Koaksi Indonesia bersama beberapa Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) yang tergabung dalam Koalisi Keadilan Iklim menyuarakan isu keadilan iklim berdasarkan bukti nyata agar dapat menjadi pertimbangan semua pihak khususnya pembuat kebijakan dalam implementasi program-program perubahan iklim.
KOAKSI INDONESIA — Koalisi yang terdiri dari banyak organisasi seperti Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), ICEL, Yayasan Pikul, dan Madani Berkelanjutan meyakini bahwa dampak perubahan iklim tidak sama bagi semua orang baik secara geografis, gender, maupun sosial ekonomi. Dengan demikian, keadilan iklim mendesak untuk disuarakan agar ketimpangan dari dampak perubahan iklim tidak berlanjut.
Hasil dari Deklarasi Rio pada 1992 secara prinsip telah menyebutkan Keadilan Iklim, khususnya pada poin-poin prinsip yang berkaitan dengan Hak dan Kewajiban. Prinsip pertama pada hasil pertemuan tersebut menyatakan bahwa umat manusia memiliki hak untuk hidup sehat dan berkesinambungan dengan alam sedangkan pada prinsip ketujuh terdapat frasa common but differentiated responsibility (sama namun dibedakan tanggung jawabnya). Sementara prinsip-prinsip lainnya menekankan pentingnya keterlibatan semua pihak dalam upaya melestarikan lingkungan.
Baca juga: Ribuan Orang Menyaksikan Aksi Local Heroes Nusa Tenggara Timur Melalui Film Climate Witness
Dalam artikel yang ditulis Corrie Grosse, konsep keadilan iklim dipahami sebagai keadilan yang erat kaitannya dengan tanggung jawab atas perubahan iklim dan dampaknya, atau sebagai keadilan terkait efek dari respons terhadap perubahan iklim. Sementara itu, United Nations Research Institute for Social Development (UNRISD) menyatakan bahwa ketidakadilan iklim terjadi akibat pembebanan tanggung jawab yang tidak merata. Perubahan iklim dipenuhi dengan ketidakadilan ganda yang membuat mereka yang paling sedikit bertanggung jawab atas pemanasan global menjadi yang paling terpapar dan rentan terhadap dampaknya.
Kerentanan Indonesia sebagai Negara Kepulauan
Menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Indonesia memiliki garis pantai sepanjang 95 ribu kilometer lebih dan merupakan negara kedua di dunia dengan garis pantai terpanjang serta memiliki 17 ribu lebih pulau. Selain itu, 71% wilayah Indonesia merupakan perairan laut yang mencapai sekitar 5,8 juta kilometer.
Kementerian Bappenas telah melakukan riset terkait kerentanan wilayah pesisir di Indonesia akibat perubahan iklim. Menurut Bappenas, dampak perubahan iklim pada wilayah pesisir akan menimbulkan dua jenis bahaya yaitu penggenangan pesisir dan ketidakstabilan pesisir yang berkaitan dengan proses abrasi/erosi dan akresi/sedimentasi pasar. Bappenas juga menghitung Coastal Vulnerability Index (CVI) yang merupakan indeks kerentanan pesisir di Indonesia. Indeks ini menggunakan parameter fisik, oseanografi, dan geologi.
Dari hasil perhitungan CVI, sepanjang hampir 2 ribu kilometer panjang garis pantai Indonesia memiliki kerentanan sangat tinggi. Pulau Sumatera dan Nusa Tenggara menjadi dua pulau yang paling rentan. Implikasinya akan menimbulkan kerugian baik secara ekonomi, sosial, maupun lingkungan.
Dampak Ketidakadilan
Untuk menghadapi kerentanan tersebut dibutuhkan strategi dalam menghadapi dampak perubahan iklim di wilayah pesisir. Dalam rencana pembangunan berketahanan iklim, proyek pembangunan infrastruktur pesisir antara lain tanggul laut, breakwater, dan pengaman pantai lainnya. Di samping itu, ada pemulihan ekosistem pesisir dan penguatan kapasitas masyarakat pesisir tentang informasi meteorologi maritim. Namun, jika dilihat dari indikasi alokasi pendanaan masih berbeda jauh. Pembangunan infrastruktur pesisir memiliki indikasi pendanaan sekitar Rp7,6 triliun, sedangkan untuk program lainnya hanya sekitar Rp1 triliun.
Baca juga: RUU ET sebagai Solusi Jangka Panjang Cegah Polusi Udara
Padahal, pembangunan infrastruktur pesisir yang direncanakan oleh pemerintah belum tentu sesuai dengan kebutuhan masyarakat pesisir. Seperti yang telah diungkapkan oleh Yasinta Adoe dalam Film Dokumenter “Climate Witness”, di wilayah pesisir Kota Kupang tempatnya tinggal dibangun jogging track, padahal yang dibutuhkan adalah pemecah gelombang untuk mengamankan aset para nelayan saat terjadi bencana. Adanya jogging track membuat akses para nelayan terhambat saat harus mengamankan aset mereka.
Selain pembangunan infrastruktur, akses pendanaan yang sulit bagi para nelayan diungkapkan oleh Yasinta Adoe. Kesulitan tersebut berupa para nelayan tidak bisa mengakses pembiayaan kredit mikro dari bank karena perahu milik para nelayan tidak bisa dihitung menjadi aset. Padahal, aset utama yang dimiliki para nelayan adalah perahu tersebut.
Di daerah lain, Mongabay menceritakan kondisi Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan, yang telah berubah akibat pertambangan nikel masuk ke wilayah tersebut. Masyarakat merasakan perubahan langsung berupa air sungai dan laut yang menjadi kehitaman, debu-debu yang mengganggu permukiman dan kebun, serta gagal panen.
Keadilan Iklim Sebagai Ketahanan
Terjadinya ketimpangan pada contoh kasus di atas mendorong Koalisi Keadilan Iklim berupaya agar keadilan iklim menjadi agenda utama pembangunan negeri ini. Dr. Darren McCauley menyebutkan keadilan dapat dibagi menjadi tiga pilar yaitu keadilan distributif, keadilan rekognitif, dan keadilan prosedural.
Keadilan distributif melibatkan distribusi tanggung jawab yang merata termasuk dalam hal penerima manfaat maupun risiko yang dihadapi. Pada konteks perubahan iklim, pihak yang mengeluarkan paling banyak emisi harus bertanggung jawab terhadap penyerapan kembali emisi tersebut serta bertanggung jawab terhadap penguatan kelompok rentan akibat dampak perubahan iklim.
Keadilan rekognitif menekankan pada konteks inklusi yang tidak sekadar pelibatan partisipasi, namun lebih jauh dari hal itu seperti pemberian hak politik yang lengkap dan setara serta bebas dari ancaman. Sering kali pada konteks ini, masyarakat rentan tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan, seperti yang telah disampaikan oleh Yasinta Adoe.
Keadilan prosedural melibatkan semua pemangku kepentingan dengan cara nondiskriminatif. Dengan kata lain, semua kelompok harus dapat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan keputusan itu harus dilakukan secara serius sepanjang prosesnya.
Baca juga: Bisakah Target Energi Baru dan Terbarukan Tahun 2025 Tercapai?