Kesiapan masyarakat Desa Tanah Merah untuk mengelola kawasan mangrove sebagai kawasan ekowisata dapat meningkatkan perekonomian mereka.
KOAKSI INDONESIA—Desa Tanah Merah merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Desa yang terletak kurang lebih 20 kilometer dari Kota Kupang ini dapat diakses melalui jalur darat menggunakan transportasi roda dua maupun empat. Berkat akses jalan yang sudah baik dari Kota Kupang menuju desa ini, hanya dibutuhkan waktu sekitar 30 menit untuk bisa sampai di Desa Tanah Merah.
Jumlah penduduk desa yang terletak di kawasan pesisir Pulau Timor ini adalah 4.197 jiwa dengan komposisi 50,44% laki-laki dan 49,56% perempuan (BPS, 2023).
Rata-rata penghasilan masyarakatnya sebesar Rp1.500.922 per bulan di bawah standar Upah Minimum Kabupaten (UMR) Kupang 2022 sebesar Rp1.975.000 per bulan. Penghasilan ini pun sangat tidak menentu karena bergantung pada hasil tangkapan laut.
Sebagai masyarakat yang mayoritas bekerja sebagai nelayan, ekosistem laut yang rusak akibat dampak lingkungan lokal, seperti pengambilan pasir untuk bahan baku konstruksi dan pemutihan karang atau dampak perubahan iklim lainnya membuat pendapatan mereka berkurang (Koran Tempo, 2022).
Namun sejak 2004, salah satu keluarga di sana, yaitu keluarga Messakh menginisiasi penanaman mangrove untuk mencegah tingkat keparahan dari abrasi pantai. Menurut dokumentasi Mongabay, diawali dengan 50 anakan mangrove dalam 5 ha, saat ini sudah berkembang hingga 107,5 ha. Keberhasilan ini berkat kegigihan Joni Messakh yang terus merawat dan menjaga mangrove tersebut.
Memupuk Rasa Kepemilikan Masyarakat Desa
Mengembalikan ekosistem yang sudah rusak di Desa Tanah Merah tidaklah mudah, perlu kesadaran untuk menginisiasi hal tersebut. Setelah 20 tahun, jumlah luasan mangrove yang semakin besar menimbulkan masalah baru.
Tidak adanya rasa kepemilikan warga di desa tersebut mengharuskan Joni Messakh beserta keluarganya menjaga mangrove dengan biaya pribadi. Pada awal penanaman, masih banyak warga yang menebang mangrove untuk keperluan pribadi, seperti membuat pagar dan dipan rumah. Akibatnya, Joni harus berpatroli sendiri di sekitar kawasan mangrove untuk melihat kondisi mangrove secara langsung.
Perlahan dengan pendekatan ke masyarakat serta didampingi oleh Yayasan Pikul, masyarakat Desa Tanah Merah bersepakat untuk membentuk kelompok pengawas mangrove, yaitu Kelompok Pencinta Mangrove Dalek Esa. Kelompok ini bertujuan untuk merawat dan mengawasi kawasan mangrove di desa tersebut dengan gotong royong. Kelompok ini sudah diperkuat dengan Surat Keputusan (SK) desa sebagai kelompok pengelola mangrove.
Baca Juga: Desa Wisata Tanggedu: Proses Berkelanjutan antara Alam dan Kebudayaan
Melalui program VCA, Koaksi Indonesia dan Yayasan Pikul mendorong masyarakat Desa Tanah Merah untuk lebih menyadari pentingnya fungsi mangrove, sehingga akan muncul rasa kepemilikan bersama. Diskusi keberlanjutan mangrove di desa tersebut dilakukan untuk melihat potensi besar mangrove.
Salah satu hasil dari diskusi bersama masyarakat adalah membuat peraturan desa untuk pengelolaan mangrove. Sejak 2022, masyarakat desa dengan didampingi Yayasan Pikul telah merancang peraturan desa itu. Hingga saat ini, proses tersebut sudah mencapai tahap draf akhir yang selanjutnya dilakukan pengesahan.
Proses pembuatan draf perdes ini melibatkan berbagai pihak mulai dari masyarakat, Pemerintah Desa Tanah Merah, Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Kelompok Pecinta Mangrove Dalek Esa, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi NTT, dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA). Hal ini dilakukan untuk mengatasi beberapa kendala dan menemukan solusi bersama.
Kendala yang sempat dialami adalah sebagian mangrove Desa Tanah Merah seluas 107,75 ha berada dalam kawasan Taman Wisata Alam Teluk Kupang di bawah KLHK dan dikelola oleh BKSDA. Lokasi yang dipetakan tersebut sebagian berada dalam blok perlindungan dan sebagian lainnya berada dalam wilayah Kabupaten Kupang, sehingga diperlukan kesepakatan bersama untuk mengelola kawasan tersebut.
Rencana Pengembangan Desa Ekowisata
Koaksi Indonesia melihat kesiapan masyarakat desa untuk mengelola kawasan mangrove yang luas menjadi kawasan ekowisata dapat meningkatkan perekonomian masyarakat desa.
Keterikatan dengan Desa Tanah Merah sebagai desa binaan mendorong Koaksi Indonesia merancang program pengembangan desa ekowisata mangrove berbasis masyarakat setelah melakukan kajian literatur.
Agar masyarakat Desa Tanah Merah tetap merasa berkepentingan menjaga dan mengelola ekosistem mangrove di kawasan mereka, perlu ada identifikasi manfaat dan potensi ekonomi lokal. Selain tangkapan laut yang melimpah, seperti ikan, kepiting, dan udang, ada pula potensi pengembangan ekowisata berbasis budaya, seperti menikmati pemandangan panorama pesisir laut, memancing, menanam bibit mangrove secara berkelompok, mengikuti aktivitas menyadap nira, hingga membuat makanan khas.
Studi yang mengidentifikasi manfaat dan potensi ekonomi lokal juga akan memberikan nilai tambah dari aktivitas menjaga dan mengelola ekosistem mangrove yang sejauh ini dilakukan secara sukarela. Hasil studi dapat dipakai sebagai landasan bagi model ekonomi biru yang secara nyata akan berkontribusi pada terbangunnya kesejahteraan sosial masyarakat Desa Tanah Merah secara berkesinambungan, mendukung keberlanjutan lingkungan, dan meningkatkan ketahanan komunitas terhadap dampak perubahan iklim.
Baca Juga: Keluh Harap Warga Air Tenam Terhadap Potensi Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) di Desanya
Program ini akan fokus pada pengembangan ekowisata mangrove berbasis masyarakat yang memperhatikan aspek keberlanjutan lingkungan, peningkatan ekonomi, dan kepemilikan bersama dengan masyarakat lokal. Sebelum proyek rintisan ekowisata ini diimplementasikan, dilakukan analisis kelayakan lingkungan Desa Tanah Merah, khususnya pada wilayah mangrove yang akan dijadikan lokasi pariwisata. Pendekatan yang dilakukan menggunakan konsep Ecosystem based Adaptation (EbA). Konsep ini adalah strategi adaptasi terhadap perubahan iklim yang memanfaatkan solusi berbasis alam dan jasa ekosistem (UNEP, 2024).
Dalam memetakan masalah dan solusi di masyarakat lokal akan dilakukan pendekatan dengan metodologi Participatory Rural Appraisal (PRA). Metodologi ini memfasilitasi sudut pandang masyarakat lokal serta aktor kunci lainnya untuk saling bertukar pengetahuan sehingga diperoleh solusi berbasis kebutuhan masyarakat Desa Tanah Merah.
Metode PRA akan membantu masyarakat dalam: (1) memobilisasi sumber daya manusia dan alam; (2) mendefinisikan masalah; (3) mempertimbangkan keberhasilan dan kegagalan sebelumnya; (4) mengevaluasi prioritas dan peluang; serta (5) menyiapkan rencana tindakan yang sistematis dan spesifik lokasi (FSN Network, 2000).
Adanya inovasi pada metodologi yang digunakan dapat memberikan manfaat sesuai dengan kebutuhan masyarakat Desa Tanah Merah serta menjadikan program ini berkelanjutan.