus Dilak, berbagi kisah panjang dan penuh tantangan saat merumuskan Peraturan Desa (Perdes) tentang Perlindungan dan Pemanfaatan Mangrove di Desa Tanah Merah.
“Prosesnya ini sangat melelahkan karena memang kami belum berpengalaman dalam membuat sebuah peraturan,” tuturnya. Bersama Yayasan Pikul, sejak 2021 hingga 2023, mereka merumuskan draf awal yang kemudian dikonsultasikan ke Biro Hukum Kabupaten Kupang.
Lazarus menyebut, Perdes ini bukan hanya menjadi dokumen hukum, tetapi juga menjadi pengalaman berharga bagi pemerintah desa dalam menyusun regulasi yang berpihak pada kelestarian lingkungan.
“Kami berharap peraturan desa ini dapat memberikan manfaat yang baik bagi masyarakat di Tanah Merah, khususnya bagi mereka yang mata pencariannya di bidang perikanan,” tambahnya.
Dengan perlindungan mangrove yang lebih terarah, hasil tangkapan seperti udang dan ikan pun meningkat, membawa harapan baru bagi kesejahteraan dan keberlanjutan ekosistem pesisir desa.
- Bertumbuhnya Pokja Perubahan Iklim di NTT

Sebagai perwakilan dari Pokja Perubahan Iklim Provinsi NTT, Sherley Willa Huky menggambarkan bagaimana Pokja ini tumbuh menjadi ruang kolaborasi yang semakin dinamis.
“Hampir setiap tahun keanggotaannya terus berubah, bertambah. Ini berarti bahwa semakin banyak stakeholder yang mau bekerja dalam isu-isu perubahan iklim,” ungkap Sherley.
Pokja Perubahan Iklim menjadi wadah yang memfasilitasi berbagai pihak, mulai dari lembaga mitra, perangkat daerah, akademisi, organisasi profesi, hingga kelompok masyarakat yang aktif melakukan aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Meski dihadapkan pada tantangan komitmen dan ketersediaan waktu—karena setiap anggota memiliki kesibukan masing-masing—mereka tetap menjaga kolaborasi melalui komunikasi informal dan grup WhatsApp, yang menjadi ruang diskusi lintas sektor.
Dalam momentum penyusunan dokumen perencanaan pembangunan daerah, Pokja Perubahan Iklim telah berhasil mengintegrasikan isu-isu adaptasi dan mitigasi perubahan iklim ke dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) provinsi dan kabupaten/kota.
Perjalanan Koalisi Sipil
Selama perjalanan program VCA, Koalisi Sipil dan para mitra telah menghasilkan beragam produk pengetahuan yang mendokumentasikan aksi, refleksi, dan pembelajaran komunitas di NTT. Berbagai film dokumenter dan video telah dihasilkan, termasuk seri Film “Climate Witness” pada tahun 2023, 2024, dan produksi terbaru tahun 2025 oleh sineas lokal, yang menangkap secara mendalam upaya masyarakat sipil dalam menghadapi krisis iklim.
Program ini juga mendorong keterlibatan media massa dengan menghasilkan puluhan pemberitaan, mulai dari hasil kunjungan jurnalis, liputan diskusi kebijakan provinsi, hingga pemberitaan nasional seperti “Buka Mata Narasi Newsroom”.
Selain itu, untuk memperkuat dasar advokasi, dilakukan penyusunan publikasi riset perubahan iklim dan working paper tentang penerapan GEDSI dalam transisi energi oleh Koaksi Indonesia, serta memo kebijakan yang disampaikan kepada Gubernur NTT.

Upaya edukasi publik juga tecermin lewat podcast yang mengangkat solusi iklim lokal, serta pendampingan jurnalisme warga yang menghasilkan puluhan publikasi berupa video dan foto yang dibuat langsung oleh masyarakat pesisir.
Tak kalah penting, program ini turut mendorong lahirnya beragam artikel yang diterbitkan di situs web Coaction Indonesia, menjadi catatan kolektif perjalanan gerakan iklim berkeadilan.
Semua produk pengetahuan ini tidak hanya menjadi dokumentasi, tetapi juga alat amplifikasi yang memperkuat suara masyarakat sipil, memperkaya wacana perubahan iklim, serta menginspirasi kolaborasi lintas pihak di tingkat lokal, nasional, hingga global.

Dalam kerja lintas koalisi selama periode 2023–2025, Koalisi Sipil memainkan peran penting sebagai penggerak kolaborasi, komunikasi, dan penguatan narasi perubahan iklim berbasis komunitas.
Melalui pembentukan tiga kelompok kerja utama (task force/TF)—Komunikasi, Advokasi, dan Manajemen Data—Koalisi Sipil memfasilitasi koordinasi dan memperkuat sinergi lintas anggota dengan menjadi aktor kunci dalam merancang dan mengimplementasikan Strategi Kampanye VCA.
Koalisi Sipil mewujudkan strategi itu melalui berbagai kegiatan publik seperti Pesta Raya Flobamoratas (PRF)—menjadi Ketua PRF tahun 2023—selama tiga tahun berturut-turut, Jambore Gotong Royong Untuk Flobamoratas (GRUF) dan menjadi produser Film “Climate Witness”.
Koalisi Sipil juga mendorong advokasi berbasis bukti dengan menyusun Policy Paper 2025, mendukung pelaksanaan Workshop Kebijakan Provinsi NTT, dan berpartisipasi aktif dalam Diskusi Kebijakan Nasional.
Untuk mendukung upaya pengembangan usaha lokal milik kelompok masyarakat, Koalisi Sipil menggandeng PT WEWO Kinarya Bangsa memberikan pelatihan ide pengembangan usaha. Pengembangan ini bertujuan untuk melatih dasar kewirausahaan dan potensi pendanaan bagi kelompok lokal NTT, khususnya Majelis Nelayan dan UMKM lokal.
Dalam hal dokumentasi dan penyebarluasan pengetahuan, Koalisi Sipil turut berpartisipasi dalam menerbitkan Buku Cerita Dampak VCA 2025 serta mengintegrasikan data aksi dan capaian program ke dalam platform suaraaksiiklim.id.
Semua upaya ini memperlihatkan bagaimana Koalisi Sipil tidak hanya menjadi ruang kolaborasi antarorganisasi, tetapi juga jembatan antara komunitas akar rumput, pembuat kebijakan, dan publik luas dalam mewujudkan aksi iklim berkeadilan.
Optimisme untuk Selalu Melakukan Aksi Kolektif Bersama

Selama berjalannya program suara keadilan iklim ini, terlihat refleksi dan pembelajaran lintas Koalisi Sipil, Koalisi VCA NTT, hingga Aliansi Nasional. Muncul kesadaran bahwa kolaborasi efektif tak hanya bergantung pada kebersamaan, tetapi juga pada intensitas koordinasi yang kuat.
Sejalan dengan pernyataan Ridwan Arif, perwakilan Koalisi Sipil dari Koaksi Indonesia, dan VCA saat audiensi pertama pada 18 Januari 2022, di hadapan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bappelitbangda) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) di kantor Bappelitbangda NTT, Kupang.
“Program VCA penting untuk menggali dan mengamplifikasi aksi-aksi perubahan iklim berbasis lokal melalui kolaborasi multipihak. Lalu, bagaimana aksi-aksi ini dapat mendorong pengayaan kebijakan iklim yang sudah ada dan perencanaan pembangunan rendah emisi daerah serta adaptif terhadap dampak perubahan iklim.”
Penguatan kapasitas para pelaku aksi iklim lokal perlu terus dilakukan agar tercipta dampak yang terukur dan berkelanjutan. Rekognisi terhadap narasi aksi lokal dan pelibatan berbagai pihak, termasuk akademisi dan sektor swasta, membuka peluang untuk inovasi berbasis teknologi dan komunikasi.

Tumbuhnya aksi kolektif menjadi penopang ketahanan komunitas dalam menghadapi dampak perubahan iklim, sedangkan advokasi kebijakan dari tingkat desa hingga nasional memastikan keberlanjutan program-program pembangunan yang inklusif.
Program Mama Bagarak telah menunjukkan bahwa masyarakat sipil dan kelompok marginal bukan hanya penerima dampak, tetapi juga penggerak utama aksi iklim yang adil dan berkelanjutan.