Koaksi Indonesia senantiasa memanfaatkan setiap momen dan berkolaborasi dengan berbagai pihak untuk menyuarakan isu perubahan iklim. Konsistensi itu terlihat salah satunya dalam acara tahunan orang muda ini.
KOAKSI INDONESIA–Sebagai organisasi yang konsisten menyuarakan isu perubahan iklim, Koaksi Indonesia dalam Koalisi Sipil VCA (Voices for Just Climate Action) mendukung Jambore GRUF (Gotong Royong Untuk Flobamoratas) 2024 yang merupakan media bertemunya komunitas orang muda di seluruh Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan menjadi salah satu narasumber. Jambore GRUF yang diselenggarakan sejak tahun 2021 adalah agenda tahunan Koalisi Orang muda untuk Perubahan Iklim (KOPI).
“Semua ini akan berlalu, rasa sakit, gembira, dan cemas berlalu dalam waktu. Namun, kita bisa memanfaatkan waktu ini semaksimal mungkin. Sebaliknya, filosofi ini tidak berlaku untuk perubahan iklim karena semakin berlalu dampaknya semakin parah sehingga perlu gerakan orang muda dalam meresponsnya,” ungkap Dicky Lopulalan, Direktur Koalisi KOPI, saat membuka Jambore GRUF.
Baca Juga: Yayasan HIVOS dan Empat Koalisi Ajak NTT Amplifikasikan Solusi Iklim Berbasis Lokal
Kegiatan yang dihadiri oleh 108 peserta dari 12 daerah di NTT ini berlangsung pada 2—5 Mei di Pantai Londa Lima, Sumba Timur. Dengan mengusung tema Artivism dalam kampanye #SeniUntukBumi diharapkan pendekatan seni dan budaya dapat menyuarakan aksi iklim ke lingkup yang lebih luas. Jambore yang dihadirkan dalam bentuk kegiatan kemah dan festival komunitas ini juga sebagai media berjejaring, meningkatkan kapasitas, dan berdiskusi terkait upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang diikuti oleh lebih dari 50 komunitas.
Koaksi Indonesia mengambil peran dalam Climate Justice Camp, dengan membagikan pengalaman saat kampanye Film “Climate Witness” tahun 2023 lalu. Dimulai dengan nonton bareng, menurut Fitrianti Sofyan, Koordinator Komunikasi dan Kampanye Koaksi Indonesia, “Komunikasi adalah proses penting yang sering dipinggirkan dalam sebuah proses penyadartahuan masyarakat. Padahal, melalui komunikasi yang efektif akan lebih banyak inisiatif yang terbentuk dari audiens sehingga praktik baik yang ada tidak berhenti di satu titik saja.”
Mengamini hal tersebut, Agnes Dau selaku Community Engagement Officer Yayasan Pikul yang juga Koalisi Sipil VCA mengatakan, “Perlu banyak orang muda untuk mendorong isu perubahan iklim karena saat ini di tingkat pemerintah daerah belum menjadi isu prioritas. Contohnya dalam musrenbang, tidak terlihat sama sekali orang muda padahal ini adalah kesempatan baku dukung menjadi bagian dalam mendorong isu perubahan iklim di pemerintahan.”
Seni merupakan salah satu media berkomunikasi yang mudah diterima oleh berbagai kelompok masyarakat. Seperti yang saat ini disajikan oleh orang muda NTT dalam Jambore GRUF. Mulai dari seni visual (rupa/fotografi/mural), audio-visual (video/film), seni musik, seni kriya (craft), bahkan seni instalasi, semua digunakan sebagai media kampanye penyadartahuan. Namun, belum banyak yang secara utuh memandang bahwa prosesnya tidak berhenti di situ, perlu ada sumber daya yang disiapkan untuk memublikasikan karya tersebut.
Baca Juga: Masyarakat Punya Peran Besar untuk Penanganan Masalah Iklim dan Lingkungan
Berkaca dari pengalaman distribusi Film “Climate Witness”, menurut Fitrianti Sofyan, tidak cukup dengan meletakkan karya tersebut di keramaian seperti media sosial dan pameran. Namun, perlu ada aktivitas tambahan seperti diskusi untuk memberikan kesempatan kepada audiens mengemukakan perspektif mereka sehingga memperkaya pemahaman terkait perubahan iklim.
Berlangsung selama 4 hari, selain Climate Justice Camp, Jambore GRUF diisi dengan kegiatan Mutual Learning Space, yaitu wadah saling belajar, berbagi pengalaman, inspirasi karya, memperluas jejaring, hingga mengenal budaya dan pangan lokal. Kegiatan ini memberikan kesempatan kepada seluruh peserta untuk menginspirasi satu sama lain dengan berbagai aksi yang telah dilakukan bersama komunitas asalnya.
Lalu ada sesi Wellbeing Space, yaitu sebuah sesi one on one bersama professional coach guna menciptakan ruang aman dan nyaman untuk berbagi cerita dan mengembangkan potensi diri. Sebagai sesi penutup ada Art Installations, yaitu hasil kolaborasi 20 seniman dari Artivism Bootcamp sebagai media edukasi dan ekspresi orang muda untuk belajar aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Dalam setiap sesi ditampilkan kekayaan budaya tarian dan pangan lokal dari masing-masing daerah. Beberapa pangan lokal yang dihadirkan sudah jarang ditemui bahkan oleh masyarakat lokal sendiri seperti Manggulu, Kaparrak, Ubi Gadung, Bape Laia, dan Ubi Nuabosi. Seluruh sesi Jambore dilakukan di pantai dengan cara yang menyenangkan.
Menurut Radith dari Komunitas Extinction Rebellion Kupang, “Seru sekali belajar tentang iklim di luar ruangan seperti ini, semuanya jadi lupa waktu. Wadah informal seperti ini diperlukan agar cerita-cerita aksi daerah bergulir sendirinya tanpa paksaan dan menginspirasi satu sama lain hingga pagi menjelang.” Rangkaian kegiatan ini tentunya dapat menjadi bekal peserta setelah kembali ke daerahnya untuk mengembangkan aksi-aksi perubahan iklim di sana.
Hari terakhir Jambore GRUF ditutup dengan Pengukuhan Komite Eksekutif Daerah (KED) dan Komite Eksekutif Provinsi sebagai wadah orang muda NTT dalam aksi-aksi perubahan iklim. Ke depannya, menurut Eulis Utami, Program Manajer Koalisi KOPI, “Komite Eksekutif Daerah dan Komite Eksekutif Flobamoratas sebagai wadah yang akan menyatukan jejaring KED dan mengoordinasi aksi-aksi yang akan dilakukan oleh KED, supaya napas gotong royong tetap terawat.
Komite Eksekutif ini dibentuk untuk memastikan jejaring yang sudah terbentuk dan aksi kolaboratif yang sudah dibangun sejak 2021 oleh Koalisi KOPI bisa terus dijaga dan diteruskan pelaksanaannya, setelah kegiatan VCA yang akan berakhir pada tahun 2025 mendatang.”
Sebagai tanda berakhirnya kegiatan, Jambore GRUF ditutup dengan Festival GRUF yang dibuka untuk umum. Diisi oleh bazar pangan lokal dan tenun lokal, pertunjukan seni oleh peserta GRUF, dan diakhiri dengan berkaraoke bersama oleh Tiba-Tiba Berkaraoke dari Kupang.