Salah satu pendorong utama penurunan keanekaragaman hayati adalah perubahan iklim. Padahal, untuk menghadapi perubahan iklim diperlukan keanekaragaman hayati yang lestari.
KOAKSI INDONESIA—Perubahan iklim dan penurunan biodiversitas merupakan dua krisis besar dunia saat ini. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendefinisikan keanekaragaman hayati atau biodiversitas sebagai segala bentuk kehidupan di bumi, dari gen dan bakteri hingga seluruh ekosistem seperti hutan dan terumbu karang. Biodiversitas yang ada saat ini merupakan hasil evolusi selama 4,5 miliar tahun dan keberadaannya sangat bergantung pada manusia.
Sementara perubahan iklim, dilansir dari PBB, mengacu pada perubahan jangka panjang dalam suhu dan pola cuaca yang terjadi secara alami. Namun sejak tahun 1800-an, aktivitas manusia telah menjadi penyebab utama perubahan iklim, terutama akibat pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak, dan gas. Pembakaran ini menghasilkan emisi gas rumah kaca yang melingkupi bumi dan memerangkap panas matahari, sehingga terjadi kenaikan suhu bumi.
Perubahan Iklim Sebagai Pendorong Utama Penurunan Biodiversitas
Kenaikan suhu bumi akibat perubahan iklim menimbulkan konsekuensi serius terhadap ekosistem darat, laut, dan air tawar di seluruh dunia. PBB menyatakan bahwa risiko kepunahan spesies meningkat seiring dengan peningkatan suhu.
Masih dari sumber yang sama. Di daratan, kenaikan suhu 1,5°C mengakibatkan 4% mamalia kehilangan setengah habitatnya; kenaikan suhu 2°C mengakibatkan 8% mamalia kehilangan setengah habitatnya; dan kenaikan suhu 3°C mengakibatkan 41% mamalia kehilangan setengah habitatnya. Sementara di lautan, kenaikan suhu meningkatkan risiko hilangnya ekosistem laut dan pesisir yang tidak dapat dipulihkan serta kehancuran terumbu karang. Kenaikan suhu 1,5°C mengakibatkan 70—90% terumbu karang punah dan kenaikan suhu 2°C mengakibatkan 90% terumbu karang punah.
Selain itu, sebuah penelitian yang telah diterbitkan di Jurnal internasional Biological Conservation menunjukkan bahwa perubahan iklim diproyeksikan berdampak negatif terhadap 273 wilayah yang kaya akan keanekaragaman hayati di seluruh dunia dan secara konsisten berdampak lebih buruk terhadap spesies endemik. Dilansir dari Kompas.id, penulis utama penelitian ini, Stella Manes, mengemukakan bahwa risiko kepunahan spesies meningkat lebih dari sepuluh kali lipat jika negara-negara di dunia mengabaikan tujuan Perjanjian Paris 2015 untuk menekan kenaikan suhu di bawah 1,5°C.
Baca Juga: Aktor Lokal NTT Sinergikan Aksi Iklim Bersama
Mengingat dampaknya bagi kehidupan manusia, ancaman perubahan iklim terhadap keanekaragaman hayati perlu diantisipasi. PBB menyatakan bahwa makanan, air, obat-obatan, iklim yang stabil, dan pertumbuhan ekonomi sangat bergantung pada ekosistem. Lebih dari separuh produk domestik bruto (PDB) global bergantung pada alam, lebih dari 1 miliar orang bergantung pada hutan sebagai sumber kehidupan mereka, serta daratan dan lautan menyerap lebih dari separuh emisi karbon.
Kebergantungan manusia yang tinggi terhadap biodiversitas juga diakui Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang menyatakan bahwa komunitas yang sehat bergantung pada ekosistem yang berfungsi dengan baik. Ekosistem seperti itu dapat menyediakan udara bersih, air tawar, obat-obatan, dan ketahanan pangan untuk kesejahteraan hidup manusia. Perubahan iklim jangka panjang memengaruhi kelangsungan hidup dan kesehatan ekosistem serta memengaruhi pergeseran dalam distribusi tanaman, patogen, hewan, dan bahkan permukiman manusia.
Keanekaragaman Hayati Sebagai Perisai Alami Menghadapi Perubahan Iklim
Mengatasi dampak negatif perubahan iklim terhadap biodiversitas dapat dilakukan dengan memperbaiki keanekaragaman hayati. Pusat Pemantauan Konservasi Dunia Program Lingkungan Hidup PBB (UNEP-WCMC) memberikan empat contoh pemulihan keanekaragaman hayati dapat membantu mengatasi perubahan iklim.
- Meskipun luas lahan gambut kurang dari 3% dari permukaan tanah dunia, lahan gambut mengandung karbon dua kali lebih banyak daripada hutan dunia. Lahan gambut yang sehat dapat menyimpan karbon, mengatur aliran air, serta mengurangi banjir dan kekeringan.
- Diperkirakan bahwa hutan menyerap sekitar 30% emisi karbon yang berasal dari bahan bakar fosil dan industri. Pemulihan hutan dataran tinggi juga dapat menstabilkan lereng gunung dan mengatur aliran air, sehingga masyarakat sekitar terlindung dari banjir bandang dan tanah longsor saat curah hujan meningkat.
- Meskipun hanya menutupi 0,1% dasar laut, padang lamun berperan sangat penting atas lebih dari 10% karbon yang tersimpan di sedimen laut tiap tahun. Padang lamun yang sehat menyediakan habitat pembibitan bagi lebih dari 20% perikanan besar di dunia.
- Hutan bakau hanya mencakup kurang dari 1% dari seluruh hutan tropis di seluruh dunia. Namun, tanahnya merupakan penyerap karbon yang sangat efektif, sehingga dapat mencegah karbon memasuki atmosfer. Selain itu, hutan bakau dapat mengurangi dampak gelombang badai dan naiknya permukaan air laut, sehingga melindungi kehidupan masyarakat pesisir.
Senada dengan contoh di atas, Program Lingkungan PBB (UNEP) memaparkan beberapa cara alam melindungi manusia dari perubahan iklim yang telah dimanfaatkan di berbagai belahan dunia.
- Memelihara hutan dapat melindungi kita dari kekeringan akibat perubahan iklim. Hutan yang sehat mengisi ulang persediaan air tanah dengan menyerap air melalui akarnya saat hujan lebat. India dan Gambia yang pernah mengalami kekeringan hebat melakukan reforestasi hingga berhasil menaikkan muka air tanah dan meningkatkan persediaan air.
- Penanaman pohon cemara Mediterania mengatasi kebakaran hutan akibat perubahan iklim. Pohon cemara dapat berfungsi sebagai sekat alami menahan kobaran api karena memiliki kadar air yang tinggi di daunnya, bahkan dalam cuaca yang sangat panas. Selain itu, daun cemara yang gugur membentuk lingkungan yang basah di pangkal batang pohon, sehingga dapat menahan kobaran api. Penanaman pohon ini dilakukan di seluruh wilayah Mediterania.
- “Efek pulau panas perkotaan” dapat diatasi dengan penanaman pohon di perkotaan. Pepohonan mendinginkan udara di sekitarnya dengan melepaskan air melalui daun-daunnya, mirip dengan cara manusia mendinginkan udara dengan berkeringat. Pendinginan yang dihasilkan satu pohon setara dengan pendinginan yang dihasilkan oleh 10 pendingin udara. Bahkan, pepohonan yang membentuk naungan dapat mengurangi biaya pendingin udara rumah-rumah yang terpisah hingga 20—30%. Melbourne, Australia, berupaya menanam lebih dari 3.000 pohon tiap tahun untuk mengatasi gelombang panas. Tindakan ini akan menggandakan tutupan pohon di kota tersebut pada tahun 2040.
- Kenaikan muka air laut akibat perubahan iklim hingga mengakibatkan banjir parah di wilayah pesisir dapat ditanggulangi dengan hutan bakau dan terumbu karang yang sehat. Hutan bakau dan terumbu karang memecah gelombang sebelum mencapai pantai, sehingga mengurangi kekuatan dan tinggi gelombang. Di Kota Kisakasaka di Tanzania Timur, air laut telah menyusup ke lahan pertanian penduduk dan mematikan tanaman. Untuk mengatasi bencana itu, penduduk menanam kembali ratusan hektar hutan bakau. Dalam waktu dua tahun, keracunan garam pada tanaman berakhir dan sumur-sumur kembali normal.
Indonesia di Tengah Perubahan Iklim dan Kekayaan Biodiversitas
Sebagai negara kepulauan, Indonesia rentan terhadap perubahan iklim. Namun, di sisi lain, Indonesia memilliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Dalam Climate Risk Profile: Indonesia dinyatakan bahwa Indonesia berada di peringkat tiga teratas negara dalam risiko iklim, dengan paparan tinggi terhadap semua jenis banjir dan panas ekstrem. Intensitas bahaya ini diperkirakan meningkat seiring dengan perubahan iklim, termasuk peningkatan pada jumlah masyarakat yang terpapar. Sementara dari sisi keanekaragaman hayati, menurut Good Stats, Indonesia memiliki biodiversitas terbesar kedua di dunia.
Dengan kekayaan biodiversitasnya yang luar biasa, Indonesia berpotensi besar untuk mengatasi dampak perubahan iklim. Misalnya, pemanfaatan hutan hujan tropis, mangrove, gambut, padang lamun, terumbu karang, dan satwa liar.
- Hutan hujan tropis
Data Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi dalam Katadata menunjukkan bahwa Indonesia memiliki hutan hujan tropis ketiga terbesar di dunia dengan luas area 125,9 juta hektare yang dapat menyerap emisi karbon sebesar 25,18 miliar ton.
Selain itu, sektor kehutanan menjadi bagian penting dalam memenuhi target pengurangan gas emisi rumah kaca sebanyak 140 juta ton CO2 ekuivalen pada tahun 2030, sebagaimana dikutip dari berita Universitas Gadjah Mada.
- Mangrove
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan luas hutan mangrove Indonesia mencapai 20—25% dari ekosistem mangrove dunia. Hutan mangrove berkontribusi sangat besar dalam penyerapan karbon, yaitu 3 sampai 5 kali lebih baik (tergantung dari kerapatan, besaran pohon, dan lain-lain) dibandingkan hutan tropis.
Luas area hutan mangrove di Indonesia yang mencapai 3,31 juta hektare, menurut data Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi dalam Katadata, mampu menyerap emisi karbon sekitar 950 ton karbon per hektare atau setara 33 miliar karbon untuk seluruh hutan mangrove di Indonesia.
Satu contoh nyata kebaikan mangrove yang telah dirasakan masyarakat Indonesia dapat disaksikan dalam Film “Climate Witness”. Film yang diproduseri oleh Koaksi Indonesia ini mendokumentasikan aksi masyarakat Desa Tanah Merah, Kupang, Nusa Tenggara Timur dalam merestorasi kawasan mangrove. Aksi iklim itu terbukti melindungi mereka dari Badai Seroja pada 2021 sekaligus meningkatkan perekonomian mereka melalui hasil laut seperti ikan, udang, dan kepiting yang banyak terdapat di kawasan hutan mangrove desa ini.
- Gambut
Dilansir dari Kompaspedia, Indonesia menduduki peringkat dua sebagai negara dengan luas lahan gambut terbesar, mencapai 22,5 juta hektar, sedangkan peringkat pertama ditempati Brasil dengan 31,1 juta hektar. Keberadaan gambut sangat bermanfaat dalam mengatasi dampak perubahan iklim. Lahan gambut di Indonesia menyimpan sekitar 57 gigaton karbon atau 20 kali lipat dari karbon tanah mineral biasa. Dalam skala lebih luas, gambut di seluruh dunia menyimpan 30% karbon dunia.
- Padang lamun
Portal Informasi Indonesia menyatakan bahwa padang lamun Indonesia merupakan yang terluas di Asia Tenggara dan yang kedua terluas di dunia setelah Australia. Luasnya kira-kira 15% dari total padang lamun dunia dan mampu menyerap karbon dioksida hingga 1,9—5,8 megaton (Mt) karbon per tahun. Bahkan, setiap hektare padang lamun mampu menyerap karbon hingga 6,59 ton per tahun.
Keistimewaan lain padang lamun, yaitu menyerap karbon jauh lebih baik dibandingkan vegetasi mana pun di daratan. Padang lamun mampu menyerap karbon 77% lebih besar daripada vegetasi darat seperti hutan. Cadangan karbon dalam padang lamun juga mampu bertahan dalam kurun waktu lama jika kawasan pesisir tidak mengalami kerusakan.
- Terumbu karang
Mengutip Kompas.com, Indonesia merupakan negara yang memiliki terumbu karang terluas di dunia. Luas terumbu karang Indonesia mencapai 284,3 ribu km² atau setara dengan 18% dari terumbu karang yang ada di seluruh dunia. Selain luas, terumbu karang Indonesia menyimpan kekayaan keanekaragaman hayati yang tertinggi di dunia.
Banyak manfaat terumbu karang dalam mengatasi dampak perubahan iklim. Salah satunya sebagai penyerap karbon dioksida dan pelepas oksigen melaui proses makan polip–hewan penyusun terumbu karang, sebagaimana dikutip dari ClimaTalk.
- Satwa liar
Keberadaan satwa liar di habitatnya menjaga kelestarian biodiversitas, sehingga bermanfaat mengatasi dampak perubahan iklim. Manfaat keberadaan satwa ini memang tidak langsung berkaitan dengan kemampuan satwa itu dalam menyerap atau menyimpan karbon.
Mengutip Orang Utan Kalimantan dan Habitatnya di Bentang Alam Wehea-Kelay, orang utan kalimantan (Pongo pygmaeus) merupakan salah satu satwa endemik Pulau Kalimantan yang memiliki fungsi penting bagi ekosistem hutan hujan tropis.
Daerah jelajah satwa ini mencapai 1.500 hektare per individu betina dan lebih dari 5.000 hektare per individu jantan. Saat menjelajah, orang utan biasanya memakan buah-buahan hutan sehingga biji dari buah pun tersebar dan dapat tumbuh alami mendukung regenerasi hutan.
Dengan demikian, ketidakhadiran hewan ini pada sebuah ekosistem hutan hujan tropis dapat mengakibatkan kepunahan jenis-jenis tumbuhan yang penyebarannya tergantung pada orang utan. Padahal, kepunahan tumbuhan akan memengaruhi kemampuan hutan hujan tropis dalam menyerap karbon.
Baca Juga: Pajak Karbon Sebagai Alat Kebijakan untuk Mengatasi Perubahan Iklim: Implikasi dan Implementasi
Perubahan iklim dan penurunan keanekaragaman hayati merupakan dua krisis yang berkelindan, sehingga harus ditangani secara bersamaan. Untuk mengatasi dampak perubahan iklim, Indonesia sudah seharusnya mengurangi penggunaan bahan bakar fosil yang menghasilkan emisi karbon dengan beralih ke pemanfaatan energi terbarukan yang ramah lingkungan.
Di saat bersamaan, Indonesia berusaha menjaga kekayaan biodiversitasnya dari berbagai faktor lain–tidak hanya perubahan iklim–seperti degradasi hutan, eksploitasi berlebihan sumber daya alam, dan pencemaran lingkungan. Dengan melakukan langkah-langkah ini, Indonesia dapat menyediakan lingkungan yang nyaman dan aman bagi masyarakatnya sekaligus memimpin dalam perlindungan lingkungan di tingkat global.