Skip links

Ketika “Dewa Penjaga Laut” Merawat Laut di Sisi Timur Laut Kota Kupang

Kegiatan penurunan rumpon ikan ke laut/Vania Daniela Bunga, Yayasan Pikul

Aksi merawat laut dengan rumpon yang dilakukan Om Dewa dan kelompok nelayannya sejak 2021 menjadi bukti keberhasilan konservasi laut berbasis ekosistem. 

KOAKSI INDONESIA—Dalam beberapa tahun terakhir, perubahan iklim dan cuaca ekstrem telah mengubah ritme hidup nelayan di Kota Kupang secara drastis. Jika sebelumnya mereka bisa melaut hingga delapan bulan dalam setahun, kini pada 2025 hanya sekitar lima bulan. Gelombang tinggi dan kondisi laut yang tidak stabil membuat nelayan kecil tidak berani melaut. Mereka yang nekat, terpaksa menyeberang hingga ke perairan Australia, dengan risiko ditangkap karena memasuki wilayah negara lain.

Muhammad Mansyur Dokeng—akrab disapa Om Dewa—di Desa Oesapa, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) mengatakan, “Kerusakan terumbu karang akibat badai tropis Seroja, praktik penangkapan yang merusak, dan meningkatnya biaya operasional membuat para nelayan harus melaut hingga 18 mil hanya untuk memenuhi kebutuhan harian.” 

Kondisi itu menggelisahkan Om Dewa. Hingga pada 2021, dia dan kelompok nelayan yang dipimpinnya menggagas pembuatan rumah ikan atau rumpon sebagai bentuk adaptasi terhadap krisis ekosistem laut yang semakin parah.

Rumpon, atau rumah ikan, adalah alat bantu penangkapan ikan yang dirancang untuk menarik dan mengumpulkan ikan di satu titik. Prinsip utamanya sederhana yaitu membuat ikan secara alami tertarik pada benda terapung yang mencolok (thigmotaxis). Rumpon juga menjadi habitat bagi biota laut kecil yang menjadi sumber makanan ikan, sehingga tercipta rantai makanan yang membuat ikan berkumpul.

Baca Juga:  #AdvancingClimateAction: Memaknai Aksi Iklim untuk Melindungi Ozon Kita

Selain peran ekologisnya yang membentuk ekosistem mini di laut, rumpon memiliki fungsi teknis penting. Kehadirannya membantu nelayan mengurangi ketidakpastian lokasi penangkapan, menghemat waktu dan biaya operasional, serta meningkatkan efisiensi penangkapan ikan pelagis yang hidup bergerombol.

Melalui inisiatif rumah ikan, kelompok nelayan Om Dewa mulai melihat perubahan positif. Dengan biaya operasional yang jauh lebih rendah, yakni hanya sekitar Rp100.000–Rp120.000, nelayan bisa memperoleh hasil tangkapan senilai Rp600.000 hingga Rp1.000.000 hanya dalam satu malam. Artinya, penghasilan meningkat lebih dari tiga kali lipat, sekaligus mengurangi tekanan terhadap wilayah tangkapan yang terlalu jauh dan mahal.

Rumah ikan yang dibuat dari bambu dan daun kelapa ditempatkan di titik-titik laut yang telah dipetakan dengan cermat agar tidak merusak ekosistem dasar seperti terumbu karang. Dalam waktu 3–4 bulan, struktur bambu ini mulai ditumbuhi rumput laut, karang, serta menjadi habitat bagi berbagai jenis ikan seperti kakap merah, kakap putih, kue, hingga mubara.

Rumpon karya Om Dewa dan kelompok nelayannya/Koaksi Indonesia

Secara alami, ekosistem ini tumbuh menjadi pusat reproduksi dan perkembangbiakan ikan. Penggunaan rumpon memberikan sejumlah keuntungan bagi nelayan, antara lain menekan penggunaan bahan bakar, mempercepat penentuan lokasi penangkapan, serta memperpendek durasi hari melaut. Secara umum, keberadaan rumpon mampu menurunkan biaya operasional dan meningkatkan jumlah ikan yang diperoleh dalam setiap perjalanan melaut.

Kini, nelayan tidak hanya memetik hasil jangka pendek, tetapi juga membangun cadangan ekologi untuk generasi mendatang. Namun untuk menjaga keberlanjutan sumber daya, kelompok nelayan Om Dewa telah menyepakati sistem pembagian zona tangkap berdasarkan ukuran kapal. Kapal-kapal kecil (12 gross tonnage [GT]) boleh menangkap dekat rumah ikan, sementara kapal yang lebih besar wajib melaut lebih jauh.

Baca Juga:  Aktor Lokal NTT Sinergikan Aksi Iklim Bersama

Praktik Penangkapan Terukur

Para nelayan menerapkan sistem penangkapan terukur/Vania Daniela Bunga, Yayasan Pikul

Untuk menjaga keberlanjutan rumah ikan, kelompok Nelayan Om Dewa telah menerapkan sistem penangkapan terukur secara sadar. Mereka menetapkan jarak tangkap minimal 200–400 meter dari titik rumpon, agar ikan-ikan yang berkembang di rumah ikan tidak langsung diambil. Mereka menyadari bahwa jika penangkapan dilakukan terlalu dekat, ikan tidak punya waktu berkembang biak dan ekosistem akan cepat rusak. 

Meskipun belum ada sistem tanda khusus di permukaan laut, nelayan saling mengingatkan untuk tidak menangkap ikan terlalu dekat dengan lokasi rumpon. Risiko jaring tersangkut dan rusak juga menjadi faktor disiplin secara alami dalam menjaga jarak. 

Selain itu, mereka menerapkan prinsip untuk tidak menangkap ikan terlalu banyak melebihi permintaan pasar. Dengan strategi ini, mereka tak hanya melindungi sumber daya, tetapi juga menjaga stabilitas harga ikan di pasar lokal. Pendekatan ini memperlihatkan bahwa sistem berbasis pengetahuan lokal dan kontrol sosial bisa menjadi solusi efektif untuk konservasi laut.

Inisiatif rumah ikan ini sebagian besar dibangun secara swadaya oleh masyarakat nelayan, dengan dukungan awal dari PLN Peduli. Setelah melihat manfaatnya, nelayan mulai menambah unit-unit rumpon dengan anggaran sendiri. Target mereka adalah menambah jumlah rumah ikan setiap tahun agar terbentuk ekosistem berlapis yang berfungsi seperti bakal karang permanen. 

Baca Juga:  Seri Energi Terbarukan: Pembangkit Listrik Tenaga Surya

Menuju Kedaulatan Komunitas Nelayan

Kelompok nelayan Om Dewa, Desa Oesapa/Vania Daniela Bunga, Yayasan Pikul

Om Dewa dan kelompoknya tidak hanya berhasil menumbuhkan habitat ikan, tetapi juga mengembangkan pendekatan adaptasi berbasis ekosistem yang bisa direplikasi. Inisiatif ini berpotensi menjadi praktik baik yang menginspirasi kelompok nelayan lain di pesisir NTT. 

Dalam praktiknya, rumah ikan komunitas ini cenderung tidak memiliki pelampung atau penanda visual karena sifatnya ditenggelamkan, sehingga hanya diketahui oleh pemiliknya lewat GPS. Keberadaan GPS mempermudah nelayan mengontrol wilayah tangkap masing-masing dan mengefisienkan waktu mereka karena bisa langsung menuju lokasi rumpon.

Inisiatif rumah ikan yang digagas oleh Om Dewa dan kelompok nelayan di sisi timur laut Kota Kupang tidak hanya menjadi solusi teknis untuk meningkatkan hasil tangkapan, tetapi juga menjadi pemantik kesadaran kolektif tentang pentingnya kedaulatan laut sebagai basis pembangunan ekonomi lokal. Suatu negara secara eksklusif dan bebas untuk melakukan berbagai aktivitas di wilayah laut yang menjadi haknya. Singkatnya, kedaulatan laut berarti kewenangan negara untuk mengatur wilayah lautnya demi kepentingan nasional, baik dari segi politik, ekonomi, maupun keamanan.

Selain rumah ikan, kelompok nelayan Om Dewa mulai merancang konservasi mangrove. “Kami menggunakan pendekatan hybrid infrastructure, yaitu pagar dari bambu dan ranting untuk menahan sedimentasi, sebagai dasar penanaman bibit mangrove,” ujar Om Dewa. 

Konservasi yang dilakukan Om Dewa dan kelompok nelayannya ini sekaligus menunjukkan bahwa konservasi laut tidak harus mahal, tapi memerlukan pengetahuan lokal, kerja sama, dan kesadaran kolektif.

Penulis

Beranda
Kabar
Kegiatan
Dukung Kami
Cari