Skip links

Kala Perubahan Iklim Menggerus Pangan Kita

Ilustrasi dampak perubahan iklim terhadap hasil panen/Freepik

Kebutuhan pangan masyarakat baik secara kuantitas maupun kualitas harus tetap terpenuhi. Keterpenuhan pangan menjadi fondasi penting untuk menciptakan bangsa yang sehat dan berdaya saing. 

KOAKSI INDONESIA—Sebagai kebutuhan primer, pangan harus tetap terpenuhi dalam kondisi apa pun. Namun, perubahan iklim yang melanda dunia, Indonesia tidak terkecuali, menimbulkan dampak negatif terhadap pangan, yaitu mengurangi secara kuantitas dan kualitas. 

Dampak Ganda Krisis Iklim terhadap Pangan

Di satu sisi, kekurangan pangan secara kuantitas menyebabkan ketersediaan dan kebutuhan pangan tidak seimbang. Akibatnya, sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran, bisa terjadi kenaikan harga. Kemampuan daya beli masyarakat yang rendah mengakibatkan mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan pangan.

Di sisi lain, kekurangan pangan secara kualitas berkaitan dengan penurunan kandungan gizi atau nutrisi makanan. Akibatnya, jumlah makanan yang biasa dikonsumsi tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan nutrisi harian seseorang. 

  • Penurunan Produksi Pangan

Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), perubahan iklim yang mengacu pada perubahan jangka panjang dalam suhu dan pola cuaca sebenarnya terjadi secara alami. Namun, sejak tahun 1800-an, aktivitas manusia telah menjadi penyebab utama perubahan iklim, terutama akibat pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak, dan gas. Pembakaran bahan bakar fosil ini menghasilkan emisi gas rumah kaca yang bekerja seperti selimut yang melilit bumi, memerangkap panas dan menaikkan suhu. 

Kenaikan suhu ini, menurut Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat, memengaruhi siklus air, mengubah pola cuaca, dan mencairkan es daratan—semua dampak yang dapat memperburuk cuaca ekstrem. Senada dengan pernyataan itu, Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) menyatakan bahwa peningkatan emisi gas rumah kaca telah meningkatkan frekuensi dan intensitas peristiwa cuaca ekstrem. 

Salah satu sektor yang sangat terdampak perubahan iklim adalah pertanian. Melansir Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), perubahan iklim berpengaruh signifikan terhadap pola cuaca, terutama pola dan intensitas curah hujan serta variabilitas suhu udara. Padahal, sektor pertanian sangat bergantung pada curah hujan dan suhu yang stabil untuk menunjang pertumbuhan tanaman dan hasil panen. Perubahan iklim juga sangat erat kaitannya dengan penyebaran kejadian El Niño dan La Niña yang berdampak pada hasil pertanian.

Data BRIN berikut menunjukkan beberapa contoh dampak perubahan iklim terhadap produksi tanaman pangan, tanaman buah, dan peternakan serta kesesuaian lahan.

No. Perubahan Iklim Tanaman Pangan
1. Kenaikan suhu 1—2,5 derajat celsius dan penurunan curah hujan 5—25% Penurunan produksi padi hingga 50%
2. Peningkatan curah hujan 50 mm/bulan Peningkatan produktivitas tanaman kacang kedelai sebesar 27,31%
3. Kejadian ekstrem El Niño dan La Niña berupa banjir, kekeringan, serta organisasi pengganggu tanaman (OPT)  Penurunan produksi padi dapat mencapai 4,8 juta ton/hektar pada periode September hingga April (contoh kasus El Niño pada 1997/1998)
4. Perubahan suhu, kelembapan dan/atau pola angin secara langsung merangsang pergerakan serangga dan dapat menjadi pemicu terjadinya ledakan serangga atau hama Contoh kasus ledakan hama belalang kembara yang menyerang tanaman padi di Nusa Tenggara Timur (NTT) beberapa tahun lalu

 

No. Perubahan Iklim Tanaman Buah
1. Kejadian El Niño Penurunan produksi durian
2. Tahun basah (curah hujan melebihi normal) Penurunan produktivitas buah-buahan

 

No.  Perubahan Iklim Peternakan
1. Peningkatan konsentrasi karbon dioksida (CO2) di atmosfer dan peningkatan suhu Penurunan pertumbuhan dan produktivitas tanaman serta penurunan biodiversitas tanaman pakan, sehingga terjadi kelangkaan pakan ternak 
2. Kekurangan ketersediaan air akibat perubahan curah hujan Penurunan produksi ternak, produksi pakan ternak, dan produksi susu 
3. Peningkatan suhu Ternak mudah terserang penyakit yang dapat menyebabkan kematian. Peningkatan suhu memudahkan perkembangan mikroorganisme patogen dan parasit, sehingga ternak lebih rentan terkena serangan penyakit mulut dan kuku

 

No. Perubahan Iklim Kesesuaian Lahan
Perkiraan kenaikan suhu 2 derajat celsius  Semakin berkurangnya tingkat kesesuaian lahan untuk padi dan jagung di Nusa Tenggara Barat (NTB)

 

Tidak hanya menurunkan hasil pertanian dan peternakan. Perubahan iklim juga menurunkan hasil laut. Melansir Hot Water Rising: The Impact of Climate Change on Indonesia’s Fisheries and Coastal Communities, peningkatan karbon dioksida di atmosfer dan peningkatan suhu mendorong perubahan kondisi laut, yang meliputi penurunan keasaman (pH) laut, kadar oksigen, dan kadar salinitas. Kondisi ini memengaruhi ekosistem perairan dan perikanan.

Laporan yang merupakan hasil analisis Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, Universitas British Columbia, dan Bank Dunia ini menyatakan, dalam jangka panjang, semua spesies yang dinilai untuk laporan ini (total 47 spesies) diproyeksikan akan terpengaruh oleh perubahan iklim sampai tingkat tertentu, dengan beberapa spesies lebih terpengaruh daripada yang lain.

Ilustrasi sektor perikanan juga mengalami dampak perubahan iklim/Freepik

Spesies yang paling terdampak adalah spesies demersal (yang hidup atau mencari makan di dekat perairan dangkal) dan beberapa spesies pelagis (yang hidup atau mencari makan di lapisan atas laut yang dekat dengan garis pantai). Beberapa jenis tangkapan ikan yang paling terpengaruh, yaitu ikan lemuru, selar, tenggiri, dan cakalang. Ikan-ikan ini sangat penting bagi perikanan skala artisanal (skala kecil atau tradisional) dan industri.

Masih dari sumber yang sama. Potensi tangkapan maksimum diproyeksikan menurun sebesar 20–30% pada skenario emisi tinggi. Sementara itu, skenario perubahan iklim rendah memperlihatkan penurunan hingga 20% di beberapa wilayah dan 5–15% di sebagian besar wilayah pada tahun 2050. Padahal, sektor perikanan memasok lebih dari 50% kebutuhan protein negara.

  • Penurunan Nutrisi

Penurunan kuantitas hasil pertanian, peternakan, dan laut akibat perubahan iklim berimplikasi terhadap pemenuhan kebutuhan nutrisi. Pemenuhan kebutuhan ini tidak hanya berkaitan dengan jumlah, tetapi juga kualitas nutrisi. Sementara, beberapa penelitian menunjukkan bahwa peningkatan karbon dioksida di atmosfer menurunkan kandungan gizi tanaman. 

Sebuah penelitian yang diterbitkan di Jurnal Ilmiah Science Advances menunjukkan, peningkatan CO2 di atmosfer mengonfirmasi penurunan protein, mineral (zat besi dan seng), serta vitamin (B1, B2, B5, dan B9) dalam beras. 

Senada dengan penelitian di atas, tim peneliti di Harvard T.H. Chan School of Public Health menyatakan, peningkatan level CO2 di atmosfer berkaitan dengan penurunan tingkat nutrisi seperti zat besi, seng, dan protein dalam tanaman makanan pokok seperti beras, gandum, jagung, dan kedelai. 

Baca Juga:  Apakah Kesehatan Lingkungan Memengaruhi Usia Harapan Hidup dan Produktivitas?

Tingkat CO2 yang tinggi di atmosfer juga berdampak terhadap kandungan nutrisi sayuran seperti yang dipresentasikan dalam Frontiers. Salah satunya, yaitu menurunkan konsentrasi protein sebesar 9,5% dan mineral (nitrat, magnesium, zat besi, dan seng) masing-masing sebesar 18,0%; 9,2%; 16,0%, dan 9,4%.  

Beberapa penelitian yang didanai oleh Bill Gates Foundation menunjukkan bahwa peningkatan karbon dioksida di atmosfer dapat menyebabkan kekurangan protein global karena diperkirakan 76% populasi dunia bergantung pada tanaman untuk memenuhi kebutuhan protein mereka.

dari Krisis Iklim ke Kesehatan Masyarakat

Untuk hidup sehat, termasuk tumbuh kembang anak yang sehat, dibutuhkan asupan nutrisi yang memenuhi kebutuhan harian dari sisi kuantitas maupun kualitas. Zat gizi yang dibutuhkan itu meliputi makronutrien (gizi makro) dan mikronutrien (gizi mikro). 

Makronutrien merupakan zat gizi yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah besar yang terdiri dari karbohidrat, protein, dan lemak sedangkan mikronutrien merupakan zat gizi yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah kecil yang terdiri dari vitamin dan mineral. 

Sayangnya, data di atas yang menunjukkan dampak perubahan iklim terhadap penurunan kuantitas dan kualitas nutrisi dapat menjadi kendala dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi untuk hidup sehat. 

Hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 menunjukkan, malnutrisi pada ibu hamil masih menjadi tantangan. Akibat dari malnutrisi itu, 3 dari 10 ibu hamil mengalami anemia dan 17% memiliki risiko Kurang Energi Kronik (KEK). Padahal, malnutrisi pada masa kehamilan dapat meningkatkan risiko anemia pada kehamilan, hipertensi, keguguran, hingga kematian janin. Ibu dengan kekurangan gizi kronis dapat mengakibatkan bayi mengalami Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), retardasi pertumbuhan janin dalam kandungan yang akan mengakibatkan konsekuensi jangka panjang, gangguan kualitas hidup dan biaya kesehatan.

Ilustrasi pemenuhan kebutuhan gizi ibu hamil/Freepik

Isu kesehatan lain yang masih perlu mendapat perhatian serius berdasarkan hasil survei tersebut adalah tengkes (stunting). Sekitar 1 dari 5 balita usia 0–59 bulan di Indonesia mengalami stunting. Tengkes bukan sekadar panjang atau tinggi badan bayi/anak yang berada di bawah standar. Itu hanyalah penanda. 

Stunting merupakan gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak yang berdampak jangka pendek dan jangka panjang, termasuk gangguan perkembangan kognitif, motorik, dan verbal anak. Pada masa dewasa, anak-anak yang mengalami stunting lebih rentan terhadap penyakit tidak menular (PTM), seperti obesitas, hipertensi, diabetes hingga kanker. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat memengaruhi produktivitas mereka dalam berkarya.

Baca Juga:  Penerapan Prinsip Berkeadilan untuk Menyukseskan Transisi Energi di Indonesia

Salah satu faktor penentu terkait tengkes adalah status gizi ibu dan bayi. Melansir sumber yang sama, pada masa kehamilan, ibu yang mengalami Kurang Energi Kronis (KEK) dan anemia akan melahirkan bayi berat badan lahir rendah (BBLR) yang terkait dengan risiko tinggi stunting

Setelah bayi lahir, pemenuhan kebutuhan nutrisi bayi selama enam bulan pertama kehidupannya hanya dipenuhi oleh air susu ibu (ASI), yang dikenal dengan istilah ASI eksklusif. Penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa balita yang memiliki riwayat ASI non-eksklusif akan berisiko lebih besar untuk menyebabkan anak mengalami stunting. Oleh karena itu, nutrisi ibu harus terpenuhi dengan baik.

Ilustrasi pemberian makanan tambahan bergizi untuk si kecil/Freepik

Pemberian makanan tambahan untuk bayi setelah ASI eksklusif juga harus memenuhi kebutuhan makronutrisi dan mikronutrisi si kecil. Kekurangan kedua jenis gizi ini akan memengaruhi pertumbuhan anak menjadi tengkes. 

Adaptasi Perubahan Iklim untuk Ketahanan Pangan

Pemenuhan kebutuhan pangan tidak dapat menunggu apa pun kondisinya, termasuk perubahan iklim. Ketidakcukupan pangan dari sisi kuantitas dan kualitas akan berimplikasi jangka panjang terhadap kesehatan masyarakat.

Ibu hamil yang kekurangan gizi, misalnya, tidak hanya berdampak buruk terhadap kesehatannya, tapi juga pada bayi yang dikandungnya. Apabila kondisi ini sampai terjadi, bagaimana bangsa yang sehat dan berdaya saing dapat tercipta?

Oleh karena itu, diperlukan tindakan adaptasi dalam sektor pertanian. Berbagai upaya yang dilakukan antara lain Gerakan Adaptasi Perubahan Iklim Sektor Pertanian. Petunjuk teknis mengenai gerakan ini terdapat dalam Keputusan Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Nomor 17.6/Kpts/SR.140/B/01/2022. Selain itu, penerapan inovasi teknologi yang mendukung kearifan lokal seperti yang direkomendasikan oleh BRIN

Dengan berbagai upaya ini diharapkan hasil pertanian, termasuk perkebunan, peternakan, dan perikanan, tetap dapat memenuhi kebutuhan pangan nasional.

Penulis

Beranda
Kabar
Kegiatan
Dukung Kami
Cari