Ringkasan Eksekutif
Pemetaan hulu-hilir, sosial ekonomi dan dampak lingkungan sawit di Indonesia
A. Hulu-Hilir dan Rantai Pasok
1. Produktivitas lahan sawit masih rendah
Jumlah produksi sawit Indonesia pada tahun 2019 mencapai angka sebesar 45,86 juta ton. Kondisi ini menempatkan Indonesia pada posisi puncak sebagai negara penghasil sawit terbesar di dunia. Tingginya produksi sawit tentunya tidak lepas dari luasnya lahan yang digunakan untuk perkebunan sawit. Pada tahun 2019, berdasar data Ditjenbun, total luasan lahan sawit di Indonesia adalah sebesar 14,8 juta Ha. Meskipun demikian, produktivitas lahan sawit nasional yang sebesar 3,1 ton/Ha masih tergolong rendah.
Rendahnya produktivitas lahan sawit di Indonesia diantaranya disebabkan oleh besarnya lahan immature yang mencapai 18% dari total keseluruhan lahan sawit di Indonesia. Apabila dilakukan upaya peningkatan produktivitas sebesar 1 ton/Ha dan pengurangan lahan immature sebesar 6%, maka upaya ini diperkirakan dapat meningkatkan jumlah produksi sawit nasional untuk mencapai 67 juta ton.
2. Lahan sawit rakyat butuh perhatian lebih
Lahan sawit dengan produktivitas yang rendah kebanyakan berasal dari perkebunan sawit rakyat. Total luas hahan sawit rakyat mencapai 41% dari total luas lahan sawit nasional atau setara dengan 6 juta Ha, dimana produktivitasnya masih di bawah 2,5 ton/Ha. Untuk itu, perlu ada perhatian lebih terhadapa lahan sawit rakyat untuk dapat lebih optimal lagi dalam berproduksi.
3. Sertifikasi ISPO yang belum merata, terutama untuk lahan rakyat
Lebih lanjut, tantangan dari lahan sawit rakyat juga datang dari sisi kapasitas sumber daya manusia yang mengelola. Salah satunya adalah sertifikasi ISPO yang belum merata, khususnya untuk lahan rakyat. Tercatat hanya sebanyak 14 petani swadaya saja (dengan luas lahan 0,2% dibanding keseluruhan lahan raykat) dari total keseluruhan 621 perusahaan yang tersertifikasi ISPO pada akhir tahun 2019.
4. Hilirisasi produk sawit butuh pengembangan
Tantangan lainnya adalah masih diperlukannya pengembangan dari sisi hilirisasi produk sawit. Beberapa daerah penghasil sawit masih perlu meningkatkan industri hilirnya. Seperti halnya yang terjadi di Kalimantan Barat dan Sumatera Selatan. Meskipun keduanya masuk sebagai daerah lumbung sawit nasional, namun di kedua provinsi ini belum terdapat industri pengolahan biodiesel dan pembangunannya baru dimulai pada 2019.
Provinsi Kalimantan Barat dan Provinsi Sumatera Selatan harus menjadi fokus perhatian hilirisasi produk sawit, baik industri pengolahan maupun sampai tahap industri-industri lain seperti oleokimia, biodiesel dan produk turunan lainnya.
Biodiesel
1. Program B20 dan B30 salah satu alternatif solusi yang tepat untuk meningkatkan nilai tambah CPO dalam negeri.
Roadmap biodiesel nasional menunjukan target pemanfaatan biodesel sebesar 30% di semua sektor baik PSO, non-PSO, pembangkit listrik maupun industri dan komersial harus tercapai pada tahun 2020. Target ini tidak berubah hingga tahun 2025. Lonjakan tajam sebesar 81% pada produksi biodiesel nasional terjadi pada tahun 2018 yang mencapai 6,2 juta KL dari tahun sebelumnya yang hanya sebesar 3,4 juta KL. Meski tidak sebesar kenaikan pada tahun 2017 ke 2018, namun total produksi biodiesel nasional di tahun 2019 masih menunjukan peningkatan sebesar 36% menjadi 8,4 juta KL.
Kenaikan ini nampaknya sebagian besar terserap pada distribusi pasar domestik yang menunjukan peningkatan signifikan akibat adanya penerapan mandatori B20. Distribusi pasar domestik yang semula hanya 3,8 juta KL pada tahun 2018 naik secara signifikan sebesar 70% di tahun 2019 menjadi 6,4 juta KL. Di sisi lain, terjadi penurunan ekspor sebesar 27% dari 1,8 juta KL di tahun 2018 menjadi hanya sekitar 1,3 juta KL pada tahun 2019. Diantara penyebab utamanya adalah adanya penolakan dari Uni Eropa terhadap hasil olahan sawit Indonesia yang menjadi isu masif di tahun 2018. Nampaknya peningkatan konsumsi dalam negeri menjadi solusi yang tepat ketika ekspor sawit terombang-ambing kondisi pasar internasional.
2. Program B20 dan B30 memberikan dampak positif pada neraca dagang sekaligus isu lingkungan di Indonesia.
Berdasarkan data dari Kementerian ESDM tahun 2019, besarnya konsumsi biodiesel dalam negeri yang sebesar 6,4 juta KL telah berkontribusi terhadap penghematan devisa negara sebesar Rp 42 triliun dan menurunkan emisi CO2 sebesar 9,5 juta ton.
3. Total kemampuan industri biodiesel dalam negeri harus ditingkatkan
Pada tahun 2019, sebanyak 26 pabrik pengolahan biodiesel di Indonesia yang sebagian besar kepemilikannya dikuasai oleh perusahaan swasta besar. Total kapasitas dari 26 industri biodiesel ini adalah sebesar 12 juta KL, dan hanya mampu mendukung hingga produksi B40/B50 saja.
B. Sosial-Ekonomi
1. Industri sawit adalah komoditas ekspor non migas nomor 1 dan menjadi andalan Indonesia
Sawit dan produk-produk turunannya memberikan kontribusi penting pada perekonomian Indonesia, yaitu sekitar 3,5% dari total PDB Indonesia secara keseluruhan atau sekitar dengan Rp 380 triliun. Besarnya kontribusi ini tidak lepas dari dominasi sawit pada hasil perkebunan Indonesia yang mencapai 81%, sementara 19% sisanya merupakan gabungan dari karet, kakao, teh, tembakau, tebu, kopi dan kelapa.
Lebih lanjut, sektor industri sawit juga berkontribusi dalam menyerap sekitar 4,4 juta tenaga kerja langsung dan sekitar 16 juta tenaga kerja tidak langsung. Begitu besarnya kontribusi sawit bahkan membuat beberapa daerah perkebunan di Indonesia memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi pada industri ini, seperti Riau dan Kalimantan Tengah.
2. Secara volume eskpor sawit meningkat, tetapi secara nilai menurun
Volume ekspor sawit di tahun 2019 meningkat sebesar 4% dari semula 34,71 juta ton di tahun 2018 menjadi 36,17 juta ton. Sayangnya, peningkatan volume ekspor ini tidak berbanding lurus dengan nilai yang diperoleh. Faktor rendahnya harga CPO dan isu eksternal telah menyebabkan turunnya nilai ekspor sebesar 17% menjadi US$ 19 milliar di tahun 2019 dari US$ 23 miliar pada tahun sebelumnya.
3. Dalam 5 tahun terakhir performa 5 emiten besar perkebunan sawit mengalami penurunan
Trend harga CPO yang cenderung mengalami penurunan telah berpengaruh pada performa emiten besar perkebunan sawit, seperti Astra Argo Lestari, Sinarmas Argo Resources and Tech, Perusahaan Perkebunan London Sumatera Indonesia, Salim Ivomas Pratama dan Tunas Baru Lampung. Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, harga CPO terus mengalami fluktuasi dengan angka penurunan yang tajam di tahun 2018 yang menyentuh angka 490 dari sebelumnya 716. Untungnya harga ini mengalami perbaikan di tahun 2019 menjadi 860.
4. Wilayah dengan luasan lahan rakyat yang tinggi cenderung rendah nilai IDMnya
Ditinjau dari sisi Index Desa Membangun (IDM), secara umum wilayah dengan komoditas utama sawit memiliki nilai yang sedikit lebih tinggi dibandingkan wilayah dengan komoditas perkebunan lainnnya. Namun demikian, nampak bahwa kabupaten dengan luasan lahan rakyat
yang besar, cenderung memiliki lebih banyak desa yang masuk ke dalam kategori tertinggal dan sangat tertinggal. Seperti di Kabupaten Siak dimana luas lahan rakyat mencapai 281 ribu Ha masih ditemukan sebanyak 18 desa tertinggal. Sementara di Kabupaten Kampar, yang luas lahan rakyat mencapai 273 ribu Ha terdapat 24 desa yang masih tertinggal dan 1 desa sangat tertinggal.
Selain produktivitas lahan sawit rakyat, nilai IDM tentunya perlu menjadi perhatian mengingat kaitannya yang erat dengan kesejahteraan sosial petani dan rentannya mereka terhadap dampak atas permasalahan-permasalahan sawit global.
5. Pengendalian angka kemiskinan di wilayah sawit tidak menunjukan penurunan yang signifikan jika dibandingkan dengan wilayah lainnya
Berdasarkan data, angka kemiskinan di wilayah sawit tidak terjadi penurunan yang signifikan. Sejak tahun 2015 hingga 2019 penurunan angka kemiskinan di lima kabupaten/kota dengan sawit sebagai komoditas utama tidak pernah mencapai 2,5
C. Lingkungan
1. 35% dari 4.783 desa dengan komoditas utama sawit di Indonesia mengalami pencemaran
Dari total 83.931 jumlah desa di Indonesia, sebanyak 4.783 desa mengandalkan sawit sebagai komoditas utamanya. Sayangnya, berbagai pencemaran banyak ditemukan pada desa-desa dengan unggulan sawit tersebut. sebanyak 35% dari 4.783 desa sawit mengalami pencemaran lingkungan, baik air, udara, kebakaran hutan maupun pencemaran tanah. Pada tahun 2019, pencemaran air menempati urutan tertinggi dengan persentase sebesar 24%. Pencemaran kedua tertinggi adalah pencemaran udara yang mencapai 15%. Sebanyak 5% dari total desa sawit ditemukan adanya kebakaran hutan, dan 3% lainnya mengalami pencemaran tanah.
2. Pencemaran yang umum terjadi di wilayah sawit adalah pencemaran air
Pencemaran air merupakan pencemaran yang paling sering ditemukan pada wilayah-wilayah dengan komoditas utama sawit. Provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah merupakan 2 provinsi teratas untuk jumlah desa sawit yang mengalami pencemaran air. Di Provinsi Kalimantan Barat terdapat 260 desa penghasil sawit dan sebanyak 45%-nya mengalami pencemaran air. Kondisi ini menjadikan Kalimantan Barat di posisi terpuncak untuk desa sawit dengan pencemaran air tertinggi, diikuti Provinsi Kalimantan Tengah dengan persentase sebesar 38% dari total 303 desa.
3. Pencemaran lingkungan di wilayah sawit terjadi di semua status IDM
Kasus pencemaran lingkungan terjadi di semua desa dengan prioritas sawit baik yang berstatus IDM mandiri, maju, berkembang, tertinggal maupun sangat tertinggal. Di Pulau Sumatera, pencemaran ditemukan pada hampir semua status IDM Desa, terkecuali pada 3 desa dengan status sangat tertinggal tidak ditemukan adanya kasus pencemaran lingkungan. Sementara di Pulau Kalimantan, pencemaran lingkungan ditemukan pada semua status desa IDM. Baik di Sumatera maupun di Kalimantan, persentase pencemaran terbesar ditemukan pada desa dengan status tertinggal.
4. Pabrik mendominasi sumber pencemaran air dan udara
Tingginya ketergantungan pada komoditas sawit, membuat pabrik pengolahan sawit dapat diasumsikan sebagai sumber utama pencemaran air dan udara pada wilayah-wilayah dengan unggulan sawit baik di wilayah Sumatera maupun Kalimantan. Ditinjau dari sumber pencemaran air dan udara pada desa-desa sawit, nampak bahwa di wilayah Sumatera, pabrik mendominasi sebagai sumber utama dari kedua pencemaran ini. Bahkan di Kabupaten Indragiri Hilir dan Pelalawan, 100% pencemaran airnya bersumber dari limbah pabrik. Dominasi pabrik sebagai sumber utama pencemaran air juga menonjol di Kabupaten Kampar, Siak, Musi Banyuasin dan Asahan, yang mencapai 80% atau bahkan lebih.
Di sisi lain, sumber pencemaran udara di wilayah unggulan sawit di Sumatera sebetulnya cukup beragam, seperti yang terjadi di Kabupaten Rokan Hilir dan Labuhan Batu Selatan, dimana sumber pencemaran didominasi oleh sumber lainnya yaitu asap dan kebakaran lahan. Namun di Kabupaten Rokan Hulu, Provinsi Riau dan Kabupaten Asahan, Provinsi Sumatera Utara, pabrik kembali mendominasi sumber pencemaran udara hingga di atas 90%.
Di Pulau Kalimantan, pabrik juga menjadi sumber utama pencemaran air dan udara pada desa-desa sawit di wilayah ini. Khususnya pada pencemaran air, dominasi pabrik sebagai sumber utama pencemaran tampak menonjol di Kabupaten Kutai Timur, Lamandau dan Kutai Kartanegara dengan persentase di atas 80%. Sementara untuk pencemaran udara di Kabupaten Sintang, Lamandau dan Seruyan, 100% bersumber dari pabrik. Sementara di Kabupaten Sintang sumber utama pencemaran udara di wilayah ini adalah asap kebakaran lahan.