Masyarakat merupakan aktor pertama yang paling terdampak perubahan iklim. Inilah yang membuat mereka harus bertindak demi keberlanjutan kehidupan.
KOAKSI INDONESIA—Rangkaian kegiatan Pesta Raya Flobamoratas (PRF) terus berlanjut. Selain kuliah umum di Universitas Nusa Nipa, pada hari yang sama diadakan diskusi terkait cerita dan perjuangan aktor lokal yang didokumentasikan dalam Film “Climate Witness”.
Berperan sebagai Produser Film “Climate Witness”, Ridwan Arif, Manajer Riset dan Pengelolaan Pengetahuan Koaksi Indonesia, turut serta sebagai narasumber dalam diskusi tersebut.
Produksi “Climate Witness” dilakukan selama dua tahun terakhir untuk mengapresiasi para aktor lokal yang telah mengambil langkah nyata dalam menghadapi perubahan iklim. Film ini menampilkan kisah-kisah inspiratif dari masyarakat pedesaan yang, meskipun dalam skala kecil, telah memulai aksi penting untuk menjaga lingkungan.
“Harapannya, film ini dapat menyemangati lebih banyak orang, terutama anak muda, untuk memulai aksi iklim serupa di lingkup kecil mereka,” ujar Ridwan.
Dalam diskusi tersebut juga hadir salah satu aktor dalam “Climate Witness”, yakni Maria Mone Soge yang biasa dipanggil Shindy. Shindy merupakan seorang local champion dari Desa Hewa, Flores Timur. Shindy aktif melestarikan pangan lokal yang hampir punah dan berkomitmen mengurangi ketergantungan masyarakatnya pada pangan instan yang mendatangkan emisi karbon lebih tinggi.
“Melestarikan pangan lokal bukan hanya upaya untuk menjaga tradisi, tetapi juga langkah penting dalam mengurangi jejak karbon dan menghadapi perubahan iklim,” imbuh Shindy.
Baca Juga: Sejauh Mana Pemanfaatan Energi Terbarukan di Provinsi Nusa Tenggara Timur?
Aktor lain dalam “Climate Witness”, Balsasar Darius Mboeik atau akrab disapa Bapak Ca, juga menyuarakan pentingnya aksi lokal di wilayah pesisir NTT. Dalam kesehariannya, Bapak Ca merupakan Ketua Adat suku Manggi di Desa Holulai yang dihuni sekitar 623 kepala keluarga dengan lebih dari 2.000 jiwa.
Bapak Ca memimpin perjuangan komunitas dalam melindungi lingkungan dari penambangan pasir, pengeboman, dan penebangan mangrove yang mengancam keberlanjutan tanah adat dan ekosistem dengan aturan Hoholok Papadak.
“Di desa adat Holulai ada aturan Hoholok Papadak. Aturan ini berhasil menanamkan kesadaran lingkungan di desa, termasuk inisiatif penanaman mangrove yang terbukti bermanfaat saat badai Seroja melanda pada tahun 2021,” ucap Bapak Ca.
Dalam sesi diskusi juga ada tanggapan dari dosen sekaligus aktivis lingkungan, Aloysia Berlindis Lasar.
Dosen yang akrab dipanggil Miss Erlin ini berbagi pengalamannya saat menggunakan bibit pohon sebagai suvenir pernikahan. Baginya, aksi sederhana seperti ini bisa berdampak besar jika dijalankan dengan konsisten dan dijadikan inspirasi oleh orang lain.
“Setelah menonton “Climate Witness”, kita memperoleh pandangan baru bahwa aksi kecil bisa berdampak besar untuk masa depan kita bersama,” ujar Miss Erlin.
Film yang berisi contoh nyata aksi iklim yang dilakukan para aktor lokal ini telah membuktikannya. Dengan latar belakang berbeda, keempat narasumber sepakat bahwa perubahan nyata dimulai dari diri sendiri dan aksi di lingkungan terdekat.
Karena berbasis seni, “Climate Witness” menjadi medium yang efektif dan kreatif untuk mengomunikasikan pesan ini kepada generasi muda. Sebagai generasi penerus bangsa dan dengan jumlah hampir seperempat penduduk Indonesia, generasi muda berperan penting untuk menciptakan lebih banyak aksi iklim.