Sebagai agen perubahan, generasi muda dibutuhkan untuk mendukung energi terbarukan di Indonesia. Ketertarikan dan semangat mereka perlu diberikan ruang untuk bisa mengawal isu besar ini dengan optimal.
KOAKSI INDONESIA—Sebagai organisasi masyarakat sipil yang berfokus pada energi terbarukan, Koaksi Indonesia dengan antusias menerima undangan dari Society of Renewable Energy (SRE), Institut Teknologi Bandung (ITB) untuk menjadi salah satu pembicara dalam acara Energizen 101: Next-Gen Energy: Building a Sustainable Future for Generations.
Dilakukan secara daring pada Minggu ketiga bulan September, diskusi ini menyoroti kompleksitas transisi energi di Indonesia dengan berbagai tantangan yang harus dihadapi mulai dari investasi, regulasi, hingga keamanan teknologi yang digunakan.
Melalui Energizen 101, diharapkan dapat terbangun pemahaman yang lebih baik mengenai energi terbarukan, mendorong keterlibatan aktif melalui diskusi interaktif, serta menginspirasi inovasi dalam riset dan kewirausahaan di sektor energi. Dengan demikian, generasi berikutnya dapat berperan aktif dalam menciptakan masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan. Harapan ini sejalan dengan salah satu misi Koaksi Indonesia yang senantiasa mendorong orang muda untuk menyuarakan dan menggunakan energi terbarukan.
Dalam diskusi ini, Ridwan Arif selaku Manajer Riset dan Pengelolaan Pengetahuan Koaksi Indonesia, secara khusus menyampaikan peluang ketahanan energi melalui potensi energi terbarukan di Indonesia. Berikut pemaparannya.
Urgensi Penurunan Emisi dan Tantangan Energi Terbarukan di Indonesia
Peningkatan suhu bumi menjadi salah satu faktor utama percepatan perubahan iklim. Untuk mengatasi situasi ini, penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) menjadi sangat mendesak. Salah satu strategi yang efektif dalam mengurangi emisi adalah penggunaan energi terbarukan (ET).
Jika dibandingkan dengan skema business as usual (BAU), target penurunan emisi dalam RUEN 2017 lebih ambisius dan terstruktur. RUEN ditetapkan untuk mengembangkan potensi ET.
Dalam skenario BAU, tanpa adanya intervensi kebijakan atau transisi energi, emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor energi diproyeksikan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan kebutuhan energi yang masih didominasi oleh bahan bakar fosil, seperti batu bara, minyak, dan gas. Penggunaan energi fosil yang tetap dominan dalam skenario BAU menyebabkan emisi GRK dari sektor energi bisa melonjak secara signifikan.
Baca Juga: Kabar Energi Terbarukan Saat Ini
Tanpa upaya pengembangan energi terbarukan dan efisiensi energi, Indonesia akan mengalami peningkatan suhu global dan tekanan lingkungan yang lebih berat. Oleh karena itu, transisi ke energi terbarukan dalam RUEN memiliki peran krusial dalam menekan laju peningkatan emisi berdasarkan skenario BAU.
Secara lebih spesifik, RUEN dengan target bauran energi terbarukan sebesar 23% pada 2025 berusaha untuk menekan emisi GRK dengan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. Sementara skenario BAU hanya mengandalkan proyeksi pertumbuhan energi tanpa adanya perubahan signifikan dalam kebijakan atau teknologi.
Sebagai hasilnya, RUEN memiliki dampak yang jauh lebih positif dalam konteks penurunan emisi, menciptakan ketahanan energi yang lebih besar, dan mengurangi dampak buruk terhadap lingkungan dibandingkan dengan skenario BAU. Jumlah penurunan emisi dengan skema RUEN dapat menekan 58% dibandingkan dengan BAU.
Dari segi finansial, ET lebih ekonomis dibandingkan dengan energi fosil karena modal dan biaya operasionalnya lebih rendah. Pemerintah Indonesia juga telah mengadopsi ET sebagai bagian dari strategi nasional yang tercantum dalam berbagai regulasi. Selain bertujuan untuk mengurangi emisi, kebijakan ini dimaksudkan untuk meningkatkan ketahanan energi dan menciptakan lapangan kerja hijau.
Industri Solar PV, misalnya, memiliki nilai ekonomi yang lebih besar dibandingkan energi konvensional seperti gas dan batu bara. Namun dalam pengembangan energi terbarukan di Indonesia menghadapi berbagai tantangan. Salah satu tantangan terbesar adalah perencanaan yang kurang matang.
Selain itu, pembiayaan energi terbarukan masih menjadi hambatan karena investasi yang diperlukan belum sepenuhnya tersedia. Indonesia juga masih sangat bergantung pada energi batu bara, sehingga menyulitkan transisi ke energi terbarukan.
Untuk mengatasi tantangan tersebut, Ridwan Arif menyampaikan beberapa rekomendasi sebagai langkah penting untuk transisi energi.
“Pertama, pemerintah perlu meningkatkan insentif keuangan untuk mendorong investasi di sektor energi terbarukan. Kedua, reformasi di sektor bisnis ketenagalistrikan diperlukan agar industri energi dapat lebih responsif terhadap kebutuhan transisi energi. Ketiga, promosi transisi energi harus digalakkan melalui berbagai platform, termasuk melalui acara-acara seperti yang diselenggarakan oleh SRE ini, untuk meningkatkan kesadaran publik dan mendorong penggunaan ET di seluruh lapisan masyarakat,” ujar Ridwan.
Pertanyaan Seputar Tren Energi Terbarukan
Selama sesi diskusi Energizen 101, banyak peserta yang antusias bertanya. Namun, keterbatasan waktu menyebabkan panitia hanya memberikan kesempatan untuk menjawab 3 pertanyaan pertama.
Salah satu peserta menanyakan tren kendaraan listrik (EV) yang sedang booming karena didorong oleh investasi besar. Namun, apakah peralihan ke EV benar-benar mengurangi emisi atau justru menambahnya, terutama jika produksi baterai masih bergantung pada energi fosil?
Menurut Ridwan, perlu ada pandangan holistik dari hulu ke hilir agar transisi energi tidak menjadi sekadar greenwashing.
“Sebenarnya dorongan penggunaan EV di Jawa lebih terkait dengan masalah over supply listrik di wilayah tersebut, sehingga dibutuhkan strategi untuk bisa menggunakan secara optimal kelebihan energi tersebut. Serupa dengan konsep pemberian kompor listrik yang dilakukan pemerintah beberapa waktu silam sebagai upaya untuk menyerap kelebihan pasokan energi,” jawab Ridwan.
Sebagai contoh, hilirisasi nikel yang digadang-gadang dapat mengembangkan industri baterai dalam negeri. Namun, realisasinya hanya digunakan 3% untuk baterai EV, sehingga sebenarnya tidak sepenuhnya hasil nikel digunakan sebagai bahan energi bersih. Dengan contoh seperti ini seharusnya potensi hulu ke hilir dalam proses transisi energi diperhatikan.
Baca Juga: Penerapan Prinsip Berkeadilan untuk Menyukseskan Transisi Energi di Indonesia
Pertanyaan lainnya terkait tantangan energi terbarukan adalah masalah intermiten, terutama dalam penggunaan PLTS atap yang terhubung ke PLN. Ridwan menjelaskan solusinya dengan proses desentralisasi energi, yang memungkinkan pengelolaan beban energi lebih merata antara PLTS dan pembangkit listrik PLN.
Pertanyaan menarik lainnya terkait potensi energi nuklir sebagai sumber energi bersih yang layak dipertimbangkan dalam upaya mengurangi emisi karbon, bahkan rencananya ada pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir di Indonesia.
“Tantangan besar terkait nuklir di Indonesia itu adalah keamanan dan infrastruktur. Belum adanya kerangka pengaman/safeguard yang kuat dan memadai untuk mengelola energi nuklir, mengingat risikonya yang sangat tinggi. Selain itu, skema investasi untuk pengembangan energi nuklir menjadi perhatian, apakah investasi ini dapat menarik pihak swasta dan memberikan dampak yang signifikan bagi transisi energi di Indonesia,” jelas Ridwan.