Para seniman dan CSO telah membuktikan bahwa seni merupakan media yang tepat untuk menyuarakan aksi iklim. Agar gaungnya makin bergema, diperlukan kolaborasi.
KOAKSI INDONESIA—Forum Masyarakat Sipil (Civil Society Organization [CSO] Forum) rutin diselenggarakan Koaksi Indonesia untuk mendiskusikan berbagai isu terkini terkait lingkungan dan aksi untuk perubahan iklim. Forum ini juga menjadi manifestasi kolaborasi dengan berbagai organisasi masyarakat sipil (OMS/CSO).
CSO Forum 19 September 2024 yang bertema Menyuarakan Aksi Iklim Melalui Seni Kreatif ini dilaksanakan secara daring oleh Koaksi Indonesia sebagai bagian dari Koalisi Sipil, salah satu koalisi di Voices for Just Climate Action (VCA).
VCA merupakan aliansi yang menyuarakan aksi perubahan iklim berkeadilan. Lebih dari 25 organisasi yang tergabung dalam VCA bekerja di tingkat lokal dan nasional seperti di Jakarta, Yogyakarta, Kabupaten Bandung, dan Nusa Tenggara Timur (NTT). NTT menjadi area kerja utama Koalisi Sipil dan Yayasan Humanis.
Pemantik Diskusi
Diskusi dibuka dengan sambutan dari Indra Sari Wardhani, Plt. Direktur Program Koaksi Indonesia, yang menyatakan seni merupakan bahasa universal yang mudah dipahami, mudah dirasakan, dan dapat digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan termasuk menyampaikan fenonema lingkungan dan perubahan iklim. “Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki pulau-pulau kecil yang rentan tenggelam karena naiknya permukaan air laut. Kita dapat menggunakan medium seni untuk mengajak masyarakat khususnya anak muda untuk meminimalkan dampak perubahan iklim.”
Indra Sari Wardhani, yang biasa dipanggil Ai, juga mengucapkan terima kasih kepada para narasumber yang membagikan pengalaman mereka terkait seni sebagai medium untuk melakukan aksi iklim. “Dari diskusi ini, kita akan memperoleh ilmu baru, perspektif baru, dan membangun kolaborasi baru untuk menanggulangi dan mengajak banyak pihak untuk melakukan aksi iklim secara lebih luas. Dengan demikian, kelompok kecil ini akan berdampak luas kepada masyarakat.”
Dilanjutkan oleh Arti Indallah, Country Engagement Manager Yayasan Humanis untuk aliansi VCA Indonesia yang menyetujui bahwa seni merupakan salah satu alat komunikasi universal yang akrab dengan keseharian kita. Seni merasuk dari tingkat kognisi sampai emosi.
Baca Juga: Koaksi Indonesia Bervakansi bersama Kawula Muda untuk Mendukung Green Jobs
“Dalam diskursus perubahan iklim, narasi yang ada masih kurang mengamplikasi suara kelompok yang paling terdampak krisis iklim dan masih kurang mendorong kita untuk bisa bersolidaritas bersama kelompok itu untuk terlibat dalam pengambilan keputusan terkait kebijakan iklim. Oleh karena itu, seni dan budaya tidak bisa dipisahkan dari diskursus perubahan iklim. Seni dapat digunakan untuk mempelajari dan mentransformasi sesuatu.”
Arti mencontohkan sebuah kasus di salah satu pesisir di Afrika Selatan. Pesisir itu akan ditutup dan dijadikan wilayah ekstraktif minyak dan gas, sehingga memengaruhi kehidupan nelayan kecil. Mereka sudah menyuarakan pentingnya wilayah itu bagi mereka, tetapi tidak didengar. Kemudian, mereka berkolaborasi dengan seniman membuat drama mengenai nilai kawasan pesisir bagi mereka. Mereka berkeliling ke banyak daerah mementaskan drama itu. Akhirnya, mereka menang di pengadilan dan wilayah itu tidak dijadikan pertambangan. “Dari contoh ini terlihat bahwa seni dapat menjadi pendorong aksi iklim atau advokasi atau kampanye.”
Seniman Berbagi Cerita
Forum ini menghadirkan dua pekerja seni, yaitu Gede Robi, Penggagas The Indonesian Climate Communications, Arts and Music Lab (IKLIM) serta Lodimeda Kini, Produser Film “Pulau yang Ditinggalkan”.
Gede Robi, yang akrab dipanggil Bli Robi, konsisten menyuarakan isu lingkungan sejak lama. Bagi Robi, musik memiliki nilai yang lebih besar, tidak sekadar barang dagangan. Musik yang keren merupakan musik yang mempunyai impak sosial. “Pekerjaan seniman itu adalah merawat hati. Untuk membuat perubahan, sentuhlah hatinya. Di sisi lain, teman-teman NGO memiliki data dan informasi. Dua kekuatan ini digunakan untuk menerjemahkan isu-isu berat menjadi populer.”
Bli Robi menambahkan bahwa seniman harus otentik, memiliki nilai, dan melakukan yang disuarakan dalam karyanya agar tidak dangkal, dan jangan stagnan. “Misalnya dalam mengampanyekan isu sampah plastik, sudah 10 tahun, tetapi tetap jangan buang sampah sembarangan. Kampanyenya menjadi stagnan. Harusnya kampanyenya sudah sampai di tahap regulasi atau di level yang efeknya signifikan.”
Setelah Navicula berdiri pada 1996, Bli Robi menginisiasi IKLIM sejak tahun lalu. IKLIM yang terafiliasi dengan gerakan global Music Declares yang berbasis di Inggris merealisasikan tindakan lokal berpikir global. “IKLIM bertujuan untuk menyatukan satu konsep, membagikan data dan informasi sehingga musisi bisa mengeksekusi dan menghasilkan karya yang tidak dangkal, karya yang mendalam. Seperti gerakan bola salju yang besar. Tahun 2024 ini sudah ada 130 musisi yang bergabung. Dengan semua aset dan sumber daya yang ada, kita bisa bergerak bersama-sama.”
Untuk mengajak anak muda agar tergerak dalam isu lingkungan, menurut Bli Robi, ciptakan kebutuhan agar anak muda memiliki kepedulian dan merasa keren dengan terlibat dalam suatu gerakan. Misalnya, gerakan pakai tumbler ke konser untuk mencegah plastik sekali pakai.
Berlanjut ke Lodimeda Kini. Produser Film “Pulau yang Ditinggalkan” yang biasa disapa Lodi menceritakan latar belakang pembuatan film di Pulau Sabu Raijua pada 2023.
Sebagai peneliti hidrologi, Lodi dalam tujuh tahun terakhir meneliti proses penggurunan dan hilangnya sungai-sungai yang berubah menjadi sungai musiman di Pulau Sabu. Lodi merupakan anak asli Sabu dengan orang tua yang harus bermigrasi ke luar Sabu karena tantangan lingkungan. Ketika kembali ke Sabu, Lodi melihat kondisi makin tidak mudah. Mata pencaharian makin sulit dari hari ke hari. Kondisi inilah yang menjadi perenungannya. Perubahan iklim merupakan masalah yang besar. Bagaimana melawan hal yang besar ini?
Baca Juga: World Cleanup Day Menyiasati Polemik Sampah Pulau Harapan
“Berada di pulau ini, berbicara mengenai krisis iklim harus melalui hal-hal yang bisa dilihat dan dirasakan. Kehidupan pulau yang dari sisi hidrologi sudah menantang, menjadi kian menyulitkan dan pada akhirnya diselesaikan di level personal, level keluarga. Ada sebuah masalah yang sebenarnya masalah global. Namun, keterbatasan pulau untuk mengartikulasikannya menjadikan masalah ini hanya bisa diatasi secara privat dengan migrasi. Padahal, sebagai manusia berperadaban kita bisa menjawab tantangan pada hari ini.”
Film ini ingin membahasakan krisis iklim agar kontekstual dengan kehidupan sehari-hari yang kita jalani dan dengan bahasa yang tidak menggurui. “Film ini memberikan pendekatan lebih personal dan pemikiran mengenai apa yang sedang kita hadapi. Kita tidak bisa bertahan di tanah kita sendiri menjadi sesuatu yang normal. Film ini membuka percakapan untuk aksi kolektif untuk mengurangi kerentanan masyarakat pulau dalam menghadapi krisis iklim.”
Lodi berharap agar setelah menonton film ini, orang muda menyadari ada sesuatu yang salah. “Apakah ini hidup yang harus dijalani? Terus lari dan tidak bisa menemukan cara untuk keluar dari realitas yang membelenggu ini?“
Setelah film ini didistribusikan, ada enam desa melakukan aksi kolektif untuk merehabilitasi lingkungan khususnya air dan tanah. Dua tahun terakhir, Lodi dan teman-teman bergiat menanam pohon di daerah tangkapan air dan menanam pohon di sekitar rumah untuk memperbaiki iklim mikro. Selain itu, film ini menjadi awal mula pendidikan perubahan iklim. Karena untuk mengerti lingkungan, kita harus mengerti apa yang berubah di lingkungan kita.
CSO Memaknai Seni
Khalisah Khalid, Public Engagement dan Actions Manager Greenpeace Indonesia, mengatakan bahwa Greenpeace berkolaborasi dengan seniman dan budayawan sejak lama. “Greenpeace merasa dengan medium seni kita bisa memperluas kampanye iklim dan lingkungan.”
Lanjut Aline, panggilan akrab Khalisah Khalid, Greenpeace berfokus pada audiens yang ingin kita jangkau dalam kampanye yang kita lakukan. Selain masyarakat terdampak, anak muda menjadi audiens Greenpeace. “Kami yakin bahwa anak muda menjadikan masa depan Indonesia dan bumi lebih baik. Selain itu, anak muda memperhatikan isu lingkungan. Oleh karena itu, kita menjangkau mereka melalui yang mereka suka. Sebagai CSO, bahasa kita terlalu melangit. Kita harus berusaha menemukan bahasa yang mudah dipahami. Salah satunya dengan musik.”
Aline menekankan bahwa lingkaran CSO itu kecil. Kita harus memperbesar lingkaran itu, termasuk menjangkau anak muda yang belum ikut komunitas ataupun yang belum tahu isu iklim dan lingkungan. Kampanye dan medium yang makin beragam akan lebih baik hasilnya. Strategi tunggal tidak akan berhasil. “Isu lingkungan dan iklim tidak hanya disuarakan oleh Koaksi dan Greenpeace, tetapi juga oleh kawan muda sendiri yang bersuara dan lebih kritis.”
Kolaborasi CSO dengan seniman bisa dengan memfasilitasi workshop atau mengajak seniman langsung bertemu dengan masyarakat terdampak. Misalnya, mengajak seniman urban ke hutan atau lahan gambut atau melakukan tur menyelamatkan hutan Sumatra. Dengan demikian, mendekatkan seniman dengan isu itu.
Pemaknaan seni juga dilakukan VCA melalui Pesta Raya Flobamoratas (PRF). Diselenggarakan pertama kali pada 2022, PRF merupakan sebuah platform di bawah aliansi VCA untuk mengangkat suara komunitas lokal di NTT melalui karya seni dan budaya. Tahun ini, PRF kembali diadakan dengan tema Suara Bae dari Timur. Acara yang berlangsung 24—28 September di Maumere ini menghadirkan lima kegiatan, yaitu local champion camp, dialog publik, kuliah dan workshop di perguruan tinggi, serta acara puncak pesta raya pada 27 dan 28 September.
Benedicto Reynalda Vilibrian (Brian) selaku Ketua PRF 2024 mengatakan, “Kami orang-orang lokal dan komunitas lokal percaya bahwa seni merupakan medium yang sangat kuat untuk menyampaikan pesan-pesan kompleks terutama terkait perubahan iklim. Melalui konser musik, teater, tarian, beberapa performance lain termasuk visual, kami yakin dapat menjangkau dan menyampaikan pesan penting kepada masyarakat luas mengenai keberlanjutan dan konservasi lingkungan.”
Menurut Brian, seni memiliki keunikan untuk menyentuh hati dan pikiran orang secara emosional, tidak hanya logis. Inilah yang menjadi alasan utama PRF menggunakan seni untuk menjangkau berbagai kalangan dari orang muda hingga komunitas adat. Pendekatan ini memudahkan masyarakat mengerti perubahan iklim dan tindakan yang bisa mereka lakukan.
“Pengalaman kami mendampingi masyarakat di tingkat tapak, perubahan iklim masih begitu abstrak bagi mereka. Yang menjadi prioritas masyarakat desa adalah akses yang berkaitan dengan kesehatan dan pendidikan yang muaranya kembali ke ekonomi. Bahasa yang biasa digunakan di lingkungan LSM sulit dipahami. Kami tidak hanya berbicara mengenai statistik atau prediksi dampak perubahan iklim. Kami memperlihatkan bagaimana perubahan iklim sudah berdampak langsung pada mata pencaharian dan budaya masyarakat setempat.”
PRF mengedepankan inklusivitas dengan melibatkan berbagai lapisan masyarakat mulai dari kelompok perempuan, orang muda, dan komunitas marginal. “Untuk memastikan pesan iklim yang kami sampaikan dapat diterima semua kalangan, kami bekerja sama dengan organisasi masyarakat sipil, seniman lokal, dan komunitas,” ujar Brian.
Terjadi perubahan positif yang signifikan dengan adanya PRF. “Sebelum PRF, banyak yang melihat perubahan iklim sebagai isu yang jauh dan abstrak. Melalui PRF, mereka mulai menyadari perubahan iklim sudah memengaruhi kehidupan mereka secara konkret. Misalnya, petani menyadari pola tanam sudah berubah atau berkurangnya hasil laut bagi masyarakat pesisir. Komunitas lokal yang terlibat PRF mengadopsi praktik pertanian berkelanjutan. Menggunakan sistem pangan lokal yang lebih adaptif terhadap perubahan iklim.”
Sebagai narasumber terakhir dalam forum ini, Ridwan Arif selaku Koordinator Program VCA Koalisi Sipil sekaligus Manajer Riset dan Pengelolaan Pengetahuan Koaksi Indonesia, menjelaskan bahwa Koaksi Indonesia telah memanfaatkan seni untuk menyuarakan aksi iklim di NTT melalui film dokumenter “Climate Witness”.
Ridwan mengatakan, “Ide memproduksi film diawali dengan riset yang saya lakukan di Youtube. Hasil riset saya menunjukkan bahwa selama 10 tahun terakhir, di Youtube tidak ada film dokumenter terkait perubahan iklim yang tone-nya positif. Berdasarkan hasil riset itu, kami di Koaksi Indonesia memikirkan bagaimana membuat film dokumenter yang bisa menjadi bahan komunikasi sekaligus menumbuhkan semangat bagi yang menonton film.”
Lanjut Ridwan, Film “Climate Witness” berlatar NTT telah diproduksi dua kali (2022 dan 2023) dengan mengangkat tokoh-tokoh local champion yang berbeda. Aksi mereka sangat lokal, di satu desa atau kabupaten, dan mereka telah melakukan aksi itu puluhan tahun lalu sebelum ada program VCA. Film ini sebagai bentuk apresiasi kami kepada mereka.
Baca Juga: Kebaikan Mangrove untuk Desa Tanah Merah
“Film ini menampilkan topik konservasi, pendidikan, aktivisme anak muda, masyarakat adat, dan hutan adat. Salah satu film dalam “Climate Witness”, yaitu “Cahaya Anak Sumba” mengisahkan pusat kegiatan belajar Cahaya Anak Sumba awalnya bertujuan untuk memberikan akses pendidikan yang layak bagi anak-anak di sana. Pusat kegiatan itu memberikan pelajaran bahasa Inggris untuk anak TK hingga 2 SD. Seiring waktu, mereka juga memasukkan topik perubahan iklim dalam kegiatan belajar itu.”
Contoh lain, kata Ridwan, “Masyarakat di Pesisir Kupang yang terancam karena air laut makin dekat dengan pintu rumah mereka, menanam mangrove. Awalnya hanya ratusan bibit. Setelah 20 tahun, berkembang menjadi 145 hektar.”
Melalui film ini, aksi lokal bisa diangkat ke nasional supaya masyarakat di skala lebih luas tahu bahwa ada aksi iklim di NTT sejak puluhan tahun lalu dan dapat menjadi inspirasi bagi penonton. Film ini juga menjadi alat pemantik diskusi. Diskusi didorong bukan untuk membahas filmnya, tetapi membahas kondisi lingkungan di tempat mereka masing-masing.
“Tahun lalu, Koaksi Indonesia bekerja sama dengan kolaborator untuk mengadakan nonton bareng di Sumatra hingga Papua. Dalam salah satu acara nonton di Bali, setelah acara nonton selesai, dilanjutkan dengan diskusi yang mengetengahkan sampah dan air bersih yang menjadi masalah lingkungan di Bali. Narasumbernya pun berasal dari Bali. Setelah diskusi, mereka terkoneksi dan audiens pun memperoleh pemahaman yang lebih baik mengenai masalah lingkungan sekaligus terkoneksi dengan local champions dalam film tersebut.”
Bahkan, di wilayah lain, setelah acara diskusi selesai, mereka mengadakan FGD untuk menentukan strategi untuk aksi selanjutnya. Dengan kata lain, film ini menjadi cara baru menyuarakan isu perubahan iklim.